JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak sepakat jika money politic atau politik uang dilegalkan seperti permintaan Hugua yang merupakan Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDIP. Praktik ini harusnya diberantas karena mengganggu jalannya demokrasi.
“Money politic yang kemudian itulah menjadi penyakitnya, menggerogoti demokasi kita,” kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri kepada wartawan di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu, 15 Mei.
Ali mengatakan money politic atau memberikan uang untuk dipilih tidak memberikan pelajaran kepada masyarakat. Sebab, pemimpin harusnya dipilih sesuai dengan kemampuannya.
Selain itu, pejabat yang melakukan politik uang cenderung melakukan praktik korupsi. “Ini hasil analisis dan kajian KPK mengatakan demikian, gitu, ya,” tegasnya.
“Ketika dia menjabat, katakan lah (harus mengeluarkan uang, red) Rp30 miliar sampai Rp50 miliar menjadi kepala daerah ketika menjabat nantinya dia harus mengembalikan modal dan mengembalikan inilah yang jadi pemicu dia melakukan tindakan korupsi selama memiliki wewenang,” sambung juru bicara berlatar belakang jaksa itu.
BACA JUGA:
Hugua mengusulkan KPU untuk melegalkan praktik politik uang atau money politic. Hal ini disampaikan dalam rapat kerja (raker) Komisi II DPR bersama KPU, Bawaslu, DKPP, dan Kemendagri di gedung DPR.
"Tidakkah kita pikir money politics dilegalkan saja di PKPU dengan batasan tertentu? Karena money politics ini keniscayaan, (tanpa, red) money politics, tidak ada yang memilih, tidak ada pilih di masyarakat karena atmosfernya beda," ujar Hugua saat menyampaikan usulannya.
Hugua menyebut kontestasi politik uang merugikan terutama bagi mereka yang tak punya modal. Sehingga, daripada dilakukan secara tersembunyi sebaiknya dilegalkan tapi jumlahnya diatur.
“Jadi sebaiknya kita legalkan saja dengan batasan tertentu. Kita legalkan misalkan maksimum Rp20 ribu atau Rp50 ribu atau Rp1 juta atau Rp5 juta,” pungkasnya.