Nyaris semua bidang usaha terdampak saat pandemi COVID-19 mewabah. Tak terkecuali pengusaha bioskop. Sebagai Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) Djonny Sjafruddin menegaskan kalau tak dibantu bioskop bisa tutup permanen. Sudah tak terhitung berapa banyak anggotanya yang mengeluhkan soal beratnya keadaan saat ini. Keadaan ini makin dipersulit dengan berbagai kewajiban yang harus mereka bayar mulai dari pajak, operasional dan beban lainnya. Inilah curhatnya kepada tim VOI.
***
Pandemi COVID-19 membuat pemerintah melakukan pembatasan dalam berbagai sektor. Pergerakan dan kerumunan masyarakat dibatasi untuk meminimalisir sebaran virus. Bioskop sebagai tempat berkumpul dan memutar film juga mengalami pembatasan. Setelah ditutup total di awal pandemi, pelan-pelan bioskop mulai dibuka dengan protokol kesehatan ketat dan pembatas jumlah penonton.
Namun seiring dengan meningkatkan kembali kasus corona di Indonesia membuat pemerintah kembali memperketat pergerakan masyarakat dalam skema PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) Mikro lalu PPKM Darurat dan terkhir PPKM Level 4, membuat bioskop kembali ditutup. Penutupan ini menurut Djonny menyebabkan kerugian yang tidak sedikit. “Angka kerugian itu setiap bioskop tidak sama, ada yang Rp50 juta, Rp70 juta bahkan ada yang Rp150 juta setiap bulannya. Terbesar itu beban dari listrik dan gaji karyawan,” katanya.
Menurut data dari filmindonesia.or.id sepanjang 2020 pertumbuhan layar bioskop di Indonesia terpantau melambat. Jumlah layar hanya naik 1,7% menjadi 2.145 layar dan bioskop bertambah 1,8% menjadi 517 bioskop. Selama pandemi ini nyaris sebagian besar terdampak karena aktivitas bioskop amat dibatasi. “Bagaimana mau mau dapat penonton, keadaan pandemi yang membatasi semuanya. Bioskop saya juga mengalami hal yang sama,” keluh Djonny yang juga pemilik jaringan bioskop Dakota Cinema yang beroperasi di Cilacap dan Kroya Jawa Tengah, Rancaekek Jawa Barat dan Sengkang Sulawesi Selatan.
Dari fakta yang ada jelas industri film nasional dalam hal ini sektor bioskop ikut terdampak pandemi COVID-19. Karena itulah Djonny meminta kepada pemerintah untuk memberikan perhatian pada pengusaha bioskop anggota GPBSI. “Kami jelas amat terdampak dari pandemi COVID-19 ini, namun sedikit pun kami belum mendapat perhatian dari pemerintah. Karena itu kami meminta kepada pemerintah untuk memberikan relaksasi berupa keringanan pembayaran listrik, keringanan pajak dan juga subsidi upah untuk karyawan,” ujar Djonny Sjafruddin kepada Iqbal Irsyad dan Edy Suherli dari VOI yang mewawancarinya secara virtual belum lama berselang. Inilah petikan wawancara selengkapnya.
Di era pandemi ini salah satu sektor yang terdampak adalah bioskop. Setelah ditutup, kemudian hanya boleh menerima penonton sebagian dan kini tutup total. Apa respon anda sebagai pengusaha bioskop?
Sebelum menjawab pertanyaan ini izinkan saya menjelaskan dulu bagaimana sejarah kehadiran bioskop, khususnya yang ada di Indonesia. Jadi biar orang yang membaca atau menyaksikan wawancara ini bisa punya gambaran yang utuh soal bioskop dan pengusaha bioskop. Terutama yang sedang mereka alami di masa pandemi COVID-19 ini. Soalnya ada yang bilang apa pengusaha bioskop perlu dibantu? Terus terang saya miris mendegar orang yang berkomentar seperti itu.
Bioskop hadir pertama kali di Indonesia di Tanah Abang sekitar tahun 1900-an. Jadi kehadiran bioskop itu sudah 120 tahun di Indonesia ini. Dalam masa pasca kemerdekaan pemerintah mengenakan pajak yang tinggi untuk bioskop karena dikatagorikan kepada barang mewah. Besar pajaknya sebesar 33 persen. Sampai tahun 1980-an besaran pajak bioskop itu masih 33 persen.
Sektor bioskop ini sejak jaman Belanda sampai pasca kemerdekaan dan saat ini sudah berkontribusi menyumbangkan pendapatan asli daerah di seluruh Indonesia. Tahun 1990-an bioskop kelas menengah ke bawah tutup. Yang tersisa hanya 40 persen untuk bioskop kelas atas yang saat itu mayoritas dikuasai oleh grup 21.
Mengapa sampai tutup?
Salah satu yang menjadi penyebabnya adalah kemajuan teknologi. Saat itu RCTI sebagai salah satu stasiun televisi swasta pertama menyuguhkan film-film bagus di televisi. Mulanya RCTI menggunakan decoder, tapi lama-kelamaan menjadi televisi seperti sekarang ini yang bisa ditangkap meski tanpa alat tambahan seperti decoder. Film-film yang disuguhkan itu teknologinya bagus. Inilah yang menjadi menyebab mengapa bioskop kelas menengah ke bawah itu tutup. Orang banyak menonton di rumah. Sementara film yang diputar di bioskop menengah itu kwalitasnya sudah menurun. Makin laku film itu makin baret-baret filmnya, makin cepat putusnya karena diputar terus-terusan.
Bioskop mulai bangkit lagi tahun 2004 saat teknologi digital merambah dunia bioskop. Saat itu pelan-pelan bioskop Kembali marak sampai sekarang di masa sebelum pandemi merebak.
Oke kembali ke topik semula soal pandemi COVID-19, seperti apa kondisi real yang dialami pengusaha bioskop?
Pandemi ini terjadi pada awal Maret 2020, kami pengusaha bioskop yang bernaung di GPBSI diminta untuk menutup usahanya. Semua itu kami lakukan dengan kepatuhan. Kemudian bioskop sempat dibolehkan buka kemudian disuruh tutup lagi. Saat kasus corona makin tinggi dan pemerintah menerapkan PPKM Darurat lalu dilanjutkan dengan PPKM Level 4 bioskop tutup total. Pengusaha bioskop ini kalau boleh dibandingkan dengan bidang usaha yang lainnya saya bilang paling patuh.
Pengusaha bioskop itu tidak cerewet, kami lebih banyak diam meski keadaan makin menghimpit. Sudah patuh dan tidak cerewet seperti ini perhatian dari pemerintah amat kurang pada kami. Kami meminta diperlakukan secara adil. Maksudnya semua sektor tolong diperhatikan, termasuk kami-kami ini yang menjadi pengusaha bioskop. Permintaan kami tidak muluk-muluk, karena kita juga tahu pemerintah saat ini kewalahan menghadapi pandemi ini, uang yang dikeluarkan triliunan.
Dari Kementerian Pariwisata sudah meminta data kepada kami namun sistemnya terlalu rumit. Muter-muter akhirnya buang waktu dan bantuan gagal. Pak Sandiaga Uno semoga bisa mendengarkan keluhan kami ini.
Sekarang terjadi lagi PPKM Darurat yang dilanjutkan dengan PPKM Level 4, kondisinya seperti apa pengusaha, makin terpuruk?
Sejak pemberlakuan PPKM Darurat se-Jawa dan Bali semua bioskop di wilayah itu kami tutup. Sampai dilanjutkan dengan PPKM Level 4 sekarang masih berlanjut penutupannya. Meski tutup untuk perawatan tetap dilakukan petugas kami secara berkala. Semua itu membutuhkan biaya, sementara pemasukan sama sekali tidak ada. Inilah problem terbesar yang dialami oleh pengusaha bioskop. Biaya operasional tetap ada sementara pemasukan tidak ada. Tapi walau pun dipaksakan buka untuk saat ini, kendalanya masih ada, film yang mau diputar itu yang tak ada. Dulu waktu sebelum pandemi sineas berebut minta layar untuk memutar film mereka. Mustinya ada toleransi Anda rugi kami juga rugi. Yang harus kita jaga jangan sampai bioskop ini tutup permanen.
Film-film dari luar negeri terutama dari Amerika, sempat masuk kembali setelah pembukaan bioskop sebagian. Namun sekarang dengan pemberlakuan PPKM Darurat ini film Amerika sama sekali tidak me-release filmnya untuk di bioskop di Indonesia.
Jadi keadaan sekarang makin sulit?
Ya begitulah kondisinya, bioskop disuruh ditutup karena PPKM Darurat yang dilanjutkan dengan PPKM Level 4. Kalau bioskop diperbolehkan buka juga enggak bisa berbuat banyak, soalnya film yang mau ditayangkan engga ada.
Langkah apa yang dilakukan oleh pengusaha bioskop?
Mau tidak mau merumahkan karyawan, kemudian yang kami terapkan bergiliran masuk. Meski kondisinya seperti itu gajinya tetap harus dibayar. Ada juga karyawan yang tidak kuat memilih keluar dan mencari pekerjaan lain, kalau ada yang keluar begitu kami tidak bisa menghalangi. Keadaannya memang sulit sekarang ini. Karyawan bioskop di seluruh Indonesia itu ada 10.000 lebih.
Lalu apa yang Anda serukan dengan himpitan yang demikian hebat ini?
Yang kami harapkan dari pemerintah itu tidak banyak, berbagai sektor sudah mendapatkan keringanan dan relaksasi. Kami juga mengharapkan hal demikian, karena kami juga terdampak. Kami berharap pemerintah bisa menerapkan kebijakan yang lebih berpihak pada kami. Perhatian dan bantuan itu misalnya bisa diberikan dengan insentif baik dari pemerintah pusat atau daerah, untuk keringanan dalam pembayaran listrik. Soalnya listrik adalah komponen terbesar yang harus dikeluarga oleh pengusaha bioskop selain pos untuk gaji karyawan.
Keringanan berikutnya yang kami harapkan dari sisi pajak. Selama pandemi ini kami amat mengharapkan dapat keringanan pajak hiburan ini. Setelah keadaan normal bisa diperlakukan lagi seperti semula. Untuk karyawan bioskop kami berharap pemeritah bisa memberikannya, soalnya selama pandemi ini mereka tidak menerima gaji secara penuh. Dan yang paling kami minta adalah ketegasan dari pemerintah soal kapan bioskop ini boleh buka kembali.
Untuk pajak bioskop ini kan tidak sama di tiap daerah, ada yang maksimal ada yang minimal, seperti apa harapan anda soal ini?
Ini sebenarnya sudah menjadi keprihatinan kami sejak lama, pajak hiburan atau tontonan itu dikeluar dari barang mewah. Bioskop jangan disamakan dengan pajak tempat hiburan lainnya seperti klub malam, panti pijat, billiar dan sebagainya. Karena bioskop ini punya misi mengangkat harkat dan martabat kebudayaan bangsa melalui perfilman.
Sekarang ini besaran pajak untuk bioskop itu tiap daerah berbeda-beda, ada yang 30, 25, 20, 15 dan 10 persen. DKI Jakarta kebetulan 10 persen. Mustinya hal ini diseragamkan untuk seluruh Indonesia besarnya 10 persen seperti PPN, dari Sabang sampai Merauke. Kenapa bisa begitu karena amanat UU-nya memang tidak jelas. Pajak hiburan setinggi-tingginya 35 persen. Mustinya disamakan saja untuk seluruh wilayah Indonesia. Saran saya semoga ini bisa diubah dan diseragamkan.
BACA JUGA:
Anda bisa jamin prokes terjadi di bioskop kalau seandainya dibuka?
Selama ini kami ini amat patuh pada prokes. Tetapi kalau memang dibutuhkan bisa dilakukan uji sampel udara di ruang bioskop sebelum pemutaran film dan setelah pemutaran film, begitu seterusnya. Jadi kepada pada pihak untuk tidak memberikan pendapat yang tidak kondusif. Perjuangan kami sekarang ini jangan sampai bioskop ini tutup permanen. Soalnya kalau bioskop itu tutup permanen selesai semuanya.
Persoalan tata edar film asing dan film lokal selama ini masih menjadi bahasan tiada henti, film asing dituduh dianakemaskan dibandingkan dengan film nasional, seperti apa Anda menyikapi hal ini?
Para importir film itu mempelajari demografi dan kondisi daerah. Ini yang harus dipelajari. Soal tata edar film asing. Memang kita mustinya mustinya berpihak pada karya anak bangsa, produser-produser Indonesia seperti amanat UU 60 persen film nasional dan 40 persen film impor. Tetapi bioskop juga punya angka minimal untuk memutar sebuah film. Kalau sekali putar penontonnya cuma 2 orang masa diteruskan. Ini kan bisnis, pengusaha bioskop bisa bangkrut kalau dipaksakan tetap menayangkan film yang tak ada penontonnya. Minimal sepertiga kapasitas penoton itu kita bisa bantu. Kalau kurang dari itu berat. Makanya sebelum membuat film ini saran untuk semua produser harusnya survey dulu, buatlah film yang memang disukai dan punya potensi penonton.
Film-film bertema daerah dan lokal seperti yang dibikin sineas Makassar layak menjadi contoh. Film yang mereka bikin bisa mengalahkan film Hollywood saat diputar di daerah itu. Inikan luar biasa. Artinya apa, masyarakat kalau disuguhkan dengan apa yang mereka suka dan dekat dengan budaya mereka akan disambut kok. Publikasi juga amat penting yang harus diperhatikan oleh produser, dengan publikasi yang bagus akan ada dampaknya.
Bagaimana dengan perkembangan teknologi 4.0 dan hadirnya OTT (over the top) dan film melalui internet?
Perkembangan zaman memang demikian, kita juga tidak bisa melawan hal seperti itu. Cuma yang perlu digarisbawahi ada yang tidak ditemukan oleh penonton film di rumah, di HP atau di medium apa pun selain bioskop. Dari sisi kwalitas suara, gambar dan suasananya, itu beda sekali. Kepuasan menonton film tak ada tandingannya dengan di bioskop. Belum lagi bioskop itu bisa menjadi sarana komuniaksi dan sosialisasi. Bioskop itu masih tak tergantikan menurut saya.
Terus Berorganisasi Hingga Nyaris Semua Rambut Djonny Sjafruddin Memutih
Dari belia pria berdarah Minangkabau ini sudah gemar berorganisasi. Sejak era keemasan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) di tahun 1960-an, Djonny Sjafruddin sudah aktif berorganisasi. Sebagai pelajar ia bergabung menjadi anggota KAPI kala itu. Dia juga terlibat di organisasi tingkat RW sampai tingkat nasional, dari organisasi keagamaan sampai organisasi profesi. Bahkan sempat ia juga bergabung ke partai politik meski tak lama. Hingga sekarang, saat nyaris seluruh rambut di kepalanya sudah memutih, ia masih tetap berorganisasi.
Kenapa harus berorganisasi? Bagi pria kelahiran Pekanbaru, 4 Juli 1948 ini, lewat organisasilah banyak hal bisa direalisasikan lebih mudah dan lebih cepat. Ya seperti filosofi sapu lidi, dia akan punya kekuatan dahsyat saat sudah menjadi sebentuk sapu yang terdiri dari puluhan bahkan ratusan batang lidi. Saat itu sapu lidi baru punya daya untuk melakukan sesuatu. “Hakikat organisasi bagi saya harus bisa bermanfaat untuk orang banyak. Saking senangnya berorganisasi sering saya lupa pada diri sendiri. Kalau sudah begitu yang suka komplain adalah keluarga saya,” ungkapnya.
Bukan sekali atau dua kali ia harus diingatkan oleh istri dan anaknya. “Ya mau bagaimana lagi saat kita sedang sibuk mengurusi sesuatu kadang memang lupa pada yang lain. Untunglah keluarga saya tak bosan mengingatkan,” lanjut suami dari Sri Utami ini. Dari pernikahan dengan Sri, Djonny dikaruniai seorang putri yang dia beri nama; Triselly Devi.
Di lingkungan tempatnya berdomisili, Perumahan Billy and Moon Pondok Kelapa, Duren Sawit Jakarta Timur, Djonny didapuk menjadi Ketua RW (Rukun Warga). Tak tanggung-tanggung sekitar 20 tahun ia menjabat posisi itu. Seperti lazimnya warga perumahan lainnya saat ada orang yang dianggap mampu menjalankan tugas sebagai Ketua RT atau RW, selalu didukung untuk menjadi ketua dan berlanjut selama beberapa periode. “Setelah selesai satu periode diminta lanjut dan lanjut lagi,” kata mantan Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) ini.
Djonny memang tak menyia-nyiakan jabatan yang diembannya. Saat menjadi Ketua RW dia melaksanakan berbagai program fisik seperti pembangunan lapangan tenis, lapangan bola voli, pembangunan kantor RW, kantor petugas keamanan, sarana dan prasarana jalan, penerangan dan sebagainya. Kalau sudah seperti ini, wajar kalau warga meminta dia untuk lanjut dan lanjut lagi. “Soalnya amanat yang diberikan kepada saya, itu saya jaga betul. Dan dalam masa kepemimpinan saya, hasil pembangunannya kelihatan. Dana yang dikumpulkan warga itu larinya pada fasilitas yang bisa digunakan semua warga,” ungkap Djonny yang gemar tennis lapangan ini. Namun karena pandemi COVID-19 saat ini dia menghentikan olahraga tersebut dan menggantinya dengan olahraga yang bersifat perseorangan dan mandiri.
Keagamaan
Masih berada di lingkungan tempatnya berdomisili. Djonny Sjafruddin juga memangku jabatan sebagai Ketua Yayasan Wakaf Baitussalam yang dibawahnya ada Masjid Baitussalam, di perumahan Billy and Moon. “Di komplek perumahan saya itu sudah ada masjid. Tapi karena sudah berumur kondisinya sudah menyedihkan. Saat itu dilakukan pertemuan pengurus masjid, ada dua opsi yang akan dilakukan, direnovasi atau dibongkar total. Saya mengusulkan bongkar total. Setelah melalui perdebat panjang akhirnya sepakat untuk bongkar total,” kenang Djonny.
Karena sudah sepakat dibongkar Djonny tak mau setengah-setengah dalam membangunan rumah ibadah itu. Ia mengundang arsitektur kondang asal bandung untuk merancang masjid di perumahannya. Masjid Baitussalam dibuat megah dan besar, dengan proyeksi masa pakai yang panjang. Karena itu dia melengkapi sarana dan prasarana yang bagus dan dari sisi harga tidak murah. “Untuk pengeras suara saja, saya pilih buatan Amerika yang harganya ratusan dolar. Ada yang menentang saat itu. Tapi saya jelaskan kalau ini bagus dan masa pakainya juga panjang. Syukurlah ada warga kami yang berbaik hati membelikan meski harganya mahal sekali,” ungkapnya.
Yang juga mendapat tentangan tak kalah sengit saat ia mengusulkan lift untuk masjid di kompleknya. “Saya jelaskan waktu itu, sekarang memang bapak-bapak dan ibu-ibu tidak menggunakan lift ini tapi suatu hari nanti saat sudah sepuh atau keterbatasan lainnya, pasti akan berguna. Ternyata benar, saat ini sudah banyak warga yang sepuh yang menggunakan. Alhamdulillah saya masih belum menggunakannya,” katanya dengan tawa yang berderai.
Rencana selanjutnya ia berencana mencari tanah untuk dibeli dan akan dibangun lembaga Pendidikan Islam seperti pesantren. “Doakan ya, kami masih mencari tanah di sekitar Bogor untuk membangun pondok pesantren. Lewat lembaga pendidikan seperti ini kami berharap bisa menjadi tempat belajar bagi generasi muda harapan bangsa. Sekalian tempat itu bisa menjadi syiar bagi Agama Islam. Semoga dalam waktu tak terlalu lama ide itu bisa terealisir meski akan dilakukan bertahap,” papar Ketua Badan Pembina Yayasan Pusat Perfilman H.Usmar Ismail (PPHUI) ini.
Profesi
Organisasi profesi paling melambungkan nama Djonny adalah kiprahnya sebagai pengusaha bioskop. Karena kepemilikannya pada bioskop membuat pemilik usaha Bioskop Dakota Cinema ini didapuk menjadi Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI). Seperti memimpin menjabat sebagai Ketua RW di lingkungan perumahannya, durasi memimpinnya pun lumayan panjang di GPBSI. “Ya sudah lebih dari 20 tahun saya menjadi Ketua GPBSI ini,” akunya.
Ngomong-ngomong apa tidak ada suksesi atau generasi penerus di lingkungan GPBSI sehingga Anda lagi dan lagi menduduki posisi ketua? “Bukannya saya tidak mau diganti, saya mau sekali diganti dan tugas ini bisa dilanjutkan kepada mereka yang lebih muda. Tapi siapa yang mau, mana ada yang mau. Kalau mau engga usah menunggu lama saat kongres organisasi selanjutnya siap saja,” katanya menantang siapa yang mau menggantikan dirinya.
Dia sudah pernah menyatakan akan mundur kalau sudah merasa terlalu lama menjadi ketua. “Saya sudah pernah menyatakan akan mendur. Tapi ya ditahan dan dukung lagi dan didukung lagi,” katanya menyebutkan salah satu kelompok usaha bioskop terbesar masih mengharapkan dirinya memimpin. “Konsekwensinya tidak ada regenerasi dalam tubuh GPBSI. Saya berharap sekali ada yang mau menjadi ketua,” lanjutnya kakek dari Lulu Hiawata dan Hiamovi Dakota.
Kini usaha bioskop seperti sektor usaha lain juga terdampak badai pandemi COVID-19. Sebagai Ketua GPBSI dia kerap mendengar keluhan dan curhatan anggotanya. “Selama masa pandemi ini bioskop termasuk tempat yang ditutup total oleh pemerintah. Sempat dibuka beberapa saat dengan jumlah penonton yang terbatas, namun sekarang sudah tutup lagi. Kita tak tahu kapan pengusaha bioskop bisa mengoperasikan tempat usahanya kembali. Kami berharap keadaan bisa membaik,” harap Djonny Sjafruddin.
“Perkembangan zaman memang demikian, kita juga tidak bisa melawan hal seperti itu. Cuma yang perlu digarisbawahi ada yang tidak ditemukan oleh penonton film di rumah, di HP atau di medium apa pun selain bioskop. Dari sisi kwalitas suara, gambar dan suasananya, itu beda sekali. Kepuasan menonton film tak ada tandingannya dengan di bioskop. Belum lagi bioskop itu bisa menjadi sarana komuniaksi dan sosialisasi. Bioskop itu masih tak tergantikan menurut saya.”