JAKARTA - Hanung Bramantyo konsisten mengangkat tema kesetaraan gender selama puluhan tahun, Hanung yakin film bisa mengubah pola pikir masayakat. Pemilik Dapur Film ini tak pernah ragu mengakui dirinya sebagai penganggum Kartini.
Lewat film, Hanung ingin memperpanjang perjuangan Kartini dalam mewujudkan keterasaan gender. Dia yakin, film bisa memberi dampak besar pada perubahan pola pikir masyarakat.
"Saya yakin 100% film bisa mengubah masyarakat. Saya ingat tahun 1990-an itu ada film Ghost yang dibintangi Demi Moore bisa mempengaruhi jutaan wanita untuk berani memotong pendek rambutnya. Padahal kala itu yang namanya ikon kecantikan perempuan ditandai dengan rambut panjang, Demi Moore mampu mengubah itu," jelasnyasaat berbincang eksklusif dengan Redaksi VOI, Senin, 21 Maret.
Kesetaraan gender, menurut Hanung, artinya perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama. Tak cuma Kartini, Hanung juga mengagumi istri Nabi Muhammad, Siti Khadijah sebagai pendukung dakwah nabi.
"Bahkan mestinya perempuan itu lebih tinggi derajatnya daripada laki-laki. Itu tertuang dalam sikap Rosulullah terutama pada istrinya, Siti Khadijah yang sangat kaya, sangat powerfull itu disanjung betul sama Rosullullah. Bahkan sampai meletakkan surga di bawah telapak kaki ibu, ibu kan perempuan. Kemudian ada hadist yang mengatakan siapa yang harus dihormati, ibumu, ibumu, ibumu baru ayahmu. Artinya ibu itu punya tingkatan derajat tiga kali lebih tinggi dari laki-laki. Kesetaraan gender bagi saya tidak hanya sekedar setara, mestinya perempuan harus lebih tinggi," jelasnya.
BACA JUGA:
Sebagai bentuk penghormatan kepada Kartini, Hanung membuat banyak film yang bertema kesetaraan gender. Berikut 5 film karya Hanung Bramantyo yang bertema kesetaraan Gender.
1. Perempuan Berkalung Sorban
Film Perempuan Berkalung Sorban yang sempat jadi kontroversi, karena dianggap menyudutkan salah satu agama. Film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo ini diangkat dari novel berjudul sama karya Abidah El Khalieqy.
Mirip dengan cerita Kartini, film ini berpusat pada Anissa (Revalina S. Temat), seorang putri kiai dengan pikiran modern yang menolak tradisi konservatif di mana posisi seorang wanita harus selalu berada di bawah lelaki.
2. Ayat-Ayat Cinta
Hanung menceritakan ketika memilih membuat Ayat-Ayat Cinta tema itu sangat dekat dengan dirinya sebagai sosok lelaki kebanggaan keluarga. Tema tentang hubungan cinta laki-laki dan perempuan yang tak seimbang.
"Bagaimana mereka menikah kemudian poligami dan segala macam, itu adalah situasi yang dekat dengan saya, saya lahir dari dari keluarga yang sangat patriliner di lingkungan jawa, anak pertama, laki-laki, islam, dan memiliki adik-adik perempuan. Jadi oleh keluarga saya, saya sudah di-set up supaya menjadi lelaki yang memimpin. Apalagi di dalam Islam diberikan payung pemahaman laki-laki adalah imam. Laki-laki, yang sayangnya, diterjemahkan pemimpin perempuan sebagai objek," jelasnya beberapa waktu lalu.
3. Jomblo
Selama ini, pemimpin selalu identik dengan kekuatan yang besar, menguasai, patronnya raja yang memiliki kuasa. Hanung pernah pada titik tersebut.
"Pada saat itu perempuan saya jadikan objek, pemuas eksistensi, cowok kalau nggak punya pacar rasanya akan hina dina, film Jomblo menunjukkan laki-laki perlu perempuan untuk dijadikan sandaran objek untuk penguat identitas. Semakin cowok punya pacar banyak semakin terlegitimasi bahwa cowok itu ganteng," kenangnya.
4. Surga yang Tak Dirindukan
"Film adalah katalisator saya, hasil renungan saya, saya keluarkan di film Ayat-Ayat Cinta, Surga yang Tak Dirindukan, sampai puncaknya adalah film Kartini. Kartini adalah kekaguman saya pada sosok perempuan, jadi sebetulnya pemilihan saya pada kesetaraan gender itu tidak serta merta tuntutan tren atau kurator dunia, tidak. Ini adalah proses yang muncul melalui pergulatan batin saya," tegasnya.
5. Kartini
Sesuai dengan judulnya, film Kartini adalah puncak dari kekaguman sosok Pahlawan Kesetaraan Gender, Kartini. Perjuangan Kartini, lanjut Hanung, berbeda dengan perjuangan pahlawan wanita lainnya. Cut Nyak Dien, misalnya, bisa langsung mengangkat senjata. Tapi perjuangan Kartini, dititikberatkan pada usahanya untuk mendongkrak budaya yang membuatnya terkungkung.
Hanung Bramantyo yakin pemikiran Kartini masih sesuai jika diterapkan pada saat ini. "Pemikiran Kartini masih relevan sampai sekarang. Kartini dibatasi karena kebudayaan sebagai bangsawan yang harus menikah dengan bangsawan. Orangtua kalau punya anak perempuan, sampai sekarang, suka berfikir anak ini akan menikah dengan siapa. Dulu kebudayaan dipakai untuk membatasi aktivitas perempuan, sekarang agama yang dipakai untuk membatasi aktivitas perempuan," ujar Hanung Bramantyo.