JAKARTA – Banjir bandang dan lahar yang terjadi di tiga daerah di Sumatra Barat menorehkan duka. Selain merusak sejumlah bangunan, memutus ruas jalan utama Padang-Bukittingi, peristiwa ini juga merenggut puluhan nyawa. Kelompok pecinta lingkungan menyebut ini terjadi akibat terjadinya pembangunan yang masif tanpa memerhatikan lingkungan.
Bencana banjir bandang di kawasan Gunung Marapi, Sumbar, terjadi pada Sabtu (11/5/2024). Ketua Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Dwikorita Karnawati menuturkan pemicu utama banjir bandang bercampur lahar gunung adalah hujan deras dengan durasi yang cukup panjang.
Berdasarkan analisis pada 8 Mei 2024, ditemukan potensi hujan intensitas sedang hingga sangat deras di wilayah Sumbar. Saat itu BMKG telah menerbitkan peringatan dini potensi cuaca ekstrem yang dapat berujung bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, dan lain-lain di Sumbar.
CAFE DENGAN PEMANDANGAN MEMUKAU XAKAPA ITUPUN HILANG DITELAN GALODO !#PrayForSumbar #Xakapa @DrEvaChaniago @MIrvanDarwin1 @NediSetiadi @Zulhendribasri1 @RatunyaTagar @5teV3n_Pe9eL @infoBMKG @infoSumbar @Minang_cyber @oaseminang pic.twitter.com/ffzEOzEgaI
— ANTON al إِنْدُوْنِيْسِيَا 🇮🇩 (@AntonPr12594871) May 13, 2024
BMKG juga telah meminta masyarakat, terutama yang di daerah rawan bencana, mewaspadai cuaca ekstrem mulai 9 sampai 12 Mei.
Pada 11 Mei terjadi hujan deras dari sore hingga malam, sehingga menyebabkan banjir bandang diikuti lahar melanda Kabupaten Agam, Tanah Datar, dan Kota Padang Panjang.
Sampai Senin (13/5) pukul 16.30 WIB, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan korban meninggal dunia akibat banjir lahar dingin Gunung Marapi maupun banjir bandang di tiga wilayah tersebut mencapai 47 orang, dengan rincian 20 dari Kabupaten Agam, 23 di Kabupaten Tanah Datar, dua orang di Kabupaten Padang Pariaman, dan dua korban asal Kota Padang Panjang.
Intensitas Banjir Bandang Makin Sering
Selain menyebabkan puluhan orang meninggal dunia. Banjir bandang di provinsi tersebut juga mengakibatkan ratusan rumah dan bangunan lain rusak ringan hingga berat, seperti 193 rumah warga di Kabupaten Agam dan 84 rumah di Tanah Datar.
Sarana prasarana umum seperti jembatan hingga rumah ibadah tidak luput terkena dampak. Kondisi lalu lintas dari Kabupaten Tanah Datar menuju Padang dan Solok bahkan dilaporkan lumpuh total.
Mengutip laman BNPB, banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba dengan jumlah debit air yang sangat besar. Hal tersebut biasanya terjadi karena adanya bendungan air pada aliran sungai. Banjir bandang dapat terjadi disebabkan adanya curah hujan yang ekstrem, seperti yang dialami di tiga wilayah di Sumbar.
Belakangan ini, banjir bandang dan lahar cukup sering terjadi di sejumlah daerah sekitar Gunung Marapi. Dalam enam bulan terakhir, tercatat tiga kali terjadi banjir bandang di kawasan tersebut.
Dua hari setelah erupsi Gung Marapi yang menewaskan 24 orang, banjir bandang dan lahar melanda sejumlah wilayah di Kabupaten Tanah Datar pada 5 Desember 2023.
Banjir lahar menghantam pemandian air panas di Nagari Pariangan, masjid, dan rumah warga di Nagari Batubasa, serta membuat jembatan di Nagari Baringin rusak.
Pada 23 Februari 2024, Kabupaten Tanah Datar kembali diterjang banjir bandang, tepatnya di Nagari Barulak. Sebanyak 27 rumah, lima jembatan, puluhan hektare lahan pertanian terkena dampaknya.
Kurang dari dua bulan kemudian, tepatnya pada 5 April banjir lahar dingin menghantam sejumlah wilayah di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar. Ini terjadi dua hari setelah erupsi Gunung Marapi yang melontarkan abu vulkanis hingga ketinggian 1,5 km.
Imbas dari peristiwa ini, setidaknya 61 rumah, 38 tempat usaha, dan 16,5 hektare lahan sawah rusak.
Pada bencana banjir bandang bulan ini, hujan deras menyebabkan air sungai yang berhulu di Gunung Marapi meluap, menciptakan aliran di jalur baru yang membawa “batu-batu besar” dari gunung berapi paling aktif di Sumatra itu hingga ke pemukiman di sekitarnya.
"Karena saking derasnya hujan, dia membuat jalur tersendiri. Banjir ini diikuti dengan material batu besar dari Gunung Marapi," kata Budi Perwira Negara, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Agam.
Peringatan yang Diabaikan
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) sebenarnya sudah ‘meramalkan’ bencana ini sejak beberapa tahun terakhir, sebagaimana dituturkan Direktur Eksekutif Walhi Sumbar Wengki Purwanto. Ia mengatakan yang terjadi di Sumbar sekarang ini merupakan bencana ekologis karena “salah sistem pengurusan alam”.
Eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan serta pembangunan yang tidak dilandaskan mitigasi bencana menyebabkan banjir bandang dan lahar yang terus berulang akhir-akhir ini. Wengki mencontohkan pembalakan dan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit di dalam dan sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), juga penambangan emas di kawasan penyangga TNKS.
"Ini terjadi terus dari tahun ke tahun. Akibatnya, setiap tahun bencana berulang. Bahkan dalam satu tahun itu makin sering, makin dekat jarak antara bencana yang satu dan bencana berikutnya,” Wengki menjelaskan.
Walhi Sumbar menemukan indikasi pembukaan lahan untuk penebangan liar seluas 50 hektare di Nagari Padang Air Dingin, Kabupaten Solok Selatan, dan seluas 16 hektare di Nagari Sindang Lunang, Kabupaten Pesisir Selatan. Ini berdasarkan pemantauan dan analisis citra satelit periode Agustus-Oktober 2023.
Selain itu, Wengki juga menyoroti pembangunan ilegal di Lembah Anai di Kabupaten Tanah Datar. Kawasan tersebut menjadi lokasi wisata yang ramai dikunjungi warga karena terdapat kafe, pemandian, dan masjid besar di sana. Bahkan rencananya akan dibangun hotel dan Pemprov Sumbar berencana membangun plaza di kawasan tersebut.
Padahal Lembah Anai berstatus hutan lindung dan cagar alam. Wengki juga menuturkan daerah tersebut rentan bencana seperti banjir atau longsor. Dan apa yang dikhawatirkan terjadilah pada Sabtu kemarin, banjir besar yang menyapu kafe dan pemandian di sana.
BACA JUGA:
"Dewan Sumber Daya Air sudah kasih rekomendasi di awal tahun 2023, bahwa kawasan itu mesti ditertibkan. Enggak mungkin di situ ada aktivitas-aktivitas yang mengumpulkan banyak orang, karena sama saja kita seperti membuat kuburan massal. Nah, di 2024 betul-betul hanyut semua kan," kata Wengki.
Ekploitasi sumber daya alam serta pembangunan yang serampangan, ditambah aktivitas Gunung Marapi berujung pada akumulasi krisis.
"Krisis ini terus terakumulasi dari tahun ke tahun, menumpuk. Ya wajar kalau intensitas hujan ekstrem seperti hari-hari ini, akhirnya kita memanen bencana," tegasnya Wengki.