Beruntungnya RI Saat APBN jadi Penyelamat, di Inggris jadi Sumber Petaka
Ilustrasi (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menjelaskan bahwa pemerintah memperhatikan betul fleksibilitas penyusunan dan penganggaran APBN sehingga dapat berperan maksimal dalam menahan guncangan (shock absorber) yang dihadapi.

Menurut dia, desain dan pelaksanaan APBN 2022 adalah bukti konkrit dalam mengatasi gejolak tersebut. Pasalnya, ketika harga komoditas energi global naik, maka pemerintah tidak langsung meneruskan tekanan ke masyarakat tetapi meredamnya lewat strategi penambahan subsidi.

Hal itu tercermin ketika pemerintah menaikan anggaran subsidi dan kompensasi pada Mei lalu menjadi Rp502 triliun dari sebelumnya hanya Rp152 triliun dalam Undang-Undang APBN 2022.

“Pemerintah dan DPR pada saat itu setuju untuk menaikan alokasi subsidi dan kompensasi tiga kali lipat. Ini bukan angka yang kecil. Kalau APBN-nya tidak kuat maka tidak mungkin melakukan fungsi sebagai shock absorber,” ujarnya dalam forum UOB Economic Outlook 2023 pada Kamis, 29 September.

Menurut Menkeu, kemampuan instrumen fiskal RI untuk bergerak lincah dalam meredam guncangan tidak lepas dari fenomena windfall yang didapat. Perlu diketahui bahwa selain sebagai konsumen energi, Indonesia juga tercatat sebagai negara penting pengekspor komoditas global, seperti batu bara dan minyak sawit.

Sehingga, saat terjadi peningkatan harga, maka sumber-sumber penerimaan negara ikut terkerek. Inilah yang menjadi penyebab mengapa APBN mempunyai ruang yang lebih baik untuk bisa memberikan tambahan subsidi.

“Kita beruntung APBN-nya menjadi shock absorber. Di negara lain bahkan APBN-nya bisa menjadi shock producer (penyebab tekanan),” tutur dia.

Menkeu menjelaskan, kondisi yang dimaksud terjadi pada negara Eropa yang selama ini dikenal memiliki ekonomi kuat, yaitu Inggris.

“Ini terjadi di Inggris, nilai tukar poundsterling jatuh sampai 20 persen karena APBN-nya menjadi shock producer atau shock issuer,” tegas Menkeu.

Sebagai informasi, kondisi keuangan Inggris saat ini ditengarai tidak cukup mampu mengimbangi tekanan yang ada. Hal tersebut bisa dilihat dari gejolak harga bahan pangan dan energi yang tidak bisa diredam oleh pemerintah sehingga membuat inflasi menjadi tinggi.

Alhasil, situasi ini memberikan sentimen negatif terhadap perekonomian. Belum lagi langkah bank sentral Inggris yang memutuskan untuk menaikan suku bunga demi menjinakan inflasi. Padahal, kondisi ekonomi tengah dalam pressure. Sehingga ancaman resesi maupun stagflasi di Inggris makin tidak terelakan.