Bagikan:

JAKARTA - Gelombang pandemi COVID-19 menghantam film Indonesia dengan sangat keras. Syuting dibatasi, bioskop berhenti beroperasi, semua orang yang selama ini menggantungkan hidup dari film, tiba-tiba kehilangan sandaran. Hari Film Nasional 2021 memberikan refleksi untuk Hanung Bramantyo.

"Refleksi sebuah perjalanan dari film yang ternyata dari waktu ke waktu membangun kultur pemotretan peristiwa-peristiwa sejarah. Peristiwa generasi dari awal dibentuk hingga sekarang. Dari situ kita bisa melihat film itu tumbuh seperti manusia," ujar Hanung saat berbincang dengan VOI beberapa waktu lalu. 

Suami Zakia Adya Mecca ini mencontohkan film yang diproduksi tahun 1950 dibandingkan dengan film yang sekarang muncul tentu memiliki teknologi yang berbeda, tetapi memiliki konten yang sebetulnya tidak jauh berbeda dari hubungan manusia ke manusia yang lain.

"Hari perfilman nasional harus dimaknai sebagai sebuah refleksi, apalagi tahun sekarang film nasional betul-betul dilanda krisis. Ini bukan krisis yang pertama sebetulnya. Bertahun-tahun kita pernah mengalami krisis, dari krisis kekosongan film nasional di era 90-an. Film Indonesia jatuh ke jurang image mengumbar erotisme, hingga akhirnya kemudian berubah menjadi era keemasan film di mana satu film bisa dapat 5-6 juta penonton," paparnya. 

Pandemi COVID-19 sama sekali tidak pernah diperhitungkan oleh sineas Indonesia. "Dari tahun 2020, kita masuk dalam situasi krisis yang luar biasa karena pandemi COVID-19. Karena ada satu pemahaman bahwa bioskop sebagai sebuah tempat yang rentan untuk jadi tempat penyebaran virus COVID-19. Makanya bioskop tutup. Sekarang ini sudah sudah ada beberapa yang buka, tapi belum bisa 100 persen, ada jarak antara satu penonton dengan penonton lainnya. Ini yang membuat film yang awalnya bisa lebih dari 30 juta penonton dalam setahun, sekarang langsung drop sampai paling tinggi hanya 500 ribu penonton," jelasnya. 

Fakta di lapangan, film Indonesia yang mencapai box office saat ini berjudul Asih 2 itu hanya dapat 250.000 penonton. Padahal potensinya film ini bisa 2 juta penonton. "Jadi turunnya hampir 90%, makanya hari perfilman ini harus jadi refleksi lebih dalam lagi. Apa makna film Indonesia bagi rakyat Indonesia sebenarnya. Apakah film Indonesia masih penting ada diantara kehidupan kita," tegasnya.

Yang membuat Hanung merasa sesak adalah, di masa pandemi, sineas merasakan betul bahwa film dipandang sangat tidak penting karena syuting maupun etalase film ditutup. "Film kemudian dikemas dari layar lebar menjadi layar handphone. Para pekerja film yang biasanya bisa menghasilkan pendapatan ekonomi bagi keluarganya akhirnya menjadi kosong. Dan perhatian pemerintah dan masyarakat pada film tidak 100%. Kita melihat banyak pekerja film yang banting setir menjadi pekerja kuliner, pengirim parsel, padahal mereka sutradara hebat yang sudah dikenal, saya pribadi akhirnya jatuh tidak bisa berbuat apa-apa. Dan kembali ke fase membuat film dengan apa yang kita punya dengan handphone dan tayang di YouTube. Inilah makna hari film nasional dengan refleksi yang sangat dalam," jelasnya