Bagikan:

JAKARTA - Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus merespons usulan anggota Komisi II DPR RI fraksi PDIP, Hugua yang meminta money politics atau politik uang dilegalkan dalam peraturan KPU. Lucius lantas menyinggung soal partai politik (parpol) kerap menjadi biang kerusakan kualitas Pemilu.

Lucius awalnya menyebut bahwa usulan Hugua soal legalkan politik uang merupakan bentuk ekspresi anggota dewan yang frustasi lantaran praktik haram tersebut sering terjadi di setiap pemilu.

Namun menurutnya, Komisi II DPR tidak bisa melempar masalah tersebut hanya kepada KPU dan Bawaslu saja. Melainkan juga DPR melalui fungsi legislasinya untuk memikirkan langkah strategis guna mengatasi politik uang.

"Karena walaupun adanya kewenangan KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara Pemilu untuk membuat aturan teknis dan Bawaslu mengawasi pelaksanaannya, tetap saja untuk kepentingan yang lebih luas, solusi kebijakan yang lebih kuat dibutuhkan yakni melalui UU," kata Lucius kepada wartawan, Kamis, 16 Mei.

Kendati demikian, Lucius ragu sebab selama ini tak pernah ada solusi untuk mengatasi politik yang di setiap pemilu. Karena itu menurutnya, mencegah lebih penting daripada menindak pelaku money politics yang selalu gagal ditangani Bawaslu.

"Artinya, jangan tunggu menjelang Pemilu baru mulai berpikir membahas RUU Pemilu atau RUU Partai Politik," ujarnya.

Formappi menilai, Komisi II DPR harus terbuka untuk membicarakan cara mengatasi politik uang dengan berbagai kalangan. Apalagi, partai politik (parpol) dan politisi merupakan pihak utama yang menjadi sasaran kerja pencegahan politik uang.

"Kalau politisi dan parpol bisa menahan diri, maka praktik politik uang seharusnya bisa diatasi," katanya.

Hanya saja, tambah Lucius, kadang-kadang politisi dan parpol tidak punya modal lain untuk menarik pemilih. Sehingga jalan satu-satunya adalah politik uang. Karena itu, dia menyinggung bahwa parpol kerap jadi biang kerusakan pemilu.

"Jadi DPR mestinya memikirkan bagaimana mengatur parpol rumah mereka yang menjadi biang kerusakan kualitas Pemilu karena money politics itu. Jangan justru mengharapkan KPU atau Bawaslu yang mencarikan caranya," pungkas Lucius.

Sebelumnya, Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Hugua mengusulkan kepada KPU RI untuk melegalkan praktik politik uang atau money politics dalam kontestasi Pilkada 2024. Dengan syarat, ada batasan nominal yang diatur.

Usulan tersebut disampaikan Hugua saat rapat kerja (raker) Komisi II DPR bersama KPU RI, Bawaslu RI, DKPP, dan Kemendagri di Ruang Rapat Komisi II DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 15 Mei.

"Tidakkah kita pikir money politics dilegalkan saja di PKPU dengan batasan tertentu? Karena money politics ini keniscayaan, (tanpa, red) money politics, tidak ada yang memilih, tidak ada pilih di masyarakat karena atmosfernya beda," ujar Hugua.

Menurut Hugua, politik uang merupakan hal yang wajar di masyarakat. Karena itu, dia menilai perlu dilegalkan dengan bahasa cost politik atau dengan batasan jumlah tertentu.

"Jadi kalau PKPU ini istilah money politics dengan cost politics ini coba dipertegas dan bahasanya dilegalkan saja batas berapa sehingga Bawaslu juga tahu kalau money politics batas ini harus disemprit, sebab kalau barang ini tidak dilegalkan, kita kucing-kucingan terus, yang akan pemenang ke depan adalah para saudagar," kata Hugua.

Legislator dapil Sulawesi Tenggara itu mengatakan, kontestasi dengan politik uang tersebut sangat berdampak negatif. Terutama terhadap orang yang tidak punya modal.

Sehingga dia kembali menuturkan, sebaiknya politik uang dilegalkan dengan adanya pembatasan jumlah maksimum.

"Jadi sebaiknya kita legalkan saja dengan batasan tertentu. Kita legalkan misalkan maksimum Rp 20.000 atau Rp 50.000 atau Rp 1.000.000 atau Rp 5.000.000," pungkas Hugua.