Bagikan:

JAKARTA – Usulan politikus PDI Perjuangan (PDIP) Hugua agar praktik politik uang dilegalkan dalam pemilu selanjutnya dan Pilkada 2024 membuat heboh. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut ini sebagai ide konyol, sementara pengamat politik mengatakan melegalkan money politics tidak menyelesaikan permasalahan di Indonesia.

Dalam rapat kerja Komisi II Bersama KPU, Bawaslu, dan Mendagri di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (15/5/2024) Hugua mengatakan money politics seharusnya dibolehkan dengan tetap diatur batasannya dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Hadir dalam rapat tersebut Ketua KPU Hasyim Asy’ri, Ketua Bawaslu Rahmat Bagja, dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.

"Berkaitan dengan kualitas pilkada nanti walaupun ini PKPU kita bicara tentang pendaftaran dulu dan seterusnya, tapi ini rentetan yang harus dipikirkan dari sekarang oleh KPU, Bawaslu, DKPP," ujar Hugua.

Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Hugua yang mengusulkan pelegalan politik uang. (dpr.go.id)

"Bahwasanya kualitas pemilu ini kan pertama begini. Tidak kah kita pikir money politics kita legalkan saja di PKPU dengan batasan tertentu?" sambungnya.

Jika ke depannya politik uang dilegalkan, kata Hugua, maka politikus tidak akan ‘kucing-kucingan’ dengan pengawas pemilu. Untuk itu Hugua menilai money politics harus dilegalkan dengan batasan tertentu, misalnya maksimal Rp5.000 atau bisa Rp5 juta.

Sudah Ada Sejak Setelah Era Reformasi

Praktik money politics yang dilakukan peserta pemilu atau calon anggota legislatif/DPD selalu menjadi permasalahan di setiap penyelenggaraan pemilu.Mengutip laman Universitas Muhammadiyah Jakarta, money politics merupakan bagian dari skandal korupsi pemilu dan isu penting di antara pelanggaran pemilu lainnya.

Berdasarkan definisi umum, money politics hanya dikaitkan dengan praktik beli suara atau vote buying. Padahal money politics dalam artian pengaruh uang di pemilu tidak sekadar praktik beli suara, melainkan keseluruhan praktik dalam setiap tahapan pemilu yang dapat dipengaruhi oleh uang sehingga dapat diuntungkannya salah satu partai politik atau kandidat dan/atau tidak diuntungkannya partai politik atau kandidat yang lain.

Menurut pengamat politik Universitas Indonesia Cecep Hidayat, praktik politik uang bukan fenomena baru di Indonesia, bahkan sudah ada sejak setelah era reformasi. Makin lama, istilah money politics makin sering terdengar di tengah gegap gempita pemilihan umum. 

Kemunculan serangan fajar atau mendadak bagi-bagi sembako menjadi hal biasa di tahun politik. Walau disebut Hugua pelaku money politics seperti bermain 'kucing-kucingan', gencarnya praktik money politics sampai memunculkan slogan ‘ambil uangnya tapi jangan pilih orangnya’ dalam kontestasi politik. Semboyan ini bahkan pernah diucapkan presiden terpilih Prabowo Subianto pada 2014, yang diulanginya beberapa bulan lalu, sebelum hari pencoblosan pada 14 Februari 2024.

"Karena itu, saya sampaikan dan saya anjurkan kalau rakyat Indonesia dibagi-bagi sembako dan dibagi-bagi uang, terima saja karena itu hak rakyat. Tapi pada saat menentukan pilihan di depan tempat pemilihan, gunakanlah hati nuranimu, pilih sesuai dengan hati dan pikiranmu sendiri," ucap Prabowo kala itu.

Pemilih memasukkan surat suara yang telah dicoblos ke dalam kotak suara pilkada serentak dalam simulasi pemungutan suara di TPS di Tanjung Selor, Bulungan, Kalimantan Utara beberapa waktu lalu. (Antara/Muh. Arfan)

Cecep menjelaskan, terjadinya politik uang selama ini disebabkan beberapa hal, salah satunya tidak ada undang-undang yang mengatur political finance secara jelas.

“Di Indonesia ini belum memiliki undang-undang yang mengatur keuangan partai. Selama ini hanya diatur sumber keuangan partai dari mana. Ini harus menjadi catatan dibanding melegalkan politik uang,” kata Cecep saat dihubungi VOI.

Selama ini keuangan partai politik diatur Pasal 34 Undng-Undang Nomor 2 tahun 2011 yang menyebut keuangan parpol bersumber dari tiga hal, yaitu iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum, dan bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapayan dan Belanja Daerah (APBD).

Kembali ke politik uang, menurut Aspinall & Sukmajati (2015), jenis-jenis politik uang dalam pemilu yang terjadi di Indonesia meliputi pembelian suara (vote buying), pemberian barang pribadi, pelayanan dan aktivitas, dan pork barrel projects atau politik gentong babi.

Meski praktik politik uang dilarang dalam kontestasi pemilu, sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Cecep mengatakan sulit untuk membuktikan adanya praktik ini.

Cecep menegaskan, ada persoalan lain yang sebenarnya lebih penting ketimbang melegalkan money politics seperti yang diidekan Hugua, yaitu terkait voters atau pemilih itu sendiri. Ia berharap Pendidikan politik di Indonesia lebih digencarkan demi menciptakan pemilih rasional, sehingga tidak diperlukan politik uang.

“Persoalannya bukan money politics, tapi pendidikan untuk pemilih, menjadikan pemilih yang cerdas, sehingga membentuk rational voters,” tegasnya.

Logika yang Berbahaya

Sementara itu, peneliti ICW Seira Tamara mengatakan pernyataan Hugua yang mengusulkan melegalkan money politics patut dicurigai, apakah yang bersangkutan sebelumnya memenangkan kontestasi dengan mengandalkan kekuatan money politics.

"Pernyataan bahwa kalau tidak dilegalkan akan banyak yang melakukan itu (money politics) secara kucing-kucingan, ini logika berpikirnya sudah sangat berbahaya, karena berpotensi makin melanggengkan praktik korupsi," ujar Seira, mengutip Tempo.

Ia menyayangkan pernyataan ini keluar dari seorang wakil rakyat. Menurut Siera ini menunjukkan yang bersangkutan tidak memiliki integritas dan meragukan keberpihakannya pada komitmen pemberantasan korupsi.

Siera menilai pernyataan ini makin memperlihatkan kualitas wakil rakyat yang memandang kontestasi elektoral sebagai pertarungan kapital, pertarungan uang, bukan pertarungan gagasan. Sebagai anggota DPR, ia berharap justru usulan yang dikembangkan seharusnya bagaimana menyusun regulasi yang punya andil meminimalkan bahkan memberantas politik uang.

"Seharusnya cara untuk menarik publik agar mau vote, ya berikan gagasan kebijakan yang bagus, bukan malah menganggap semuanya cukup dengan beli suara rakyat pakai uang," tegasnya.