JAKARTA – Draf revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang tengah digodok DPR memantik reaksi negatif dari berbagai kalangan. Yang menjadi sorotan adalah soal larangan berita investigasi. Sejumlah pasal dalam RUU Penyiaran juga disebut membingungkan, mengancam kebebasan pers, dan bahkan merugikan publik.
Dalam draf revisi UU Penyiaran yang beredar, salah satu pasal yang paling banyak menuai kritik adalah Pasal 56 ayat 2 poin c. Isinya melarang penayangan konten eksklusif jurnalistik investigasi.
Menurut sejumlah kalangan, revisi UU Penyiaran hanya akan memberangus kebebasan pers dan tidak sejalan dengan UU Pers. Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bayu Wardhana mengatakan draf revisi UU penyiaran yang sedang digodok DPR membingungkan.
“Pasal ini membingungkan. Mengapa ada larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi? Tersirat ini membatasi agar karya jurnalistik investigasi tidak boleh ditayangkan di penyiaran. Sebuah upaya pembungkaman pers sangat nyata,” kata Bayu.
Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Budi Arie Setiadi angkat bicara terkait draf revisi UU Penyiaran yang dianggap mengancam kebebasan pers. Budi Arie juga ikut menyoroti bagian yang dinilai mengancam jurnalisme investigasi. Menurutnya, produk tersebut justru tidak boleh dilarang.
"Jurnalistik harus investigasi, masa harus dilarang? Jurnalistik harus berkembang karena kita pun masyarakat juga berkembang," tegas Budi Arie.
Rugikan Masyarakat
Draf revisi UU Penyiaran yang salah satunya diklaim melarang jurnalisme investigasi tidak hanya akan merugikan kalangan pers, tapi juga publik. Bagaimana tidak, jika ini nanti ‘gol’, masyarakat hampir pasti hanya akan disuguhkan berita yang isinya seremonial belaka, alih-alih berita yang kritis.
Peneliti pusat studi media dan komunikasi Remotivi Muhammad Heychael mengatakan Pasal 56 ayat 2 poin C dalam revisi UU Penyiaran ambigu dan membingungkan. Ia merasa pasal ini dibuat karena ada keinginan untuk mencegah produk-produk jurnalistik tertentu, seperti film dokumenter Dirty Vote yang mengulas tuduhan kecurangan pemilu. Menurutnya, hal ini melawan prinsip jurnalistik.
“Justru jurnalistik itu bukan hanya harus akurat dan benar, tetapi informasi itu harus aktual. Saya khawatir semakin mati ruang publik kita,” tutur Heychael.
Investigasi disebut berada dalam takhta tertinggi karya jurnalistik. Karena itulah, pasal tersebut menjadi salah satu yang paling disorot ketika masuk dalam draf revisi UU Penyiaran.
BACA JUGA:
Dandhy Laksono, pendiri rumah produksi Watchdoc Documentary, ikut terkejut dengan keberadaan pasal tersebut. Ia khawatir jika pasal tersebut tidak dicabut dari draf revisi, masyarakat akan kehilangan kesempatan mendapat informasi yang diproses lewat kaidah jurnalistik yang benar.
“Sebagai pembuat film dan jurnalis, saya enggak peduli. Saya mungkin akan melanggar hukum apabila ini disahkan. Makin dilarang, sebaiknya semua content creator, semua jurnalis harus semakin membuat karya investigatif, pembangkangan sipil terhadap [RUU] ini,” ujar Dandhy.
Nama Dandhy Laksono sudah malang melintang di kancah film dokumenter Indonesia. Ia menjadi otak di balik ratusan judul film dokumenter termasuk Sexy Killers yang mengupas bisnis batu bara dan The Endgame terkait polemik tes wawasan kebangsaan KPK.
Teranyar, ia juga membuat film Dirty Vote yang ditayangkan pertama kali di YouTube pada 11 Februari atau tepat tiga hari sebelum Pemilu Presiden 2024. Film berdurasi 117 menit ini menampilkan tiga pakar hukum tata negara yang mengungkap apa yang mereka sebut sebagai kecurangan dalam proses pemilihan presiden tahun 2024.
Mengebiri Dewan Pers
Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Herik Kurniawan juga mengajak insan pers menolak revisi UU Penyiaran karena dapat mengancam kebebasan pers. Ia menilai revisi UU tersebut berpotensi menjadi alat untuk membungkam kemerdekaan pers dan kreativitas individu di berbagai platform.
Larangan membuat berita investigasi menurut Herik membuat insan pers di dunia penyiaran tidak dapat melahirkan karya jurnalistik berkualitas. Selain itu, hal tersebut juga dapat mempertumpul pers dalam melakukan kontrol masyarakat terhadap pemerintah.
"Selama karya tersebut memegang teguh kode etik jurnalistik, berdasarkan fakta dan data yang benar, dibuat secara profesional dan semata-mata untuk kepentingan publik maka tidak boleh ada yang melarang karya jurnalistik investigasi disiarkan di televisi," kata dia.
Konten eksklusif investigasi bukan satu-satunya hal yang menjadi sorotan dalam draf revisi UU Penyiaran ini. Hal lain yang juga mendapat kritik pegiat media adalah adanya pasal yang memberikan kewenangan sengketa pers khusus di bidang penyiaran oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Padahal, sebelumnya sudah ada Dewan Pers yang menangani kasus tersebut. Aturan ini berpotensi memberikan wewenang terlalu besar kepada KPI sekaligus “mengebiri Dewan Pers” menurut dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada Wisnu Prasetya Utomo.
Soal wewenang KPI dalam mengatur sengketa pers, pengajar jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara Ignatius Hariyanto mengingatkan, bagaimana pun juga KPI adalah bentukan politik, yang anggota-anggotanya diseleksi oleh para anggota di DPR.
“Sementara Dewan Pers lebih independen karena anggotanya adalah keseimbangan dari organisasi kewartawanan, perusahaan media, dan masyarakat,” pungkasnya.