Eksklusif, Acha Septriasa: Pergeseran Penonton Bioskop ke OTT adalah Keniscayaan
Acha Septriasa (Foto Koleksi Acha Septriasa, Fotografer @Deppitco)

Bagikan:

JAKARTA - Dua film yang dibintangi Acha Septriasa tayang di platform over the top (OTT) Netflix. Film June dan Kopi tayang pada akhir Januari 2021. Sedangkan film Layla Majnun bakal tayang mulai 11 Februari mendatang. 

Sebenarnya dua film itu disiapkan untuk tayang di bioskop, syutingnya sudah selesai saat pandemi COVID-19 menghantam dunia. Karena pergerakan masyarakat dibatasi, maka film tersebut ditayangkan di layanan OTT. 

Acha yang tinggal di Australia bersama dengan keluarganya merasa beruntung karena OTT membuatnya bisa menonton yang dibintanginya. "Film tayang di OTT adalah sebuah proses yang harus dilewati, walaupun agak berkurang distribusi ke bioskopnya tapi bisa ditonton ke seluruh dunia lewat Netflix. Semoga banyak menjangkau penonton di seluruh dunia, nggak terbatas penonton di Indonesia," ujar Acha saat berbincang esklusif dengan VOI lewat video call, Jumat, 29 Januari. 

Perlahan tapi pasti pandemi mengubah kebiasaan nonton dari bioskop ke  OTT. Menurut Acha pasti dalam proses segala kegiatan perubahan adalah sebuah keniscayaan. "Kemajuan teknologi membuat segala berubah. Semua serba digital. Dari proses film making  pun berubah dari film yang berrol-rol. Produksi film bayarnya mahal karena harus pakai kamera besar, yang simpennya aja harus di tempat yang dingin, sewanya beratus-ratu juta sekarang ada kamera digital yang compact. Sama halnya aku menjadikan OTT sebagai pendukung aku untuk tidak ke bioskop selama masa pandemi ini," jelasnya. 

Sebagai seniman, Acha mesti beradaptasi, karena di dunia ini semuanya pasti berubah. "Dari cara dulu memasarkan diri kita harus ketemu media, sekarang asal punya tim, pakai sosial media kita bisa ngatur besok berita apa yang ingin kita dengar, kita baca tentang diri kita. Jadi sekarang kayak dunia dalam genggaman kamu karena media digital," katanya. 

OTT juga memungkinkan semua stock holder mengecek tanggapan  masyarakat terhadap sebuah karya film. "Kita bisa cek semua bukan cuma produser. Data flollower saya misalnya bisa ketahun usianya. Kita bisa tahu penonton suka atau enggak secara langsung," jelas Acha.

Acha Septriasa (Foto Koleksi Acha Septriasa, Fotografer @Deppitco) 

Berbeda dengan film yang tayang di bioskop untuk menjaring minat  penonton, OTT memiliki basis data real time yang bisa menjadi referensi produser dalam membuat sebuat film atau serial. "Netflix menggunakan sistem yang berbasis data untuk generasi 4.0. Banyak hal yang diciptakan based on statistik," papar Acha. 

Sebagai contoh, Acha menjelaskan bagaimana BTS dan Blackpink bisa  merajai chart musik dunia hanya dalam dua tahun. Mereka dibentuk oleh  produser yang membuat konsep berdasarkan data kebutuhan anak muda. 

"Mereka itu dibentuk based on data. Mereka nggak nyanyi apa yang ingin mereka nyanyikan. Produsernya riset apa yang ingin didengar oleh  pendengarnya. Akhirnya ya benar-benar data bicara. Buat aku Netflix ini bahaya karena mereka bicara pakai data, mereka selalu bikin sesuatu yang tetap laku karena ngasih apa yang penonton mau," jelasnya. 

Jika bioskop memiliki ukuran film box office, dengan jumlah penonton sebagai ukuran keberhasilan, OTT tidak lagi menggunakan ukuran yang  sama. "Sasaran mereka bukan film yang blockbuster lagi, tapi film yang belum sempat tayang dan didengar oleh orang banyak kemudian  didistribusikan ke seluruh dunia," katanya. 

Mengapa Netflix mampu mendominasi? Karena mereka sudah mulai dulu dari platform lain. "Sekarang antar platform itu menciptakan formula berdasarkan data. Jadi sekarang produser itu membuat film yang masyarakat suka. 10 tahun ke belakang itu aku dikasih script yang itu-itu saja temanya. Ya itu karena data, dari sisi bisnis terus dilakukan karena orang nggak mau rugi. Apa yang mereka bikin sesuai dengan mau masyarakat, bisa jadi bahkan apa yang nggak pengin mereka bikin akhirnya mereka bikin karena penikmat banyak yang approve," paparnya.

Dimanapun platform-nya, Acha yakin pasti bisa maju. "Karena dunia lagi bergeser," tegasnya.

Acha Septriasa (Foto Koleksi Acha Septriasa, Fotografer @Deppitco) 

Meskipun tak bisa menghindar dari pergeseran pola menonton dari bioskop ke OTT, Acha mengaku tak bisa lepas dari bioskop. Menonton di bioskop masih menjadi pilihan utama  bagi Acha setelah keadaaan kembali normal. 

"Pengalaman nonton biooskop itu selalu spesial. Dulu orang nonton soap opera di teater besar lalu berubah ke bioskop. Memang lama-kelamaan proses kita mendapat hiburan itu makin dekat sama diri kita. Dulu kita harus parkir dulu, beli tiket, sekarang ada di genggaman. Kemudahan-kemudahan itu emang terasa banget," katanya. 

Meskipun makin dekat, namun secara emosional Acha merasa pengalaman  yang berbeda nggak bisa digantikan oleh kehebatan TV sebesar apapun,  sound system secanggih apapun tak bisa gantikan bioskop. "Rindunya nonton bioskop tak tergantikan. Kayak semua moviegover berada dalam satu ruangan. Penikmat film bisa saling bertemu dan merasakan detik demi detik bersama orang yang ingin nonton film yang sama. Cinema experience itu masih ingin aku rasakan, cara aku menikmati film ya masih bioskop," tegasnya.

OTT menjadi penyelamat di masa pandemi. "Karena pandemi dan harus nonton film di rumah saja, ya eksklusifitasnya berkurang. Karena nonton bisa tinggalin dulu, pause, kelewatan terus bisa diulang, kalau nggak suka bisa skip. Jadi manja karena banyak film yang jadi pilihan. Pengalaman untuk nonton tenang, nonton aja, itu nggak ada lagi di OTT," katanya.

Acha sebenarnya sudah menebak ini akan terjadi, namun tak menyangka  pandemi membuat tebakannya lebih cepat terjadi. "Aku sudah menebak  arahnya akan kesini, on demand. Semua ada di jari kita, penonton mau apa tuh bicara pakai data. Aku sudah tahu dan sudah siap sebenarnya. Sebelum pandemi rasanya pengin berjalan berdampingan. Sekarang valid nih ke OTT," tegasnya. 

OTT memberi ruang produser jadi lebih punya fleksibilitas untuk berkarya untuk membuat film dan mendistribusikan film secara mendunia. "Buat OTT ok juga, malah rasanya bayak menerima keuntungan. tapi aku mempertanyakan kualitasnya, karena kesempatan untuk menjadi box office itu nggak ada. Film dijual berdasarkan harga jual di awal. Jadi produser yang penting produksi terus, kualitasnya gimana? Apakah akan sama dengan film yang di bioskop?" kata Acha.

Acha berharap kualitas film lebih dijaga, karena pononton yang akan  menonton film Indonesia tak berbatas negara lagi. "Bisa di tonton ke seluruh dunia masak mau bikin yang jelek? Harus lebih bagus lagi, promosi lebih besar. Lebih banyak untungnya untuk pemain dan produser, lebih bebas mau tema apapun. Marketnya nggak cuma Indonesia pula," saran Acha Septriasa

Acha Septriasa (Foto Koleksi Acha Septriasa, Fotografer @Deppitco) 

Kembali ke persoalan pandemi COVID-19. Acha mengaku sangat rindu  syuting kembali. Karena syuting film June dan Kopi juga Layla Majnun sudah selesai sebelum pandemi.

"Pandemi kan mulai Maret 2020, film aku yang tayang sekarang itu  syutingnya 2019. Berarti tabungan film aku udah tayang 2021. 2020 aku cuma syuting film di London sekali, film internasional pertamaku. Itupun bersyukur masih selamat syuting naik pesawat saat pandemi," terangnya. 

"Kangen banget syuting. Aku dulu syuting banyak diam, karena menghemat tenaga dan nggak mau ganggu karakter aku dengan pikiran yang nggak jelas. Kalau mau recharge tenaga, konsentrasi ya kalau nggak main, diam. Sekarang aku ngerasa kangen sama teman-teman, kangen diarahin sutradara. Pengalaman yang dulu nggak berasa biasa saja kok sekarang susah banget diulang," terangnya. 

Film June dan Kopi, misalnya, memberi pengalaman baru untuk Acha.  "Sebelum syuting, aku sebenarnya nggak terlalu deket sama hewan, hewan apapun. Waktu SD itu pernah tinggal di rumah nenek. Di salah satu gang yang mau ke arah rumah nenek itu ada anjing herder. Kalau aku lewat situ, emosi aku poasti sudah ketahuan deh kebaca sama anjingnya. Kelas satu SD aku pulang sendirian, waktu itu aku saking takutnya dikejar sama anjing itu, sampai ngerobekin rok aku, aku sampai naik ke tiang listrik, kayak kartun gitu. Aku bener-benar takut, jadi aku terus berfikir anjing semenyeramkan itu," kenang Acha.

Setelah main film June dan Kopi, Acha merasa semua tergantung pikiran  manusia. Tergantung pikiran dan cara mengendalikan emosi. Kalau niatnya berkasih sayang pada hewan apapun hewannya pasti semuanya akan baik juga. 

"Nggak ada namanya takut dan binatang buas. Kalau bianatang buas nggak bisa dikasih hati, ya nggak ada yang jadi pawang dong di kebun binatang. Kita tuh bisa berbaik hati sama mereka, dan mereka bisa merasakan emosi kita. Pandangan aku setelah main film ini beda banget, malah lebih dekat ke binatang tetangga aku di Australia sini," jelasnya.  

Memang dalam film June dan Kopi, Acha harus berinteraksi aktif dengan  anjing. Karena pemain utama film ini adalah anjing. Cukup lama film  Indonesia tidak mengangkat genre film drama yang menggunakan binatang  sebagai pemain utama. 

"Sebenarnya di Indonesia tahun 1974 ada film yang dibintangi Astri Ivo yang mengajak anjing sebagai pemain utama tapi jaraknya jauh sekali. Produksi film yang menggunakan hewan sebagai pemain utama ini jarang sekali di Indonesia. Bahkan di Asia tenggara aja sangat sedikit film bertema anjing," katanya. 

Menyesuaikan dengan kemampuan akting anjing, skript filmnya dibuat  simple. Acha memperluas ruang interpretasi karakternya sehingga punya  cukup ruang yang banyak untuk memperlihatkan karakter secara spesifik. "Simpel dalam arti kata main sesimpel mungkin dan kasih kesempatan anjingnya untuk bermain lebih menonjol daripada kita yang pemain supporting," katanya. 

Meskipun sempat ragu pada saat ditawari main film ini, Acha bersyukur  karena ternyata film ini jadi film favorit anaknya. "Setelah aku kemarin nonton, film ini mempunyai maksud yang membuat aku merasa bersyukur aku main di film ini. Sambutan masyarakat pada film ini ya di luar dugaan, banyak ngasih opini yang bagus-bagus, mereka kasih support, dan terimakasih sudah menjadi bagian dari film yang sudah lama nggak pernah dibuat. Anak aku Brigia sudah megakui film ini sebagai film favoritnya. Aku sebagai ibu senang banget akhirnya bisa kasih tontonan film yang aku kira cocok sama umurnya. Ya aku bersyukur banget," tegasnya. 

Buat penonton yang belum nonton, Acha punya pesan khusus supaya nggak usah berekspektasi apapun ketika nonton. "Film ini simpel seperti  kasih sayang. Bagaimana proses menemukan sahabat selain manusia, pada binatang. Bagaimana bisa berdampingan dengan alam. Kamu bisa  merefleksi diri kamu sebagai manusia di dunia ini, bagaimana kamu  memperlakukan makluk-makluk lain di dunia ini," katanya.

Acha Septriasa (Foto Koleksi Acha Septriasa, Fotografer @Deppitco)

Selain film June dan Kopi, film Layla Majnun juga siap tayang di Netflix. Acha kembali berpasangan dengan Reza rahadian di film yang syutingnya sampai ke Azerbaijan. Film yang ceritanya tentang love story, bakal dipenuhi dengan puisi yang menggugah hati. 

"Bagaimana dua insan Layla dan Majnun sebagai penyuka puisi, penyuka  sastra dan mereka saling jatuh cinta dengan background yang berbeda.  Satunya dari pelosok Jogja. Satunya dari Azerbaijan. Negara muslim di kawasan Rusia yang indah banget," papar Acha. 

Film ini dikembangkan dari karya puisi Nizami Ganjavi. Layla Majnun ini diciptakan lebih lama dari Romeo da Juliet. "Waktu aku ditawari film ini tuh aku benar-benar belum pernah baca Layla Majnun. Tahu tapi belum baca. Dengan Alim Sudio ceritanya dikemas dengan mempersatukan Indonesia dan Azerbaijan. Sesederhana apapun naskah Alim itu pasti menyentuh hati, aku yakin itu," jelasnya.

Menariknya, karena diangkat dari penulis Azerbaijan dan syutingnya juga dilakukan disana, sehingga orang-orang dari sana banyak yang memberi  komentar di Youtube untuk trailer film ini. "Karena mereka bangga akhirnya ada film Layla Majnun di era modern. Senang banget nunggu flm ini. Apalagi banyak pemainya terkenal, aku pikir yang nonton pasti banyak," katanya. 

Acha bilang film Layla Majnun harus ditonton karena ini love story yang berbeda dari dunia metropolitan yang sekarang banyak disuguhkan ke cerita film Indonesia. "Latar belakangnya cewek desa kecil di Jogja, ketemu sama pangerannya di kota Baku, Azerbaijan. Banyak peristiwa yang jadi lucu, jadi menghibur, romantis, jadi unik dan menarik karena perpaduan dua  kultur tersebut," katanya.

"Ini cerita yang penuh kata-kata yang indah. Nontonnya membuat kita lebih menghargai sastra. Lebih menghargai karya tulisan. Jadi membuat kita yang nonton mau memperjuangkan cinta sejati kita yang menurut aku kalau Monti Tiwa nggak mungkin nggak kena di hati. Sesimnpel apapun. Ini film yang besar buat aku karena ceritanya besar, penuh konflik, bahagia-bahagia banget, sedih-sedihnya banget, mesti siapain tenaga takutnya baper," pesan Acha. 

Acha tambah bangga dan antusias ketika tahu filmnya bakal tayang di  Netflix. "Karena yang ambil itu Netflix Wolrd Wide, jadi filmnya bisa ditonton di seluruh negara. Ini memberi kesempatan untuk ditonton orang Azerbaijan, orang Timur Tengah, orang Islam di seluruh dunia. Karena  kan sudah ada subtitle, ngasih kesempatan film ini menggaung ke seluruh dunia. Sempat kuatir nggak bisa ikut premiere di Indonesia karena ini salah satu film besar menurut aku. Jadi ketika masuk Netflix bersyukur banget," kata Acha.

Acha Septriasa (Foto Koleksi Acha Septriasa, Fotografer @Deppitco)

Yang membuat istimewa lainnya adalah, Acha Sertriasa kembali berpasangan dengan Reza Rahadian setelah Test Pack You're My Baby. "Reza itu selalu spesial karena kita sudah berapa lama kita nggak main film. Tapi sebelum Layla Majnun kita sempat main Surga di Bawah Langit. Pas ketemu lagi kayak yah ketemu dia lagi, dia lagi," kata Acha sambil tertawa.

Menurut Acha, Reza adalah aktor yang selalu haus belajar, selalu ingat teman, selalu memerikan yang terbaik. "Aku sama dia bukan pemain yang terpaku harus selalu latihan terus scene by scene. Mempersiapkan diri sendiri dan riset, kita bermain aja. Dia selalu memberikan rasa nyaman. Dia juga selalu eksplorasi karakternya," lanjtunya. 

Reza mengubah gaya rambut di film ini untuk mencerminkan penampilan cowok-cowok Timur Tengah. "Dia kan ada darah Iran juga, suka banget gaya rambut Reza untuk film ini," katanya. 

Acha dan Reza menjadi barometer untuk standart film Indonesia. Mereka menunjukkan konsistensi akting yang tak pernah putus. "Pokoknya aku merasa dia tetap jadi teman main aku yang selalu bikin aku melek lagi untuk terus belajar. Bisa memposisikan lawan main yang mensupport kapanpun," terang Acha.

Reza, menurut Acha, selalu menebarkan hal positif ke lain main.  selalu ekslploitasi karaternya sehingga nggak pernah absen dari nominasi festival film tiap tahunnya. "Itu sulit kalau nggak dilakukan sama orang yang berbakat, konsiten, dan berjuang. Dia salah satu orang yang namanya nggak bisa hilang dari penikmat film Indonesia," jelasnya. 

Acha Septriasa mengisahkan kenangan manisnya saat syuting film Layla Majnun di Azerbaijan bersama dengan Reza Rahadian. "Pas kita lagi nunggu di satu frame yang sama. Kita berdoa semoga kita masih dikasih kesempatan satu frame lagi. Seandainya kita syuting lagi di masa tua, semoga kita ingat pernah syuting di Azerbaijan di tengah-tengah Salju. Minus berapa derajat dan have fun, ini akan jadi film yang spesial banget," tegasnya.