RUU Gubernur DKI Jakarta Dipilih Presiden, Penghematan Biaya atau Strategi Cadangan Penguasa untuk Perpanjang Kekuasaan?
Wakil Ketua DPR RI Lodewijk Freidrich Paulus dalam Rapat Paripurna DPR RI mengesahkan RUU Daerah Khusus Jakarta menjadi usul inisiatif DPR. dalam rapat paripurna, Selasa (5/12/2023). (Arief/Man/website DPR)

Bagikan:

JAKARTA – Rancangan Undang-Undang atau RUU Daerah Khusus Jakarta (DKI) yang telah disepakati menjadi usul inisiatif DPR menimbulkan polemik. Salah satu yang paling mencuri perhatian dari RUU DKI adalah mengenai pemilihan gubernur dan wakil gubernur yang ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh presiden dengan memperhatikan usul DPRD.

Keputusan RUU DKI menjadi usul inisiatif DPR diambil dalam Rapat Paripurna ke-10 Masa Persidangan II Tahun 2023-2024, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (5/12/2023).

Dalam Pasal 10 Ayat (2) draf RUU DKI disebutkan, gubernur dan wakil gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD.

Monumen Nasional (Monas) merupakan salah satu ikon Kota Jakarta. (Wikimedia Commons)

Lalu di Ayat (3), masa jabatan gubernur dan wakil gubernur selama lima tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat ditunjuk dan diangkat kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.

Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi satu-satunya dari sembilan fraksi di DPR yang menolak RUU tersebut.

Pertahankan Kekhususan Jakarta

Aturan mengenai pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta menjadi sorotan Fraksi PKS. Mengutip Kompas, anggota DPR dari Fraksi PKS, Hermanto, mengatakan usulan pemilu gubernur, wakil gubernur, bupati, wali kota, dan wakil wali kota perlu dipertahankan demi mewujudkan demokrasi secara lebih konsisten.

Bagian pemilihan gubernur dan wakil gubernur yang dipilih langsung oleh presiden memang menjadi perdebatan. Bagi sebagian, rencana ini bisa memangkas anggaran untuk Pemilihan Kepala Daerah Jakarta yang menelan biaya cukup besar.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopulhakam) Mahfud MD termasuk yang tidak mempersoalkan RUU DKI yang mengatur penunjukan gubernur oleh presiden.

Baai Kota DKI Jakarta. (Wikimedia Commons)

“Kalau saya tidak mempersoalkan itu, karena DPR sudah berdebat lama dengan pemerintah, lalu kesimpulannya itu,” ujar Mahfud, dikutip Antara.

Mahfud menduga, adanya RUU DKI karena DPR ingin mempertahankan kekhususan Jakarta setelah tidak lagi menjadi ibu kota negara.

“Karena Jakarta dianggap khusus, jadi dikelola secara khusus,” tutur Mahfud.

Strategi Cadangan

Di antara yang menolak aturan penunjukkan gubernur oleh presiden adalah Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah. Dia curiga ini sebagai upaya politik yang buruk.

“Pasca pemindahan ibu kota maka Jakarta tidak lagi menjadi daerah ekslusif, meskipun kemudian nanti akan dijadikan pusat ekonomi nasional, tetapi wilayah DKI menjadi setara dengan wilayah lainnya, dan pemilihan gubernur selama ini tidak menjadi penghalang pertumbuhan juga polemik sosial politik,” kata Dedi kepada VOI.

Dalam kesempatan yang sama, Dedi juga menilai ini adalah upaya Presiden Joko Widodo menjadikan ini sebagai ‘strategi cadangan’ untuk melanggengkan kekuasaan keluarganya.

Bukan tanpa alasan Dedi melemparkan tudingan demikian kepada Jokowi. Jika RUU DKI disahkan maka Jokowi masih menjabat sebaga presiden, sementara akhir-akhir ini mantan Gubernur DKI Jakarta itu sedang terkesan menguasai banyak persoalan politik, mulai dari keputusan Mahkamah Konstitusi yang merestui majunya Gibran Rakabuming Raka, hingga soal Jokowi meneken keputusan kontestan Pilpres tidak harus mundur dari jabatan publiknya.

Presiden Joko Widodo saat meninjau harga kebutuhan pokok di Pasar Oebobo, Kota Kupang, NTT, Rabu (6/12). (Antara/HO-Eli)

“Maka bisa saja RUU DKI menjadi cadangan jika kekuasaan keluarga Jokowi gagal diteruskan oleh Gibran. Gibran bisa ditunjuk sebagai Gubernur DKI, Kaesang dan Bobby sekalipun menjadi miliki peluang besar,” Dedi menjelaskan.

“Gubernur yang selama ini didapat tidak melalui pemilihan, semisal Yogyakarta, perlu dan layak ditimbang agar disetarakan dengan kepala daerah lainnya. Itu jauh lebih baik dibanding menghilangkan pemilihan Gubernur,” imbuhnya.

Sependapat dengan Dedi, pengamat politik Hendri Satrio juga juga tidak setuju jika Gubernur Jakarta nantinya dipilih oleh presiden. Ia khawatir seluruh daerah akan dipaksa mengikuti aturan serupa ke depannya, sehingga malah mematikan demokrasi.

“Rezim ini diangkat oleh demokrasi tapi berusaha terus menghancurkan demokrasi,” tegas Hendri saat dihubungi VOI.

Penghematan Anggaran Pilkada

Di tengah derasnya kritik terhadap aturan pemilihan gubernur dan wakil gubernur oleh presiden pada RUU DKI, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah justru memiliki penilaian positif.

Ia yakin peniadaan pemilihan Gubernur Jakarta nantinya akan menghemat anggaran

"Dengan kita berpikir efesiensi, mengurangi anggaran juga, demokrasinya supaya tidak boros, ya itu, gubernur itu langsung ditunjuk saja dari pusat," ujar Trubus.

Selain perampingan anggaran, Trubus juga menjelaskan bahwa kedudukan gubernur merupakan wakil pemerintah pusat di daerah, sesuai Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 23/2014. Oleh sebab itu, Trubus berpendapat seharusnya gubernur tidak perlu dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu.

"Karena dia juga enggak berhubungan langsung dengan masyarakatnya kok, yang berhubungan langsung itu kan bupati/wali kota. Kalau gubernur mau ngapain?" kata Trubus lagi.