Bagikan:

JAKARTA – Kenaikan Uang Kuliah Tunggal atau UKT di sejumlah perguruan tinggi ramai diperbincangkan dalam beberapa pekan ke belakang. Fakta ini seolah membenarkan anggapan bahwa melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi hanya untuk orang kaya.

Belum lama ini berita soal Rektor Universitas Riau (Unri) Sri Indarti melaporkan mahasiswanya, Khariq Anhar, ke polisi. Hal ini dilakukan setelah Unri memberlakukan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) untuk sejumlah program studi pada 2024.

Angkanya bervariasi setiap program studi (prodi), namun kebijakan itu membuat mahasiswa melakukan protes. Salah satu protes tersebut dilakukan dengan membuat konten media sosial. Akibat konten itulah mahasiswa Fakultas Pertanian, Khariq, dipolisikan rektornya sendiri, meski belakangan laporan tersebut sudah dicabut.

Ratusan mahasiswa Universitas Sumatra Utara (USU) saat melakukan aksi demo ke biro rektor USU mempertanyakan kenaikan UKT (Antara/HO)

Lalu pada Senin (13/5/2024) ratusan mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta menggelar demonstrasi di depan gedung rektorat kampus. Mereka menyampaikan protes terkait mahalnya UKT.

Protes juga dilakukan mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU), pada 8 Mei 2024, setelah UKT tahun ini naik lagi 30 sampai 50 persen. Ratusan mahasiswa berunjuk rasa di Kantor Biro Rektor USU meolak UKT yang naik tinggi, padahal fasilitas belajar di kampus dinilai masih buruk.

Revisi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum

Gelombang protes yang kian deras di sejumlah perguruan tinggi menyusul tingginya biaya UKT menjadi perhatian khalayak. Pengamat pendidikan Ubaid Matraji menjelaskan, mahalnya uang pangkal dan UKT di sejumlah universitas Tanah Air muaranya berada di kebijakan pemerintah terkait Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH).

PTNBH adalah perguruan tinggi yang didirikan pemerintah dengan status sebagai badan hukum publik yang otonom. Sebelum menjadi PTNBH, perguruan tinggi yang berstatus sebagai badan hukum publik otonom dikenal sebagai PTN Badan Hukum Milik Negara atau PTN BHMN.  

Mengutip Hukum Online, dasar hukum munculnya PTNBH adalah setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. PTNBH dimaksudkan agar perguruan tinggi bisa lebih cepat berkembang dengan melakukan pengelolaannya secara mandiri.

Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang mahal disebabkan berada kebijakan pemerintah terkait Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH). (Unsplash)

Dengan demikian, menurut Ubaid PTN BH tidak lagi ‘menyusu’ ke pembiayaan negara. Padahal negara memiliki peran yang sangat besar karena ketika UKT mahal, sedianya disubsidi negara.

“Akar permasalahan tingginya UKT sekarang ini karena PTN BH, yang merupakan bagian dari episode Kampus Merdeka. Sebenarnya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan kampus,” kata Ubaid kepada VOI.

Ubaid menabahkan, kebijakan PTN BH ini belum pas diterapkan di Indonesia karena akses di perguruan tinggi masih minim, hanya di bawah 10 persen. Belum lagi ditambah potensi putus kuliah yang tinggi karena mahalnya UKT.

“Maka kebijakan PTNBH yang arahnya ke bisnis atau komersialisasi kampus justru membenarkan bahwa hanya orang kaya yang bisa kuliah, sementara orang miskin tidak boleh kuliah,” tutur Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) ini.

Karena itulah, Ubaid menegaskan pemerintah bisa mengevaluasi kebijakan PTNBH karena tingginya gelombang protes dan keberatan dari masyarakat.

“PTNBH ini muaranya kebijakan pemerintah pusat. Jadi, hulu soal PTNBH ini harus disetop, yaitu UU No 12 Tahun 2012, perlu direvisi tidak perlu ada PTNBH, artinya PTN menjadi tanggung jawab pemerintah soal pembiayaan,” tegasnya.

APK Perguruan Tinggi Rendah

Di tengah tingginya UKT yang memantik gelombang protes dari sejumlah kalangan, Indonesia juga menghadapi Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi yang tergolong rendah, bahkan kalah dari negara tetangga.

Pada 2023, APK Indonesia adalah 31,45 persen dan pada 2024 39,37 persen. Angka ini masih di bawah rata-rata global yaitu 40 persen. Artinya, masih ada 68,55 persen siswa lulusan SMA atau sederajat yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi.

Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan negara tetangga, di mana APK Singapura mencapai 91,09 persen, Thailand 49,29 persen, dan Malaysia 43 persen.

Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) sekaligus pengamat pendidikan Cecep Darmawan mengatakan, rendahnya APK salah satunya dipengaruhi faktor ekonomi karena biaya kuliah yang tinggi sehingga tidak terjangkau masyarakat umum.

Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi di Indonesia masih rendah, di bawah negara tetangga Singapura, Thailand, dan Malaysia. (Unsplash)

Masih ada 69% anak-anak SLTA yang tidak melanjutkan kuliah. Hal ini terjadi setiap tahun, jika ada tiga kelas, hanya satu kelas yang melanjutkan kuliah semester, dua kelas lainnya tidak. Angka ini harus segera diintervensi oleh pemerintah untuk ditingkatkan lewat berbagai program,” jelas Cecep pada 25 Februari 2024.

Sebagai informasi, APK perguruan tinggi digunakan untuk mengukur berapa banyak penduduk usia 17-24 tahun yang menempuh pendidikan tinggi. Negara dengan APK PT lebih tinggi memiliki peluang menjadi negara maju karena kualitas SDM-nya tinggi.