Bagikan:

JAKARTA - Peran Pers sebaiknya jangan dilupakan atau diangggap tak bernilai oleh pemerintah saat ini. Pasalnya, Pers memiliki peran yang penting dalam memperjuangkan bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaannya.

Aspirasi perjuagan para insan pers Indonesia di era pergerakan selain sebagai wartawan juga sebagai aktivis politik yang kerap bersinggungan langsung dengan para penjajah. Mereka bergerak bukan atas nama profesi melainkan berdasarkan panggilan dalam mengungkap kebenaran.

Wartawan di masa pergerakan dan perjuangan memiliki dua tugas yang sangat penting. Tugas pertama sebagai insan yang memberikan informasi seluas-luasnya kepada masyarakat di seluruh tanah air dengan tujuan meningkatkan kesadaran nasional. Dan tugas kedua juga tak kalah penting, sebagai aktivis politik yang terlibat langsung dalam melakukan perlawanan terhadap penjajahan Jepang dan tentara sekutu.

Tentara Sekutu yang terdiri dari Belanda, Inggris, Australis dan Amerika menyiapkan diri untuk melucuti tentara Jepang dan menggagalkan momentum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Keinginan Jepang dan Sekutu hanya satu yakni menggagalkan berdirinya Republik Indonesia yang akan dibacakan Soekarno-Hatta di rumah Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Hal ini menimbulkan bentrokan fisik besar maupun kecil antara penjajah dan rakyat Indonesia di seluruh pelosok tanah air. Wartawan-wartawan yang tergabung dalam wadah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) bergerak bersama dan berjuang mempertahankan Proklamasi Indonesia.

Percetakan-percetakan yang dikuasai Jepang direbut guna mencetak berbagai surat kabar untuk mendistribusikan berbagai informasi dan menumbuhkan kesadaran nasional masyarakat Indonesia. Tujuannya wartawan-wartawan pergerakan saat itu hanya satu, rakyat harus bebas dari penjajahan dan kemerdekaan negara Indonesia diakui dunia.

Berita Indonesia merupakan koran pertama yang terbit di Jakarta dengan susunan redaksi Sidi Mohammad Sjaaf, Rusli Amran. Kemudian diikuti Harian Merdeka yang dipimpin B.M. Diah (menteri penerangan 1966), dan koran Rakjat di bawah pimpinan Sjamsuddin Sutan Makmur (menteri penerangan 1955) dan Rinto Alwi,

PWI Minta KPI Tidak Tangani Penanganan Pengaduan

Ketua KPI Ubaidillah (VOI)
Caption

Wartawan Indonesia mulai mendapatkan wadah yang berlingkup nasional sejak tanggal 9 Februari 1046. Wadah insan pers nasional tersebut diberi nama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menjadi wadah yang sangat penting saat itu dalam memperjuangkan kebebasan pers, melindungi hak-hak jurnalis, serta memperjuangkan kualitas dan etika jurnalistik di Indonesia. Dan kini, PWI telah menjelma menjadi organisasi jurnalis tertua dan terbesar di Indonesia.

Tanggal lahirnya PWI dijadikan sebagai Hari Pers Nasional setalah ditetapkan Presiden Suharto pada 1985 melalui Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985 tentang Hari Pers Nasional. Keppres ini merupakan bukti bahwa wartawan turut berperan dan mempunyai kontribusi yang besar dari dunia jurnalistik dalam memajukan bangsa.

Terkait Rancangan UU Penyiaran yang menjadi polemik dan mengancam kebebasan pers, Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Hendry Ch Bangun dengan tegas menolaknya. Menurut dia, ada dua klausul yang menjadi catatan penting dari polemik yang disebabkan RUU Penyiaran. "Yang kami prihatinkan itu sebetulnya ada dua. Pertama mengenai larangan jurnalisme investigasi, yang kedua nanti sengketa kewenangan dalam penanganan pengaduan," kata Ketua Umum PWI, Hendry CH Bangun dalam pesan tertulis yang diterima VOI.

Hendry menyebutkan kekhawatirannya akan klausul kedua terkait sengketa kewenangan dalam penanganan pengaduan yang rencananya ditangani oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Dia menegaskan aturan penanganan pengaduan masalah Pers bukan ditangani oleh KPI.

"Kita semua mengetahui KPI ini kan fit and proper test di DPR yaa jadi ada nuansa-nuansa politis di dalamnya. Kalau masih seperti ini pasalnya akan ada sengketa kewenangan. Nah ini yang menurut kami sebaiknya dicabut di dalam RUU itu," tegas Hendry.

Hendry menilai penanganan pengaduan sengketa pers selama ini dikerjakan Dewan Pers dengan obyektif dan selalu menjaga independen. Henri menegaskan obyektivitas Dewan Pers itu disebabkan dipilih oleh masyarakat pers. "Saya tahu betul bahwa penanganan sengketa pers selama ini bagus, sangat objektif, independen, tidak terpengaruh. Itu disebabkan Dewan Pers dipilih oleh masyarakat pers," ungkapnya.

DPR Diminta Mengkaji Ulang RUU Penyiaran

Foto Antara
Foto Antara

Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menaruh perhatian terhadap draf rancangan UU Penyiaran baik dari sisi proses penyusunan maupun subtansi.

Dari proses penyusunan, IJTI menyayangkan draf revisi UU Penyiaran terkesan disusun secara tidak cermat dan berpotensi mengancam kemerdekaan pers telebih penyusunan tidak melibatkan berbagai pihak seperti organisasi profesi jurnalis atau komunitas pers. Dalam darf revisi RUU Penyiaran terdapat sejumlah pasal yang menjadi perhatian khusus bagi IJTI.

"Secara subtansi pasal pelarangan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi di televisi bisa diartikan sebagai upaya intervensi dan pembungkaman terhadap kemerdekaan pers di tanah air. Upaya ini tentu sebagai suatu ancaman serius bagi kehidupan pers yang tengah dibangun bersama dengan penuh rasa tanggung jawab. Tidak hanya itu, dikhawatirkan revisi RUU Penyiaran akan menjadi alat kekuasan serta politik oleh pihak tertentu untuk mengkebiri kerja-kerja jurnalistik yang profesional dan berkualitas," kata Ketua Umum IJTI Herik Kurniawan kepada VOI.

Herik mengungkapkan sesuai dengan UU Pers telah jelas bahwa komunitas pers mendapat mandat untuk membuat regulasi sendiri dalam rangka mengatur kehidupan pers yang sehat, profesional dan berkualitas melalui selft regulation. Berdasarkan atas kewenangan itu setiap sengketa yang berkaitan dengan karya jurnalistik baik penyiaran, cetak, digital (online) hanya bisa diselesaikan di Dewan Pers.

"Langkah ini guna memastikan bahwa kerja-kerja jurnalistik yang profesional, berkualitas dan bertanggungjawab bisa berlangsung independent serta tidak ada intervensi dari pihak manapun. Kita sepakat bahwa sistem tata negara menggunakan demokrasi, dan pers merupakan pilar keempat dari demokrasi. Pers memiliki tanggung jawab sebagai kontrol sosial agar proses bernegara berjalan transparan, akuntable dan sepenuhnya memenuhi hak-hak publik," katanya.

Liputan Inveestigasi Dilindungi UU Pers No 40 Pasal 4

Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menolak RUU Penyiaran yang draft-nya membelenggu insan pers. (Dok Dewan Pers)
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menolak RUU Penyiaran yang draft-nya membelenggu insan pers. (Dok Dewan Pers)
 

Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengungkapkan beberapa alasan pihaknya menolak revisi Undang-Undang (UU) tentang Penyiaran, yang sedang dibahas oleh DPR. Penolakan itu lahir karena salah satunya terdapat poin yang melarang lahirnya media investigatif. Kata Ninik, hal itu bertentangan dengan mandat yang ada di dalam Undang-Undang (UU) 40 Pasal 4.

"Karena kita sebetulnya dengan UU 40, tidak lagi mengenal penyensoran, pembredelan, dan pelarangan-pelarangan penyiaran terhadap karya jurnalistik berkualitas," kata Ninik Rahayu

Ninik menyebutkan penyiaran liputan eksklusif investigasi merupakan bentuk karya jurnalistik yang profesional dan bertanggung jawab. Ninik menyoal dan mempertanyakan draft RUU Penyiaran yang kini sedang dibahas di DPR. Dalam draft RUU Penyiaran itu dijelaskan penanganan pengaduan sengketa pers yang akan diserahkan ke KPI.

Ninik menegaskan sengketa jurnalistik yang seharusnya diselesaikan oleh Dewan Pers itu juga diatur dalam Perpres 32 Tahun 2024 yang baru saja disahkan presiden.

"Pemerintah saja mengakui, kenapa di dalam draf ini penyelesaian sengketa terkait dengan jurnalistik justru diserahkan kepada penyiaran, ini betul-betul akan menyebabkan cara penyelesaian yang tidak sesuai dengan norma undang-undang yang ada," pungkasnya.

Anggota Komisi I DPR RI, Dave Laksono mengatakan draft RUU Penyiaran itu belum pernah dibahas dalam komisi I DPR, baru diharmonisasi di Baleg. Dave menjelaskan harmonisasi yang dimaksud adalah pemeriksaan terkait ada tidaknya pasal yang bertentangan dengan undang-undang lain. "Pembahasan belum masuk kemana mana. Semangatnya tidak membredel pembatasan akses informasi, justru menguatkan dunia penyiaran," kata Dave yang juga putra dari politisi Partai Golkar Agung Laksono.