Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 214 tahun yang lalu, 7 Maret 1809, Istana Putih (De Witte Huis) Daendels mulai dibangun oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pembangunan itu jadi penanda keseriusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels membangun pusat pemerintahan baru di Weltevreden (kini: kawasan sekitar Lapangan Banteng).

Sebelumnya, Belanda menjadikan Oud Batavia (Batavia Lama) sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda. lokasi itu dianggap strategis sampai kemudian wabah penyakit jadi momok menakutkan di Batavia Lama.

Kota Batavia (kini: Jakarta) banyak menyimpan potret keserakahan penjajah Belanda. Kehadiran ragam industri hingga pembukaan lahan skala besar jadi musababnya. Keserakahan penjajah dari era maskapai dagang Belanda VOC hingga pemerintah kolonial Hindia Belanda mengundang wabah penyakit: kolera dan malaria.

Wabah yang muncul dari lingkungan hidup yang rusak itu membuat angka kematian orang Belanda di Batavia meningkat tajam. Angka kematian yang tinggi lalu mengubah wajah Batavia yang dulunya dijuluki Ratu dari Timur jadi Kuburan dari Timur.

Belanda pun melanggengkan segala macam ajian. Namun, kebanyakan berujung kegagalan. Dalam pemerintahan Daendels, apalagi. Daendels menginginkan pusat pemerintahan segera dipindahkan. Ia tak bisa menjalankan pemerintahan dari lingkungan yang sakit.

Potret Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels (1808-1811) yang dilukis pelukis kesohor, Raden Saleh. (Wikimedia Commons)

Ia pun menggelorakan pemindahan ibu kota Hindia Belanda. Opsi itu diambil untuk menurunkan angka kematian di Batavia. Ia memulai langkah itu dengan menghancurkan Batavia Lama, termasuk Kasteel Batavia.

Setelahnya, sisa puing-puing Batavia Lama digunakan kembali untuk membangun pusat pemerintahan baru di Weltevreden. Ia kemudian menginstruksikan jajarannya membangun gedung, fasilitas militer, hiburan, hingga perumahan yang nyaman bagi penduduk Eropa.

“Pada awal abad ke-19, kondisi kehidupan di kota Batavia lama yang dikelilingi benteng sangat tidak sehat. Angka kematian di situ tinggi sekali, dan Batavia sampai memperoleh julukan Kuburan di Timur. Sehubungan dengan itu Daendels merencanakan sebuah kota baru yang disebutnya Weltevreden, dari sebuah perkebunan di daerah itu yang bernama sama. Situs proyek itu dihubungkan dengan Kota Batavia lama menggunakan infrastruktur yang sudah ada, baik jalan-jalan maupun kanal-kanal.”

“Sebuah gedung pemerintahan baru pun telah direncanakannya untuk menggantikan benteng VOC lama. Weltevreden diharapkan menjadi pusat pemerintahan baru Hindia Belanda. Secara simbolik, gedung pemerintahan itu sebagian dibangun menggunakan bata yang diambil dari reruntuhan benteng atau dinding yang pernah melindungi kota Batavia,” ujar Cor Passhier menerangkan, dalam buku Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia (2009).

Tiada yang mampu menolak rencana Daendels. Segala macam pembangunan pun dilakukan di Weltevreden. Sekalipun dengan pola pembangunan satu demi satu. Sebab, pemerintah kolonial kala itu sedang kesulitan dana.

Tampak depan Istana Putih, pusat pemerintahan baru di Batavia yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada 7 Maret 1809. (Wikimedia Commons)

Kalaupun ada bangunan yang dipaksakan dibangun dengan cepat, maka bangunan itu adalah Istana Putih Daendels (kini dikenal sebagai Gedung A.A. Maramis, Kementerian Keuangan RI). Istana itu digadang-gadang akan menggantikan Kasteel Batavia sebagai kediaman dan kantor Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Pemerintah kolonial Hindia Belanda pun tancap gas. Pembangunan Istana Putih pun dimulai pada 7 Maret 1809. Empunya kuasa menunjuk Kolonel JC Schulze untuk menjadi arsitek dari Istana Putih. Penunjukan Schulze tak lain karena ia salah satu arsitek kesohor di zamannya.

Ia membangun Istana Putih dengan sentuhan gaya Empire Style. Sekalipun kemudian Daendels sendiri tak pernah menghuni istana itu. Sebab, bangunan itu baru selesai dibangun 1828. Sedang jabatan Daendels sebagai Gubernur Jenderal berakhir pada 1811.

“Pada tanggal 7 Maret 1809 diputuskan untuk membangun istana baru bagi gubernur jenderal di sisi timur lapangan parade (kini: Lapangan Banteng) itu. sekalipun keadaan keuangan gawat, pembangunan dilakukan secara besar-besaran. Bangunan induk direncanakan untuk gubernur jenderal, sedang yang lain akan dipakai untuk kantor-kantor pemerintah.”

“Agaknya pada waktu itu orang masih belum bisa melepaskan pila pemikiran lama, bahwa kantor-kantor yang penting harus berada dalam satu kompleks dengan istana, seperti halnya Kasteel di Pasar Ikan (kawasan Kota Tua). Selanjutnya kompleks itu juga meliputi tempat penginapan bagi pejabat, istal kuda, dan sebagainya,” ungkap Siswadi dalam buku Batavia: Kisah Jakarta Tempo Doeloe (1988).