Bagikan:

Revisi RUU Penyiaran menjadi topik panas di kalangan wartawan dan pegiat kebebasan pers di Indonesia. Dalam beberapa pekan terakhir, berbagai pihak, mulai dari Dewan Pers hingga organisasi wartawan, gencar menolak RUU ini. Mereka berpendapat bahwa revisi RUU Penyiaran berpotensi mengancam kebebasan pers dan merusak sendi-sendi demokrasi di Indonesia.

Pasal-pasal dalam revisi RUU Penyiaran memicu kekhawatiran karena dinilai dapat membatasi ruang gerak wartawan. Salah satu pasal kontroversial adalah yang melarang jurnalisme investigasi. Larangan ini dianggap sebagai upaya untuk meredam suara kritis yang sering kali mengungkap berbagai kasus korupsi dan pelanggaran lainnya. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mewanti-wanti pemerintah dan DPR untuk tidak melarang jurnalisme investigasi dalam revisi RUU Penyiaran. Ketua DPP PDI-P Djarot Saiful Hidayat menilai, niatan melarang jurnalisme investigasi muncul dari ketakutan berlebihan sejumlah pihak terhadap pemberitaan pers.

Revisi RUU Penyiaran dianggap bisa mengancam kebebasan pers karena mengatur pelarangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Pelarangan itu ada dalam Pasal 50B ayat (2) draf RUU Penyiaran terbaru atau versi Maret 2024. Di Pasal 50B ayat (3) diatur sanksi apabila melanggar aturan pada ayat (2) tersebut, mulai dari teguran tertulis, pemindahan jam tayang, pengurangan durasi isi siaran dan konten bermasalah, penghentian sementara siaran, denda, hingga rekomendasi pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP). Pada Pasal 50B ayat (4) disebutkan bahwa pengisi siaran juga bisa dikenakan sanksi berupa teguran dan/atau pelarangan tampil.

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), melalui ketuanya, Hendry Ch Bangun, menyatakan bahwa pembatasan ini justru akan menghambat proses demokratisasi yang sehat. Jurnalisme investigasi adalah salah satu pilar utama dalam fungsi kontrol sosial media, terutama dalam mengawasi kebijakan publik dan perilaku pemerintah.

Tak hanya itu, revisi RUU Penyiaran juga dinilai berpotensi menghambat pemberantasan korupsi. Organisasi anti korupsi menyatakan bahwa kebebasan pers sangat krusial dalam mengungkap praktik korupsi yang sering kali tersembunyi di balik kebijakan dan birokrasi yang rumit. Dengan adanya pembatasan pada jurnalisme investigasi, dikhawatirkan upaya untuk mengungkap korupsi akan terhambat.

Menurut beberapa pihak, RUU ini mengandung pasal-pasal yang sangat problematis. Padahal, kebebasan pers adalah fondasi demokrasi yang tidak boleh dikompromikan. Jika RUU ini disahkan, maka Indonesia akan mengalami kemunduran dalam hal kebebasan berekspresi dan transparansi pemerintah.

Reaksi keras juga datang dari wartawan di berbagai daerah. Di Malang Raya, para wartawan menggelar aksi damai menolak revisi RUU Penyiaran. Mereka membawa berbagai poster yang mengekspresikan penolakan terhadap pasal-pasal yang dinilai merugikan kebebasan pers. Aksi ini menunjukkan bahwa penolakan terhadap revisi RUU Penyiaran bukan hanya datang dari pusat, tetapi juga dari daerah-daerah yang bakal merasakan langsung dampak negatif dari regulasi yang tidak pro-demokrasi.

Di sisi lain, pemerintah, melalui Menkominfo, mencoba meredam kekhawatiran publik dengan menyatakan bahwa revisi RUU Penyiaran tidak akan menghambat kebebasan pers. Menkominfo menegaskan bahwa pemerintah menjamin kebebasan peliputan investigasi tetap terjaga. Namun, jaminan ini tidak cukup untuk meredakan kekhawatiran banyak pihak.

Sikap kritis terhadap revisi RUU Penyiaran menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia semakin sadar akan pentingnya kebebasan pers sebagai bagian tak terpisahkan dari demokrasi. Mereka memahami bahwa tanpa kebebasan pers, kontrol terhadap pemerintah dan transparansi akan melemah, membuka jalan bagi praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu, perjuangan untuk menjaga kebebasan pers harus terus dilanjutkan.

Dalam konteks ini, penolakan terhadap revisi RUU Penyiaran bukan hanya soal mempertahankan kebebasan media, tetapi juga tentang menjaga integritas demokrasi Indonesia. Kebebasan pers adalah hak dasar yang harus dilindungi dari upaya-upaya pembatasan yang tidak berdasar. Jika RUU ini disahkan, kita harus siap menghadapi konsekuensi serius yang akan mengancam kehidupan demokratis di negara ini.

Jelas bahwa revisi RUU Penyiaran bukan sekadar regulasi biasa. Ini adalah ujian besar bagi komitmen Indonesia terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan berekspresi. Masyarakat harus terus waspada dan aktif menyuarakan penolakan terhadap setiap upaya yang berpotensi merusak kebebasan yang telah diperjuangkan dengan susah payah. Dalam mempertahankan kebebasan pers, kita mempertahankan esensi dari demokrasi itu sendiri.