Eksklusif, Refleksi Hanung Bramantyo di Hari Film Nasional 2021
Hanung Bramantyo (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Hari Film Nasional ke-71 yang jatuh pada 30 Maret 2021 sekaligus peringatan 100 tahun tokoh perfilman Indonesia H. Usmar Ismail. Sutradara Hanung Bramantyo memiliki pemikiran mendalam tentang cara memperingati Hari Film Nasional tahun ini.

Gelombang pandemi COVID-19 menghantam film Indonesia dengan sangat keras. Syuting dibatasi, bioskop berhenti beroperasi, semua orang yang selama ini menggantungkan hidup dari film, tiba-tiba kehilangan sandaran. Hari Film Nasional tahun ini memberikan refleksi untuk Hanung Bramantyo.

"Refleksi sebuah perjalanan dari film yang ternyata dari waktu ke waktu membangun kultur pemotretan peristiwa-peristiwa sejarah. Peristiwa generasi dari awal dibentuk hingga sekarang. Dari situ kita bisa melihat film itu tumbuh seperti manusia. Dari hitam putih, tidak ada suara, lalu ada suara, kemudian ada warna, sampai kemudian muncul komputer grafis animasi. Dan itu membawa dampak yang signifikan bagi masyarakat, film sesuai perjalanan zaman, yang di dalamnya ada pergulatan pemikiran, pergulatan ideologi. Dan sesuai perkembangan zaman, negara ini kan berubah dari waktu ke waktu. Dengan orde yang berubah-ubah, dengan rezim yang berubah, dengan pemikiran yang berbeda, dan itu mempengaruhi kondisi sosio kultural dalam budaya tersebut," kata Hanung saat berbincang eksklusif dengan Redaksi VOI, Senin, 21 Maret.

Suami Zakia Adya Mecca ini mencontohkan film yang diproduksi tahun 1950 dibandingkan dengan film yang sekarang muncul tentu memiliki teknologi yang berbeda, tetapi memiliki konten yang sebetulnya tidak jauh berbeda dari hubungan manusia ke manusia yang lain.

"Hari perfilman nasional harus dimaknai sebagai sebuah refleksi, apalagi tahun sekarang film nasional betul-betul dilanda krisis. Ini bukan krisis yang pertama sebetulnya. Bertahun-tahun kita pernah mengalami krisis, dari krisis kekosongan film nasional di era 90-an. Film Indonesia jatuh ke jurang image mengumbar erotisme, hingga akhirnya kemudian berubah menjadi era keemasan film di mana satu film bisa dapat 5-6 juta penonton," paparnya. 

Pandemi COVID-19 sama sekali tidak pernah diperhitungkan oleh sineas Indonesia. "Dari tahun 2020, kita masuk dalam situasi krisis yang luar biasa karena pandemi COVID-19. Karena ada satu pemahaman bahwa bioskop sebagai sebuah tempat yang rentan untuk jadi tempat penyebaran virus COVID-19. Makanya bioskop tutup. Sekarang ini sudah sudah ada beberapa yang buka, tapi belum bisa 100 persen, ada jarak antara satu penonton dengan penonton lainnya. Ini yang membuat film yang awalnya bisa lebih dari 30 juta penonton dalam setahun, sekarang langsung drop sampai paling tinggi hanya 500 ribu penonton," jelasnya. 

Fakta di lapangan, film Indonesia yang mencapai box office saat ini berjudul Asih 2 itu hanya dapat 250.000 penonton. Padahal potensinya film ini bisa 2 juta penonton. "Jadi turunnya hampir 90%, makanya hari perfilman ini harus jadi refleksi lebih dalam lagi. Apa makna film Indonesia bagi rakyat Indonesia sebenarnya. Apakah film Indonesia masih penting ada diantara kehidupan kita," tegasnya.

Yang membuat Hanung merasa sesak adalah, di masa pandemi, sineas merasakan betul bahwa film dipandang sangat tidak penting karena syuting maupun etalase film ditutup. "Film kemudian dikemas dari layar lebar menjadi layar handphone. Para pekerja film yang biasanya bisa menghasilkan pendapatan ekonomi bagi keluarganya akhirnya menjadi kosong. Dan perhatian pemerintah dan masyarakat pada film tidak 100%. Kita melihat banyak pekerja film yang banting setir menjadi pekerja kuliner, pengirim parsel, padahal mereka sutradara hebat yang sudah dikenal, saya pribadi akhirnya jatuh tidak bisa berbuat apa-apa. Dan kembali ke fase membuat film dengan apa yang kita punya dengan handphone dan tayang di YouTube. Inilah makna hari film nasional dengan refleksi yang sangat dalam," jelasnya. 

Hanung Bramantyo (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Meksipun sulit, sutradara film Ayat-Ayat Cinta ini tak bisa mangkir dari rasa cinta yang besar pada film. Tak bisa berpaling hati, cuma bisa beradaptasi. "Saya mencintai film, Saya tetap memiliki optimisme bahwa film Indonesia akan terus dicintai penonton film Indonesia maupun di luar Indonesia. Saya mendengar bahwa banyak orang di luar yang mulai melirik ke Asia, mulai melihat film Indonesia. Mulai ada komunitas-komunitas pecinta film lama, Barry Prima, Advent Bangun, itu mulai muncul. Ada orang luar yang mengagumi film Indonesia seperti itu," katanya.

"Pelaku-pelaku film Indonesia, sutradara film muda mulai bermunculan. Film pendek Tilik yang mendapatkan penonton 27 juta penonton itu fenomenal di tengah situasi krisis pandemi. Filmaker yang tidak dikenal kita muncul mewarnai film di dunia. Buat saya ini sangat membanggakan. Kalau tidak diiringi dengan cinta, rasa sayang pada film, tidak mungkin ini semua bisa terjadi," imbunya.

Cintalah yang membuat Hanung juga tak pernah merasa puas diri. "Saya tidak bisa menilai karya saya sendiri, saya merasa kalau ditanyakan saya selalu merasa kurang. Sebenarnya pencapaiaan saya bukan karya yang bisa mendapat box office atau sebuah penghargaan, ya betul saya tidak akan menolak kebanggaan ketika menerima itu. Tetapi jauh di lubuk hati saya bahwa keinginan saya adalah produk yang dihasilkan dari film Nasional bisa menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia," terangnya.

Tugasnya bukan cuma sekedar menciptakan film lagi, Hanung merasa punya kewajiban untuk menciptakan peluang regenerasi. "Harapan itu harus terus menerus saya capai dengan melakukan regenerasi. Saya harus menuntut membuat film sebagus mungkin, berperang dengan kondisi yang tidak memungkinkan. Sambil memberikan kesempatan pada sutradara baru dari Iqbaal Rais, Fajar Nugros, Fajar Bustomi, dan semua siapapun yang bergerak tidak hanya di bidang penyutradaraan. Ada yang bergerak di editing, art director juga. Banyak hal yang ingin saya tumbuhkan di luar diri saya. Dan itu bagian dari komitmen saya agar supaya menciptakan penonton agar mencintai film Indonesia itu sendiri," jelasnya.

Film Indonesia tidak bisa hanya ditumpukan pada sineas. Hanung menaruh harapan besar atas dukungan pemerintah untuk film Indonesia ke depan. "Kepada pemerintah Indonesia, siapapun presidennya agar supaya memberikan prioritas pada film nasional. Dimana tidak hanya membentuk BPI tetapi juga memberikan anggaran yang mestinya proporsional terkhusus untuk membuat pendidikan film, membuat workshop, atau mengirim mereka, bibit muda untuk keluar belajar film. Tidak cuma satu orang, tapi bisa sepuluh orang dua puluh orang satu generasi untuk belajar film ke luar dan kembali ke Indonesia untuk membangun film Indonesia. Ini sudah dilakukan pemerintah Korea," harapnya. 

Selain pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan, infrastuktur pendukung film Indonesia juga harus diperhatikan. "Bagaimana studio harus dibangun, insentif kepada film yang tidak memiliki potensi komersial tetapi memiliki eksplorasi kreatif seperti dokumenter, film art, itu harus dibuatkan kanal-kanal distribusi, etalase, dan memberikan support kepada film bagus di Indonesia yang mau berkiprah di kancah Internasional," kata Hanung. 

Keterlibatan film Indonesia di berbagai film festival di dunia diharapkan dapat memberi peluang distribusi lebih besar sehingga makin banyak yang menikmati fim Indonesia. "Untuk ikut festival di luar negeri seperti Cannes, Toronto, Sundance, dll itu membutuhkan dana yang besar untuk membuka etalase, untuk membuka booth yang diisi film Indonesia berkualitas dimana film Indonesia sehingga dunia bisa melihat kultur Indonesia dari film Indonesia. Ini yang saya harapkan peran pemerintah terlibat. Karena tanpa pemerintah, saya bekerja sendiri, Joko Anwar bekerja sendiri, Mira Lesmana bekerja sendiri, tidak ada payung yang memberikan perlindungan baik hukum, dana, fasilitasi yang membuat film Indonesia semakin berkembang," tegasnya. 

Hanung Bramantyo (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Hanung mengakui tantangan bagi insan perfilman Indonesia saat pandemi ini sangat berat. Namun, mereka tak mau menyerah. Bahkan untuk menyuarakan kegelisahan pun, mereka menahan diri. Kerena sadar penonton membutuhkan hiburan, bukan menambah beban dengan melihat kondisi perfilman Indonesia saat ini. 

"Di Masa pandemi ini banyak film yang sudah syuting, sudah siap tayang itu semua berhenti. Otomatis dalam satu tahun ini, tidak ada produksi film yang dilakukan secara ideal. Semua produksi film harus dilakukan dengan kompromi pada keaadaan. Jadi dimulai dari 3 bulan pertama yang berat sekali. Saya tidak bisa bayangkan bagaimana orang-orang film yang biasanya pada saat lebaran bisa merayakan dengan memberi baju baru untuk anak-anak, tiba-tiba tidak ada uang untuk membeli itu semua karena semua pekerja film, buruh film, kreatif film semua berhenti di tiga bulan pertama," kenangnya. 

Sutradara film Bumi Manusia ini mengisahkan repotnya syuting di tengah masa pandemi. "Setelah ada desakan membuka PSBB pertama, akhirnya muncul keaadaan new normal. Keadaan ini tidak serta merta diikuti dengan kebebasan syuting di lokasi manapun. Contohnya film saya Gatotkaca harus berhenti syuting, harus mundur pada batas waktu yang tidak ditentukan. Kemudian saya menemukan celah bisa syuting, namun dengan serta terbatas," katanya. 

Film Gatotkaca direncanakan akan syuting di 6 daerah di Indonesia, namun karena pembatasan pandemi, akhirnya mengerucut cuma bisa syuting di Jogja lebih spesifik lagi di studio Gamplong. "Jadi kita harus melakukan kompromi, skenario yang awalnya kejadian di kota kita ganti ke tempat yang terisolir, karena kota tidak bisa kita sentuh sama sekali karena berhubungan dengan pandemi. Di samping itu pembiayaan juga membengkak karena apa? Karena ada rapid tes, PCR tes, sebelum masuk lokasi semua harus dites antigen atau rapid test yang harganya sekita Rp. 200-300 ribu. Bayangkan jika harus melakukan tes untuk 300 orang di tim produksi. Itukan ada lonjakan pengeluaran yang luar biasa," tuturnya. 

Pemilik Dapur Film ini juga melihat kegelisahan investor karena bioskop masih ditutup. "Bayangkan investor mengeluarkan biaya yang cukup besar tapi belum tahu ini film bakal tayang dimana. Sponsor-sopnsor sudah terlanjur mengeluarkan dana, tapi tidak tahu placement-nya brand mereka dimana film ini, karena bioskop tutup. Pada PSBB kedua menghadirkan keadaan yang yang lebih rumit lagi, setelah keadaan dibuka terus ditutup lagi, ini syuting makin sulit karena dibubarkan Satpol PP. Pekerja film, sinetron, layar lebar, iklan harus berhadapan Satpol PP dan masyarakat yang menolak syuting, padahal kita semua cari makan," jelasnya. 

Pantang menyerah, Hanung melihat ini ujian yang berat yang membuatnya berfikir dan berkompromi sampai akhirnya menemukan jalan keluar yang kreatif. "Karena penonton tidak peduli itu semua, penonton mau tidak melihat proses filmnya. Mereka membutuhkan hiburan, eksplorasi tinggi, ini yang menjadi tantangan bagi kita semua. Kita nggak boleh memberikan curhatan kepada penonton, penonton tidak mau terima itu semua. Penonton hanya membutuhkan entertaiment yang bagus, justru di tengah pandemi, mereka mau hiburan yang menarik. Ini yang membuat kita terus memutar otak untuk memberikan yang terbaik," tegasnya.

Hanung Bramantyo (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Tak selamanya mendung itu kelabu, pelangi hanya muncul setelah hujan, begitupun pandemi tak selalu berarti negatif bagi Hanung Bramantyo. Secara kebetulan Hanung berada di Jogja pada masa awal pandemi. Saat pembatasan berlaku, Hanung hanya bisa tinggal di kampung halamannya tersebut.

"Sebenarnya saya di Jogja itu kejebak, saat itu saya sedang mengerjakan film Ibu dan Surga yang Tak Dirindukan 3. Saat syuting saya juga sedang mempersiapkan film Tersanjung yang sudah gala premiere waktu itu. Dan bersamaan itu pula saya mempersiapakn film Gatotkaca. Sebenarnya ada 4 produksi yang berbarengan. Saat gala premiere Tersanjung itu sudah ada berita yang terpapar COVID-19 itu sudah mencapai 100 orang. Situasi gala premiere Tersanjung ini sudah berbeda. Tamunya nggak sebanyak biasanya, karena orang sudah takut keluar, sampai paginya harus kembali ke Jogja untuk syuting. Tiba-tiba saat syuting harus lock down. Dan salah satu kru film Surga yang Tidak Dirindukan 3 ada indikasi terpapar COVID, dari situ kami merasa panik semua, karena dirundung berita dan polarisasi berita yang mengatakan COVID itu berbahaya sehingga membuat pemikiran kami semua jadi kalau kita tetap syuting kita akan mati. Terkonstruksi itulah yang membuat kita memutuskan semua harus berhenti," kenangnya. 

Meskipun waktu syuting tinggal satu minggu lagi selesai, pemain dan kru sudah panik dan ingin kembali ke keluarga masing-masing sehingga syuting tidak bisa dilanjutkan. "Dari situlah saya terjebak di Jogja. Nggak bisa kemana-mana, saya kebetulan sudah punya rumah 2-3 tahun lalu di Jogja mempersiapkan tempat permanen kalau saya di Jogja. Saya pikir pada saat itu saya akan di rumah itu 2-3 bulan, mungkin setelah lebaran saya bisa balik ke Jakarta. Ternyata tidak ada kabar yang terpapar mereda, tapi malah semakin naik semakin naik. Ditambah lagi keputusan film Gatotkaca merujuk syuting di Jogja saja, akhirnya saya berada di Jogja terus sekeluarga," kenangnya.

Ternyata, kesempatan itu menjadi waktu terlama bersama keluarga di Jogja. "Zaskia yang hamil sampai melahirkan di jogja. Saya mencoba beradaptasi dengan pandemi, syuting dengan alat yang ada sendiri, pakai HP dan diunggah di YouTube. Sebenarnya pandemi ini berkah untuk keluarga saya. Karena saya jarang berada di rumah bareng-bareng selama 24 jam semua berada dalam rumah yang sama. Disamping saya harus prihatin, saya menikmati 24 jam aktivitas anak saya bagaimana mereka tumbuh. Pertumbuhan saya saya melihat semua, istri saya yang hamil biasanya saya tinggal kemana-mana, kali ini tahu sekali semua perjuangan hamilnya. Itu sebenarnya berkah," jelas bapak dari lima anak ini. 

Kabar baik lain yang didapatkan adalah, studio Gamplong yang awalnya hanya untuk syuting Sultan Agung, Bumi Manusia, dan Habibie Ainun kemudian menjadi ladang ekonomi di masa pandemi. "Saya dapat pemasukan karena banyak yang datang untuk rekreasi, menumbuhkan ekonomi penjaga studio dan masyarakat sekitar. Studio ini juga menjadi pemecah persoalan ketika kita nggak bisa syuting di luar, ini bisa menjadi solusi. Mau tidak mau saya harus menciptakan set kota di situ," terangnya.  

Hanung Bramantyo (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Kabar baik lain pun bermunculan, film Surga yang Tak Dirindukan 3 akhirnya tayang di Disney+ Hotstar, setelah terkatung-katung cukup lama. Meskipun sebenarnya Hanung menginisiasi film Surga yang Tak Dirindukan 3 untuk memperkenalkan sutradara Pritagita Arianegara pada karya komersil box office. "Prita itu salah satu sutadara yang karirnya dimulai dari pencatat skrip, yang akhirnya menjadi sutradara film Sawalaku, Surga di Atas Langit. Karyanya membanggakan buat saya. Karena itu saya menantang untuk menyutradarai film Surga yang Tak Dirindukan 3 karena saya ingin memberi ruang supaya sutradara baru untuk menciptakan karya komersil, sama seperti kesempatan Fauzan Rizal untuk Habibie Ainun, saya ingin Prita juga dikenal dengan film Surga yang Tak Dirindukan 3," paparnya. 

Sekuel film Surga yang Tak Dirindukan memang selalu memiliki penonton yang bagus dan menembus box office. "Saya berharap Prita akan lebih dikenal ketika Surga yang Tak Dirindukan 3 mencapai box office. Semua sudah dipersiapkan sedemikian rupa berama Produser Pak Manoj dan Asma Nadia sebagai pemilik cerita agar bisa jadi box office tahun 2020 waktu itu. Tapi kemudian ada pandemi dan semua terkatung-katung. Sampai akhirnya saya mendapat kabar film ini akan tayang di OTT, ini membuat saya harus beradaptasi," katanya. 

Takdir selalu memiliki jalannya sendiri, begitupun ketika Prita kemudian harus memperkenalkan karyanya lewat OTT. "Saya harus mengalah berkompromi dengan medium baru yaitu OTT. Di OTT kita susah mengukur sebuah film masuk box office atau enggak, karena nggak ada datanya yang sejelas YouTube. Pernah saya mencari data di internet, tidak kita dapatkan. Ada paradigma baru, situasi baru yang saya harus beradaptasi. Apakah Prita akan dikenal dengan Surga yang Tak Dirindukan 3? Saya tidak tahu. Ini tujuannya apa? Supaya ada regenerasi, saya tidak sendirian melakukan upaya mengkampanyekan kepada masyarakat untuk mencintai film Indonesia. Memberi kesempatan kepada anak muda yang cinta pada film Indonesia, Prita salah satunya," jelasnya. 

Tak cuma lewat film, ternyata Hanung sangat konsisten dan terbuka ketika membicara kesetaraan gender lewat film. Terbukti dalam pemilihan Pritagita Arianegara sebagai sutradara Surga yang Tak Dirindukan 3. Hanung yakin pesan kesetaraan gender yang diperjuangkannya dalam film tidak akan sia-sia.

"Setiap saya memilih tema topik itu berdasarkan apa yang saya bisa, berdasarkan apa yang terjadi di lingkungan terdekat saya. Ketika saya memilih membuat Ayat-Ayat Cinta teman itu sangat dekat dengan saya. Tema tentang hubungan cinta laki-laki dan perempuan. Bagaimana mereka menikah kemudia poligami dan segala macam, itu adalah situasi yang dekat dengan saya, saya lahir dari dari keluarga yang sangat patriliner di lingkungan jawa, anak pertama, laki-laki, islam, dan memiliki adik-adik perempuan. Jadi oleh keluarga saya, saya sudah di-set up supaya menjadi lelaki yang memimpin. Apalagi di dalam Islam diberikan payung pemahaman laki-laki adalah imam. Laki-laki, yang sayangnya, diterjemahkan pemimpin perempuan sebagai objek," jelasnya. 

Selama ini, pemimpin selalu identik dengan kekuatan yang besar, menguasai, patronnya raja yang memiliki kuasa. Hanung pernah pada titik tersebut. "Pada saat itu perempuan saya jadikan objek, pemuas eksistensi, cowok kalau nggak punya pacar rasanya akan hina dina, jomblo itu perlu perempuan untuk dijadikan sandaran objek untuk penguat identitas laki-laki. Semakin cowok punya pacar banyak semakin terlegitimasi bahwa cowok itu ganteng. Saya secara tidak langsung melukai perasaan ibu saya yang juga perempuan. Melukai adik-adik saya, sampai puncaknya melukai perasaan istri saya yang akhirnya terjadi perceraian. Itu semua merekonstruksi pemikiran saya seolah saya abai pada kesetaraan gender," kenangnya.

Hanung Bramantyo (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Kesetaraan gender, menurut Hanung, artinya perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama. "Bahkan mestinya perempuan itu lebih tinggi derajatnya daripada laki-laki. Itu tertuang dalam sikap Rosulullah terutama pada istrinya, Siti Khadijah yang sangat kaya, sangat powerfull itu disanjung betul sama Rosullullah. Bahkan sampai meletakkan surga di bawah telapak kaki ibu, ibu kan perempuan. Kemudian ada hadist yang mengatakan siapa yang harus dihormati, ibumu, ibumu, ibumu baru ayahmu. Artinya ibu itu punya tingkatan derajat tiga kali lebih tinggi dari laki-laki. Kesetaraan gender bagi saya tidak hanya sekedar setara, mestinya perempuan harus lebih tinggi," jelasnya. 

Bukan pemimpi, menurutnya lelaki harus bisa menjadi pelindung perempuan. "Apa yang harus dilindungi laki-laki kepada perempuan? Pertama rahimnya, siklus mentruasi, dan dada perempuan. Ketiganya adalah sumber kehidupan manusia. Selain tiga itu, perempuan memiliki hak yang sama untuk belajar dan bekerja. Ini semua keluar dari mulut saya tidak tiba-tiba, karena banyak peristiwa yang terjadi di masa sebelumnya sangat mencederai hati perempuan ibu saya, adik-adik saya, mantan istri saya dulu, saya merasa harus memperbaiki itu semua," ujar Hanung. 

"Film adalah katalisator saya, hasil renungan saya, saya keluarkan di film Ayat-Ayat Cinta, Surga yang Tak Dirindukan, sampai puncaknya adalah film Kartini. Kartini adalah kekaguman saya pada sosok perempuan, jadi sebetulnya pemilihan saya pada kesetaraan gender itu tidak serta merta tuntutan tren atau kurator dunia, tidak. Ini adalah proses yang muncul melalui pergulatan batin saya," tegasnya. 

Konsisten mengangkat tema kesetaraan gender selama puluhan tahun, Hanung yakin film bisa mengubah pola pikir masayakat. "Saya yakin 100% saya ingat tahun 1990-an itu ada film Ghost  yang dibintangi Demi Moore bisa mempengaruhi jutaan wanita untuk berani memotong pendek rambutnya. Padahal kala itu yang namanya ikon kecantikan perempuan ditandai dengan rambut panjang, Demi Moore mampu mengubah itu," jelasnya. 

Di Indonesia, Hanung sendiri sudah merasakan perubahan yang nyata di masyarakat setelah film Ayat-Ayat Cinta ditayangkan. "Sebelum film ini ada, perempuan berjilbab itu berada posisi eksklusif, terpinggirkan sampai Cak Nun bikin pertunjukan Lautan Jilbab yang berisi gugatan masyarakat berjilbab yang mendiskrimasi orang-orang berjilbab. Nah, dengan adanya Ayat-Ayat Cinta, situasi kondidi masyarakat muslim bergerak melakukan perlawanan, bahwa muslim itu tidak cuma keillahiah semata-mata, sangat absrud abstrak, tetapi Islam bergerak pada kampanye muslim juga intelektual, berbudaya, pintar, tidak hanya sekedar masyarakat yang terkotak pada pesantren tertentu, pada organisasi tertentu, kami bisa bergaul secara modern, kami bisa punya rasa cinta yang menghadirkan romance. Ayat-Ayat Cinta menjadi katalisator yang menggarisbawahi itu semua. Sampai akhirnya anak muda bangga berjihab, bercadar, bahkan industri TV yang biasanya menampilkan sinetron Islam hanya saat ramadan, kemudian Januari-Desember ada terus," paparnya.

Hanung yakin film bisa menjadi penggerak perubahan zaman dan generasi. "Film Pengabdi Setan mengubah cara menonton film horor yang baik. Dilan memunculkan generasi 90-an kembali karena Iqbal Ramadan berperan di dalamnya," katanya. 

Keyakinan itulah yang membuat Hanung menyambut baik dibukanya kembali bioskop pada 1 April mendatang. "Saya mendengar bioskop akan dibukan untuk masyarakat kembali menikmati bioskop dengan tetap menerapkan protokol, berjarak. Buat saya ini sesuatu yang positif, yang awalnya cuma di kota-kota besar sekarang bisa di semua daerah. Ini angin segar untuk film Nasional, karena kuota yang 50% kapasitas bioskop itu cuma terjadi di kota besar, maka perolehan penonton pasti akan sangat terbatas. Saya berharap dengan pengamanan yang cukup ketat, box office yang dicapai Asih 2 sekitar 250.000 penonton itu bisa naik menjadi 500.000 lalu 1 juta penonton. Karena hal itu akan membawa dampak yang signifikan pada perfilman Indonesia," harapnya. 

Vaksinasi yang sudah dijalankan pemerintah memberi harapan agar kondisi pandemi ini segera teratasi. "Harapan satu-satunya hanya diletakkan ke Pemerintah bagaimana mereka mendorong masyarakat untuk kembali ke bioskop. Pemerintah memberikan vaksin yang menyeluruh kepada masyarakat. Saat ini yang sudah divaksin tenaga kesehatan, lansia, saya dan teman-teman seniman di Jogja mendorong gubernur untuk memberikan dorongan agar seniman, pekerja film untuk divaksin. Anak-anak muda harus mau divaksin karena itu sebagai imunitas kita agar kita percaya diri melakukan aktivitas seperti sebelum pandemi, yakin untuk ke bioskop nonton film Indonesia lagi," tegasnya. 

Dan satu yang pasti, film maker juga harus membuat film yang bagus. "Supaya penonton yang sudah bela-belain keluar rumah untuk nonton ke bioskop tidak kecewa. Karena itu bersama-sama masyarakat film, kampanye bersama-sama bahwa film Indonesia sudah mulai bagus sehingga tidak perlu takut kecewa menonton film Indonesia," katanya.