JAKARTA - Pandemi COVID-19 berdampak pada semua lini kehidupan di Indonesia dan seluruh dunia, termasuk pada industri film Indonesia. Joko Anwar melihat perubahan itu akan sangat signifikan bahkan dampaknya akan tetap terasa kelak setelah pandemi bisa diatasi.
"Dampak pandemi terhadap sineas seperti industri yang lain di Indonesia dan dunia. Setiap tahun biasanya kita rilis 140-150 judul, tahun lalu kita cuma rilis kurang dari 60 judul pada tahun 2020. Kita kehilangan 76% penjualan tiket. Tahun 2018-2019 kita menjual setiap tahunnya 51 juta tiket setiap tahun, tahun 2020 kita turun 76 persen," kata Joko saat wawancara virtual dengan VOI Sabtu, 30 Januari.
BACA JUGA:
Secara ekonomi, pandemi jelas memukul sumber penghasilan sineas. Apalagi di masa awal adaptasi dengan pandemi, semua aktivitas dibekukan.
"Kalau produksi berkurang, sineas juga pendapatannya berkurang karena pekerjaan berkurang. Sekrang banyak sineas yang alih profesi jadi bisnis kuliner ada yang engerjakan hal-hal lain," terangnya.
Seiring berjalannya waktu, syuting pun mulai bisa dijalankan kembali. Meski begitu penyesuaian syuting membuat biaya produksi di masa pandemi jauh lebih besar.
Akhir tahun 2019, geliat syuting kembali meningkat setelah produser mulai terbiasa dengan pola distrubusi film melakui OTT. Namun, syuting di era pandemi tak pernah lagi sama dengan syuting di masa lalu.
"Tantangan syuting di masa pandemi kita harus mengikuti protokol kesehatan yang standart pakai masker, jaga jarak, dan rutin cuci tangan. Karena syuting awalnya tidak diatur jamnya, sekarang takut capek kemudian imun berkurang, jadi dikurangi yang tadinya 18 jam sekarang 10-12 jam," katanya.
Secara matematis, berkurangnya jam syuting akan membuat waktu syuting lebih lama. "Syuting days bertambah dan membuat biaya produksi juga meningkat. Disamping kita harus mempersiapkan keperuan untuk protokol kesehatan. Jam syuting, biaya produksi, waktu produksi dan tentunya syuting sangat berhati-hati," kata Joko.
Lokasi syuting juga terbatas, sehingga sineas harus pandai mengakali. "Dulu bisa di gang-gang di pemukiman penduduk sekarang nggak bisa karena nggak mau bikin kerumuan yang membawa risiko kita terpapar virus," katanya.
Pergeseran film dari bioskop ke OTT, menurut Joko, makin kuat saat pandemi. "Sangat dimaklumi karena bioskop walaupun sudah beroperasi itu dibatasi 25-50 persen. Orang-orang masih takut ada juga yang nggak mau, jadi sangat bisa dipahami produser mencari moda distribusi yang aman terlebih di kala pandemi. Ini sangat wajar ya," jelasnya.
Namun, sebagai sineas Joko mengaku kuatir pandemi akan mengubah gaya penonton menikmati film. "Peralihan penonton dari bioskop ke OTT memang mengkuatirkan karena kalau kita lihat bioskop kosong walaupun kapasitas cuma 25% atau 50% biar aman, tapi tetap kosong. Sedangkan tempat makan, restoran, cafe, tempat nongkrong masih ramai. Jadi kemungkinan budaya nonton ke bioskop yang sudah dibentuk 20 tahun ini bisa jadi sudah berkurang karena semakin nyaman dan gampang nonton di rumah lewat OTT. Itu memang sesuatu yang saya kuatirkan saat ini," jelasnya.
Ada tantangan yang bakal disisakan setelah pandemi COVID-19 bisa dikontrol. Misalkan, tahun 2022 bioskop sudah normal, pandemi bisa dikontrol, kapasitas bioskop sudah bisa 100% masyarakat sudah tidak kuatir pergi ke tempat rekreasi termasuk bioskop, Joko kuatir budaya nonton di bioskop sudah rusak.
"Ini hanya bisa diobati bisa ditanggulangi jika sineas Indonesia menproduksi film untuk layar lebar yang memang layak untuk diperjuangkan penonton untuk pergi ke bioskop untuk nonton film," paparnya.
Penonton perlu diyakinkan kembali untuk mendapatkan pengalaman menonton yang seru di bioskop, yang tak bisa digantikan oleh tayangan OTT.
"Jadi film yang ditonton di bioskop harus benar-benar memberikan pengalaman sinematik yang ketika ditonton di bioskop memberi pengalaman berbeda dibanding nonton di kayar kecil. Ini tergantung bagaimana sineas bisa memberikan kebutuhan tersebut kepada penonton," kata Joko Anwar.
Mengikuti perkembangan zaman, 8 film karya Joko Anwar juga bisa disaksikan di OTT. Tak cuma di Indonesia, film Joko juga bisa di nikmati penggemarnya di seluruh dunia karena hak siarnya diminta OTT yang menayangkan filmnya di luar negeri.
"8 Film saya semua ada di OTT yang berbeda-beda. Janji Joni, Kala ada di Disney Plus. Pintu Terlarang, Modus Anomali, A Copy of My Mind ada di Netflix dan Bioskop Online. Pengabdi Setan ada di banyak OTT. Gundala juga akan tayang di Netflix, Perempuan Tanah Jahanam juga sudah ada di Gopay, dan Amazon Prime," jelasnya.
Dia mengaku tak banyak memproduksi film selama ini. "Saya bikin film setahun sekali, dua tahun sekali. Film yang saya buat selalu berbeda nggak cuma satu genre," katanya.
Namun, Joko tak menampik bahwa dirinya suka genre horor. "Karena saya besar dengan banyak sekali nonton film horor. Ketika saya kecil 80% saya nonton film horor. Karena saya nonton film dari bioskop, dan saat itu banyak film horornya. Horor kalau untuk masyarakat luas, terutama di tempat saya kecil banyak masyarakat yang nonton film horor. Jadi kebanyakan nonton film horor," paparnya.
Pergeseran pola distribusi, lanjutnya, tidak mengurangi bagaimana standart produksi film yang diterapkan olehnya. Masing-masing OTT memiliki pola produksi yang berbeda-beda.
"Produksi untuk bioskop maupun OTT ada yang sama ada yang berbeda. Kalau dilihat untuk OTT juga ada yang produksi dengan skala besar. Sama halnya layar lebar. Ada juga film layar lebar yang secara skala production value-nya emang kecil. Jadi nggak berbeda sih, moda distribusi dengan proses produksi sama saja," katanya.
Secara produksi, Joko yakin OTT juga ingin memberikan yang terbaik bagi penontonnya. "Sebenarnya sama saja ya semua OTT kalau mengalokasikan budget yang cukup dengan production value besar, teknis dan estetika bisa menyamai produksi film yang biasanya dinikmati dnegan layar lebar di bioskop," katanya.
Apakah OTT luar negeri dan lokal punya perbedaan kualitas? "Tergantung sih, biasanya OTT yang ngasih budget yang cukup untuk sebuah film, ada juga yang low bugjet. Bukan tergantung OTT yang mana, tapi tergantung budjet yang mereka sediakan untuk produksi," urai Joko Anwar.
Jadi, meskipun pandemi, Joko Anwar tetap melanjutkan proses produksi filmnya. "Jagad Sinema Bumi Langit sedang mempersiapkan dua film, Sri Asih dengan sutaradara Upi dan Virgon the Sparking dengan sutradara Ody C Harahap. Sedang kita persiapakn itu, karena pandemi kita mengalami kesulitan produksi jadi kita melakukannya dengan pelan-pelan supaya aman," tegasnya.
Terbaru, Bayu sempat menbocorkan film yang bakal diproduksi Joko Anwar berjudul A Remarkable Thing to Killing. Penggemar film pun langsung menyambut bocoran itu dengan antusias. Benarkan Joko sedang mengerjakan film tersebut?
"Film saya Remarkable Thing to Killing adalah fim yang saya kembangkan ceritanya sejak tahun 2016. Jadi bukan film yang baru dikerjakan. Karena memang biasanya kalau saya nulis skenario lama, mengembangkan ceritanya lama, persiapannya lama, jadi remarkable Thing to Killing adalah proyek yang sudah lama saya persiapkan sama Aryo Bayu, kalau syutingnya kapan saya belum tahu juga. Tapi ini film yang tidak boleh buru-buru untuk dikerjakan," tegasnya.
Ario Nayu bisa dibilang aktor langganan Joko Anwar. Sampai ada yang berfikir Joko selalu menggunakan aktor yang sama ketika membuat film baru.
"Sebenarnya karena aktor dan aktris yang main film saya itu sangat kuat ya karakternya, present-nya kuat, aktingnya kuat, jadi mereka memorable banget di film saya jadi tetap diingat oleh penonton. Sebenarnya jika dilihat banyak sekali sineas lain yang membuat film dengan pemain yang itu-itu saja. Saya rasa ini sesuatu yang lumrah," tegasnya.
Joko menjelaskan sebenarnya dia tidak pernah mematok pemainnya ketika membuat film. "Biasanya 70% adalah pemain baru yang, kita bahkan mencari pemain dari lokasi syuting yang sama sekali nggak pernah main film sebelumnya. Ada yang guru agama, ada driver ojol, kita cari, kita udisi untuk. Ya sesuai kepentingan karakter saja," pungkasnya.