Bagikan:

JAKARTA - Ancaman dan serangan terhadap Kebebasan Pers seperti tak pernah berhenti, serangan terus berulang dalam berbagai bentuk. Kebebasan pers, seperti halnya kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi adalah hak dasar yang dilindungi Undang-Undang Dasar 1945 terutama Pasal 28 F. UU No 40/ 1999 sebagai turunan Undang-Undang Dasar tersebut telah menjadi landasan yuridis yang mengatur tentang pers.

Dalam pasal 2 UU tersebut disebutkan: "Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum."

Meski disadari kebebasan pers adalah pilar demokrasi. Namun keberadaannya berulang kali coba diusik oleh mereka untuk tujuan tertentu. Tidak oleh persoalan lain, tetapi justru oleh regulasi atau UU yang diproduksi oleh lembaga DPR atau pemerintah. Hingga timbul pertanyaan apakah hal tersebut disengaja karena faktor ketidaktahuan dari pihak perumus UU tersebut.

Serangan yang nyata dirasakan akhir-akhir, adalah munculnya sejumlah pasal dalam revisi Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yang dinilai dapat menjadi pintu masuk bagi upaya pembungkaman kebebasan Pers. Revisi ini sempat diteriakan sejumlah kalangan karena tiba-tiba menyenggol larangan penayangan liputan eksklusif jurnalistik investigasi. Bak petir disiang bolong aturan itu menyengat sejumlah kalangan seperti Dewan Pers dan komponen pers lainya. Sehingga mereka buru-buru menyatakan menolak revisi tersebut.

Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin menengarai dari pola serangannya yang sudah berulang terjadi menurutnya pasti disengaja, "Namun kesengajaannya itu dalam artian, legislator atau tim perumusnya tidak bisa membedakan mana konten jurnalistik mana yang bukan, sehingga perumusannya juga acak-acakan," ujar Ade saat dihubungi VOI pekan lalu.

Ade meyakini sasaran utama ingin membatasi konten jurnalistik, tapi dilakukan secara serampangan dan dibungkus dengan mengatasnamakan kegiatan lainya seperti soal tayangan mistik, larangan penayangan berbagai bentuk sex, dan soal LGBT.

Berdasar Draf RUU Penyiaran yang ketahui berisi 14 BAB dengan 149 Pasal itu, ditemukan sejumlah pasal yang bertentangan dan mengancam kebebasan pers. Dan diketahui untuk alasan penguatan lembaga penyiaran (KPI), ada kewenangan yang justru akan berbenturan dengan fungsi Dewan Pers di UU Pers No 40 /1999. Sedikitnya 3 pasal revisi menuai polemik. Antara lain terlihat di Pasal 50 B Ayat 2 huruf c. tentang larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

Kemudian pasal 8 A huruf (q) draf Revisi di mana disebutkan "Bahwa KPI dalam menjalankan tugas berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran, "Hal ini tumpang tindih dengan yang diatur UU 40/1999 bahwa sengketa pers diselesaikan oleh Dewan Pers.

Juga Pasal 42 ayat 2 bahwa sengketa jurnalistik diurusi oleh KPI. Sedangkan berdasarkan UU Pers, penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan oleh dewan pers. Seakan-akan KPI ingin menabrak wewenang Dewan Pers yang telah diatur oleh undang-undang.

Draf revisi UU Penyiaran Pasal 56 ayat 2 poin c berisi tentang larangan konten eksklusif investigasi yang dinilai mengancam kebebasan pers. (Pixabay)
Draf revisi UU Penyiaran Pasal 56 ayat 2 poin c berisi tentang larangan konten eksklusif investigasi yang dinilai mengancam kebebasan pers. (Pixabay)
 

Sementara di Pasal 51 huruf E, Revisi tersebut disebutkan "Dilarang membuat konten siaran yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik. Karena digunakan untuk menjebloskan seseorang ke dalam penjara dengan dalih pencemaran nama baik. Dikala banyak pihak mempersoalkan pemberlakuan pasal karet UU ITE itu, pasal ini justru muncul dalam revisi ini .

Jadi pasal-pasal seperti Pasal 8A huruf (q) , Pasal 42 ayat 2, dan Pasal 51 huruf E dinilai saling tumpang tindih dengan yang sudah diatur oleh UU Pers. Pasal ini mengatur bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di pengadilan.

Ketua Komisi Penyiaran Pusat, Ubaidillah, pernah menyampaikan UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, memiliki urgensi memperjelas definisi antara media baru, media sosial, media digital dan irisannya dengan media konvensional. Revisi UU Penyiaran juga diarahkan mendorong penguatan kelembagaan KPI, khususnya hubungan koordinasi antara KPI Pusat dan KPI Daerah.

Langkah pengaturan ruang digital ini memiliki urgensi dari merefleksi pertumbuhan di ruang digital di mana masifnya pertumbuhan pengguna internet yang tidak selaras dengan pertumbuhan kualitas konten. Ditambah masalah literasi digital yang masih menjadi PR dan digital gatekeeper terhadap konten-konten tak berkualitas.

Satu hal yang kemudian disoroti adalah perluasan cakupan wewenang KPI yang justru berbenturan dengan lembaga lain, yang memiliki kewenangan sama, misal Dewan Pers. Namun urgensi itu kemudian disoal oleh kalangan pers, karena mempersoalkan perkara jurnalistik yang sudah diatur oleh UU lain.

Selain beberapa hal tersebut dalam revisi UU Penyiaran dianggap menjadi ancaman atas kebebasan pers, sebelumnya serangan yang sama berulang kali mengancam UU tentang Pers UU No 40/ 1999.

Yadi Hendriana, dari Komisi Pengaduan dan Penegakan Etik Pers, Dewan Pers, mengungkapkan telah berulang kali pihaknya mendeteksi adanya serangan serupa. Anggota organisasi IJTI itu mencatat beberapa aturan dan regulasi dirasa bertentangan kebebasan pers antara lain, UU Pemilu dan sejumlah UU terdeteksi pasal-pasal yang justru mengancam kebebasan pers.

Pihaknya mengaku tak bisa menunjuk kelompok dan pihak mana yang melakukan itu. Namun polanya sama seperti dititipkan ke regulasi yang sedang disusun. "Mungkin dilakukan oleh pihak atau kelompok yang tidak senang dengan keberadaan kebebasan pers. Serangan terhadap Kebebasan Pers menurut Yadi berulang kali terjadi dan seperti berusaha untuk melemahkan" ujar Yadi, dihubungi VOI pekan lalu.

Kebebasan Berpendapat Dibelenggu, Demokrasi Indonesia Berada di Titik Terendah!

Ilustrasi jurnalis (ANTARA)
Ilustrasi jurnalis (ANTARA)

Dimulai dengan kemunculan UU Pemilu 2007 untuk penyelenggaraan pemilu tahun 2019 telah dirasakan ada pasal yang mengganggu kebebasan pers, di mana waktu itu ada larangan pemberitaan terkait masa tenang. Hal ini jelas menimbulkan reaksi di kalangan pers, mereka mendesak KPU dan Bawaslu untuk membatalkan aturan tersebut. Desakan untuk mencabut aturan tersebut berhasil.

Anehnya, setelah dicabut di tahun 2019, aturan itu kembali masuk di penyelenggaraan Pemilu 2024. Karena poin dari aturan itu sama, lagi-lagi kalangan pers melakukan protes keras ke DPR dan Baleg. Dan kembali berhasil dicabut aturan tersebut. "Kita protes sampai ke Mendagri dan KPU hingga PKPU tentang aturan ini diubah atau untuk pers dikecualikan," kata Yadi.

"Setelah kejadian itu kami pikir rongrongan akan kebebasan pers selesai, ternyata tidak, serangan itu ternyata masuk lewat UU Cipta Kerja,"ujarnya. Di UU Cipta Kerja lewat Pasal 18 jelas nampak di situ ada campur tangan pemerintah untuk mengatur segala yang terkait dengan pers. "Kita bersama berbagai teman pun memprotes, sampai ke Baleg hingga akhirnya ketentuan itu dicabut (take out). Dari situ kita tahu bahwa anggota DPR sendiri tidak tahu, jika aturan tentang pers itu bisa masuk di sana" kata Yadi.

UU Cipta Kerja yang semangatnya diperuntukan untuk menggenjot investasi dan demi pertumbuhan ekonomi ini. Juga dinilai sarat dengan muatan pasal yang bertentang dengan kebebasan pers. UU yang terdiri dari 11 Klaster, 15 bab, 174 pasal, tersebar di 79 UU dengan 1.203 pasal akan disederhanakan Pemerintah Jokowi menjadi satu UU yang diberi nama UU Cipta kerja. Dari 79 UU itu termasuk UU pers/ UU 40/1999 di dalamnya. Namun kalangan Pers berteriak dan mendesak agar Pasal 87 RUU Cipta Kerja dicabut karena bertentangan dengan UU Pers, terutama soal tentang modal asing dan ketentuan tentang pidana. Akibat protes tersebut DPR akhirnya mencabut UU Pers yang ada di dalam UU Cipta Kerja.

Selain UU Cipta Kerja ancaman terhadap kebebasan pers juga datang dari UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Disahkan penghujung Maret 2008, UU ITE memuat ketentuan pidana bagi penyebar informasi yang dapat menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, ras, agama, dan antargolongan. Ketua Dewan pers saat itu, Ichlasul Amal sempat menolak dan mengirim surat ke Menkominfo menyatakan keberatan isi undang-undang itu karena mengancam kebebasan pers.

Hingga dijaman Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi, dilakukan Revisi kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang disahkan menjadi UU pada 6 Desember 2023. Namun Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menyatakan tidak puas dengan revisi itu karena tidak memberikan perubahan signifikan terhadap pasal-pasal yang menjadi ancaman kemerdekaan pers. Misalnya Pasal 27A, mengenai distribusi atau transmisi informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan tuduhan atau fitnah dan/atau pencemaran nama baik masih bercokol disana.

Berikutnya ancaman juga terlihat di RUU KUHP yang saat ini sedang masa sosialisasi ke publik. Menurut Yadi, ada 19 pasal dalam KUHP yang justru mengancam kebebasan Pers. Ada 10 sampai 14 pasal terindikasi menyerang kebebasan pers ada yang sudah take out, tapi ada juga yang akhirnya lolos. Dan masuk dipoint pertimbangan, tapi dikecualikan untuk pers. Sampai disitu teman-teman merasa puas atas capaian itu. Mereka kini menunggu diundangkan dan mengaku bersiap siap melakukan judicial review ke MK.

Hambatan atas kebebasan pers dinilai Yadi sudah selesai. Ternyata muncul pengaturan soal pers di UU Penyiaran saat imi. "Kami tidak tahu siapa pelakunya, tapi harusnya legal draftingnya tahu bahwa aturan itu sudah ada ditempat lain.Jika dilihat word per word harusnya kelihatan. Dari situ bisa disimpulkan ada kesengajaan yang sistematis entah oleh siapa yang tujuannya mengarah untuk merongrong kebebasan pers," katanya.

"Tidak ingin bersuudzon, jangan-jangan ini hanya prasangka kita saja. Kami berharap itu tidak demikian. Tetapi bagi pihak yang paham atau terkait hal itu mohon berhentilah memainkan upaya-upaya untuk merongrong kebebasan pers." ujarnya. JIka pers sudah dikontrol oleh kekuatan tertentu dan penuh dengan muatan politik kelompok, apalah jadinya nasib bangsa ini ke depannya. Disimpulkan seperti apa, tapi kenyataan ada upaya yang sistematis untuk mengontrol pers kembali. Menjaga kebebasan pers bukan untuk pers semata tetapi untuk kepentingan publik dan menjaga demokrasi.

Menyikapi pihak mana yang punya kepentingan untuk melemahkan kebebasan pers, Aktivis HAM, Usman Hamid mencoba menganalisa pihak yang paling berkepentingan dengan tayangan investigasi adalah pemerintah. Sebab selama ini pihak yang merasa terganggu adalah mereka. Menurutnya mereka selama ini tidak bisa menjangkau UU Pers karena dilindungi Dewan Pers caranya ya melalui UU Penyiaran. Dengan dibungkus mengatur larangan tayangan aktivitas seksualitas, aktivitas LGBT dan sebagainya. Namun sasaran utamanya sebenarnya ingin membatasi pers.

Menurut Usman, hasil penelitian banyak ahli dari dalam dan luar negeri, mereka menyimpulkan demokrasi Indonesia dalam krisis. Hal itu ditandai dengan meningkatnya represif aparat, menguatnya pemberlakuan Cyber dan UU ITE, menguatnya pihak Eksekutif dan lemahnya Legislasi. Tidak ada oposisi partai politik. Mereka ingin mengontrol pers termasuk dengan pelarangan investigasi, padahal mereka tahu itu bagian kontrol publik. Selama ini untuk mengontrol pers mereka belum bisa karena dilindungi oleh UU Pers yang dijaga oleh Dewan Pers, akhirnya mereka lewat RUU Penyiaran itu, ingin melemahkan pers