JAKARTA – Ketika menyebut nama Surya Utama, hampir pasti tidak banyak orang yang mengenali nama tersebut. Tapi, siapa yang tidak kenal dengan Uya Kuya?
Kasus serupa juga dialami mantan vokalis Dewa 19, Once Mekel. Pemilik nama asli Ellfonda Mekel ini lebih populer dengan nama panggung-nya, Once, yang merupakan panggilan kecil dari kakak sang artis.
Kedua artis yang belakangan memutuskan terjun ke dunia politik ini memutuskan mengajukan penggantian nama sementara dalam perebutan kursi di Senayan pada Pemilu 2024, meski dari partai berbeda.
“Nama saya di akta kelahiran memang Ellfonda Mekel, tapi sejak kecil dipanggil Once Mekel. Untuk Pileg ini saya mengajukan penggantian nama sementara ke pengadilan,” kata Once kepada VOI melalui pesan singkat.
Untuk Menarik Suara
Menggunakan nama beken dalam kontestasi politik sebenarnya bukan hal baru. Selain dua nama tersebut, masih banyak nama lain yang juga memilih untuk menanggalkan nama asli mereka saat bertarung di kontestasi politik.
Denny Cagur misalnya, yang juga meninggalkan nama aslinya Denny Wahyudi, untuk bertarung di Dapil Jawa Barat II dari PDIP. Demikian pula dengan Ritchi Ismail, nama asli suami Syahnaz Sadidah. Ia menambahkan Jeje sebagai nama depannnya supaya lebih dikenal para pemilih dari Dapil Jawa Barat II. Politisi dari PAN ini memang memiliki nama panggung Jeje Govinda.
Selain itu, ada juga Alfiansyah, komedian dengan nama panggung Komeng ini diketahui mengajukan penggantian nama dan disahkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cibinong. Ia secara terang-terangan mengaku pengantian nama ini dilakukan untuk memuluskan langkahnya menjadi calon DPD dari Jawa Barat.
Meski demikian, komedian berusia 53 tahun ini menegaskan tidak memiliki ekspektasi lebih harus terpilih. Komeng mengaku hanya ingin orang tahu bahwa Alfiansyah Bustami dan Komeng adalah orang yang sama.
“Saya mah mau kepilih Alhamdulillah, mau nggak kepilih Alhamdulillah. Titik itu yang saya inginkan, orang tahu Alfiansyah Bustami dan Komeng sama, kalau soal nama itu tadi,” kata Komeng.
Tapi ada juga artis Tanah Air yang tetap memakai nama aslinya di daftar calon tetap DPR Komisi Pemilihan Umum (KPU). Adalah Siti Tuti Susilawati anggota Partai Perindo yang akan maju dari Dapil Jawa Barat II. Ia tetap memakai nama aslinya meski mayoritas masyarakat Indonesia lebih mengenal dia dengan nama Sania.
Menurut pengamat hukum pidana Masykur Isnan, penggantian nama sementara seperti untuk kepentingan Pemilu memang lumrah terjadi di Indonesia, dan tidak melanggar hukum.
“Penggunaan nama panggung dalam kontestasi politik adalah hal menarik. Ini kan untuk menarik suara masyarakat. Dan, secara hukum penggunaan nama alias atau nama panggung boleh saja,” ujar Masykur Isnan kepada VOI.
Nama adalah Brand
Dihubungi terpisah, sosiolog dari Universitas Indonesia Riki Ricardi mengatakan, fenomena mengganti nama tidak hanya terjadi di kalangan artis dan di era Pemilu saja. Penggantian nama sudah terjadi puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu, sebagaimana biasa terjadi di masyarakat Indonesia.
“Contohnya tradisi nama di Jawa, yang kemudian dikaitkan dengan hoki. Biasanya orang tua mengganti nama karena tidak mau bawa sial, misalnya,” kata Riki saat berbincang dengan VOI.
Riki menambahkan, konsep penggantian nama sekarang ini juga bercampur dengan budaya luar. Nama, menurut Riki adalah sebuah brand atau merek, sehingga menciptakan imajinasi di kalangan audience atau masyarakat.
Konsep merek ini tentunya berbeda dengan konsep pemberian nama dari orang tua di zaman dahulu. Bagi kebanyakan orang, terutama di dunia selebritas mengubah nama asli menjadi nama panggung supaya lebih menarik perhatian publik.
“Penggantian nama ini berkaitan juga dengan achievement. Dia, orang yang mengganti nama, tentunya ingin menarik perhatian, ingin dikenal. Misalnya, nama Jono yang dianggap ketinggalan diganti dengan Juni yang lebih kekinian,” imbuh Riki.
“Saat bicara dunia keartisan, maka penggantian nama biasanya dilakukan karena dia ingin menyesuaikan dengan pendengarnya, dengan penontonnya.”
Dengan menggunakan nama yang lebih dikenal di masyarakat ini, para artis berharap bisa lebih banyak ‘menjaring’ masyarakat. Apalagi, pada kertas suara pemilu anggota DRP RI tidak terdapat foto, melainkan hanya nama para calon legislatif.
"Para artis memilih nama panggung ketimbang nama asli dalam pemilihan anggota legislatif tahun 2024 karena mereka terlihat sangat meyakini bahwa nama panggung mereka begitu populer dan neyakini bahwa popularitas berkorelasi dengan elektabilitas. Padahal dalam Pemilu yang liberalistik tidak selalu popularitas yang tinggi akan mendapatkan elektabilitas yang tinggi," kata pengamat politik, Ubedillah Badrun.
BACA JUGA:
"Sebab yang menentukan elektabilitas seseorang dalam pemilu adalah kerja-kerja politik langsung antara Caleg dengan konstituen yang bertemu intensif bertahun tahun untuk mendengarkan aspirasi konstituen atau rakyat banyak di daerah pemilihanya dan mereka saling mengikatkan diri untuk bersama sama dalam barisan politik yang sama. Jadi artis yg populer tetapi tidak menyapa dan tidak membersamai konstituen di dapilnya maka tidak akan mungkin rakyat akan memilihnya," kata Ubedillah lagi.
Meski demikian, penggantian nama yang dilakukan kebanyakan figur publik tidak selalu berimbas positif pada pertarungan di kancah politik. Tidak sedikit pula dari para artis yang gagal duduk di Senayan meski mengubah nama mereka saat Pemilu. Sebut saja Ian Kasela, vokalis band Radja yang gagal menang menjadi anggota DPR RI periode 2019-2024 dari PDIP.