Bagikan:

JAKARTA – Kurang dari dua bulan lagi Indonesia akan menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Menjelang pesta demokrasi lima tahunan tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menentukan masa kampanye dilakukan pada 28 November 2023 sampai 10 Februari 2024. Kampanye yang ramah lingkungan kini menjadi tantangan para kontestan yang bertarung tahun depan. 

Kampanye hampir selalu menjadi sorotan utama menjelang Pemilu, baik pemilihan presiden maupun calon legisatif. Pada periode inilah para kontestan sibuk berlomba-lomba menggaet suara pemilih dengan berbagai cara.

Tolak Caleg Pemaku Pohon Sejumlah aktivis melakukan aksi tolak pemasangan spanduk ataupun poster kampanye dengan memaku pohon di Solo, Jateng, Minggu (26/1/2018). (Antara/Akbar Nugroho Gumay)

Cara mereka menarik atensi pemilih juga beragam. Mulai dari safari keliling daerah, sampai memasang sejumlah alat peraga kampanye seperti spanduk, baliho, dan atribut lainnya. Sayangnya, di masa kampanye para kontestan ini lebih sering tak acuh dengan dampak yang diakibatkan oleh kegiatan tersebut.

Masa kampanye seringkali menimbulkan keresahan dari sebagian masyarakat. Alasannya adalah karena kampanye Pemilu kerap mengabaikan dampak terhadap lingkungan. Salah satunya adalah pendistribusian alat peraga kampanye secara masif di berbagai pelosok negeri, padahal ujung-ujungnya bisa berakhir di tempat sampah.

Merusak Estetika

Anggota Bawaslu DKI Jakarta, Puadi mengatakan, pemasangan alat peraga kampanye merupakan salah satu metode kampanye yang boleh dilakukan peserta kampanye, hanya saja pemasangan APK ini harus sesuai dengan tempat yang ditentukan oleh KPU setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah.

"Selain itu pemasangan APK juga dari sisi kontennya tidak boleh mengandung larangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 280 ayat (1)," ujar Puadi kepada VOI

Seperti yang kita ketahui, di masa kampanye para politisi melakukan distribusi besar-besaran bahan dan alat peraga kampanye, seperti spanduk, brosur, baliho, pamflet, dan lain-lain. Tapi mereka seringkali lupa bahwa bahan-bahan ini kebanyakan tidak ramah lingkungan.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa alat peraga kampanye berbahan plastik tidak mudah terurai. Belum lagi selebaran serta pamflet berbahan kertas yang dibuang sembarangan dapat menyebabkan pencemaran lingkungan, terutama di area perkotaan.  

Pertanyaan yang kemudian selalu muncul di setiap masa kampanye adalah mau dikemanakan alat peraga yang sudah tidak terpakai tersebut setelah periode kampanye usai. Karena, hampir pasti alat peraga kampanye itu berujung menjadi sampah lantaran tidak mungkin dipakai berulang untuk kampanye selanjutnya.

Petugas dari Panwaslu Kecamatan Situbondo bersama Satpol PP menertibkan APK/APS Caleg/Capres-Cawapres melanggar jelang masa kampanye Pemilu Serentak 2024. Sabtu (25/11/2023). (Antara/Novi Husdinariyanto)

Tak hanya berakhir di tempat sampah, alat peraga kampanye juga acapkali merusak keindahan lingkungan. Ini bisa dilihat dari banyaknya alat peraga kampanye yang dipasang tidak beraturan di pinggir jalan, serta dipasang dengan menempelkan di pohon-pohon.

Sejauh ini, KPU maupun Badan Pengawas Pemilu dinilai belum menindak tegas sejumlah pelanggaran yang terlihat secara kasat mata. Padahal pelanggaran terkait pemasangan alat peraga kampanye bisa dipidana. 

Seperti yang terjadi di Kota Bekasi pada hari pertama kampanye Pemilu 2024. Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran Data dan Informasi Bawaslu Kota Bekasi, Muhammad Sodikin mengatakan pihaknya telah menemukan sejumlah poster dan spanduk Caleg yang terpaku di pohon di sejumlah jalan protokol Kota Bekasi.

Sodikin mengaku pihaknya kerap mengimbau Parpol untuk tidak melanggar ketentuan pemasangan alat peraga kampanye. Namun ia menegaskan tidak bisa melakukan pencopotan karena yang boleh mencopot adalah Satpol PP.

“Nanti kami akan buat imbauan lagi,” kata Sodikin, dikutip Tempo.

Pemasangan alat peraga kampanye sudah diatur dalam UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu pada pasal 275 dan 280. Dalam atura tersebut dikatakan bahan kampanye tidak boleh dipasang di gedung atau fasilitas pemerintah, jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana publik, taman, dan pepohonan.

Tempat ibadah, rumah sakit atau tempat layanan kesehatan, serta gedung atau halaman sekolah/perguruan tinggi juga termasuk yang harus steril dari alat peraga kampanye. 

"Pemasangan alat peraga kampanye (APK) Pemilu yang kedapatan melanggar Perda 7/2014 tentang K3 bisa diberikan sanksi, berupa tindak pidana ringan (tipiring) dengan kurungan 3 bulan dan denda Rp50 juta," ujar pengamat hukum pidana, Masykur Isnan kepada VOI

Potensi Lonjakan Sampah

Masalah lain yang timbul dari masa kampanye adalah kemunculan sampah plastik yang dihasilkan dari acara-acara politik. Misalnya, diadakannya panggung hiburan yang dihadiri ribuan masyarakat. Dalam acara semacam ini seringkali, jika tidak boleh dibilang selalu, meninggalkan sampah dari pengunjung yang hadir.

Berdasarkan hasil laporan riset yang dilakukan Net Zero Waste Management Consortium dan Litbang Kompas, sampah di enam kota yaitu Medan, Samarinda, Makassar, Denpasar, Surabaya, dan DKI Jakarta didominasi oleh kemasan atau serpihan plastik yang sulit diolah, kurang bernilai ekonomi, dan mudah tercecer.

Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa serpihan sampah plastik berbagai merek merupakan jenis sampah terbanyak dengan total 59.300 buah. Urutan kedua ditempati plastik keresek sebanyak 43.597, dan disusul bungkus sebuah merek mie instan yang mencapai 37.548 buah. Sampah gelas plastik air minum dari sejumlah merek juga termasuk yang paling banyak ditemukan.

Salah satu cara untuk mengurangi dampak kampanye terhadap kerusakan lingkungan adalah dengan melakukan kampanye secara digital. Kampanye digital diyakini dapat menjangkau pemilih secara tepat dan lebih luar sehingga kampanye untuk mengenalkan calon juga dapat tersalurkan.

Apalagi, kampanye digital memiliki potensi menjangkau anak muda generasi Z dan milenial, yang merupakan jumlah pemilih terbanyak yakni mencapai 56,45 persen dari total 204,8 juta voters berdasarkan data KPU.

Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta menyita atribut berupa spanduk dan baliho partai politik yang tidak memiliki izin atau sudah habis masa pemasangan, Senin (24/7/2023). (Antara/HO-Satpol PP DKI Jakarta)

Kampanye digital dengan menggunakan media sosial pernah juga disinggung oleh Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim. Ia pernah menyarankan para politkus menggunakan media sosial sebagai sarana kampanye, ketika Mahkamah Konstitusi (MK) membolehkan kampanye politik di lembaga pendidikan.

Daripada mengganggu aktivitas belajar mengajar di sekolah, menurut Satriwan para Capres maupun calon legislatif bisa mencoba cara baru menggunakan medsos untuk menarik perhatian pemilih pemula.

“Untuk menarik suara gen Z tidak mesti kampanye di sekolah, karena ini cara yang konvensional. Gen Z sangat dekat dengan media sosial. Seharusnya ini menjadi challenge untuk para calon bagaimana menarik perhatian siswa. Seharusnya mereka bisa memanfaatkan medsos, seperti Live IG misalnya untuk berdialog sehingga tidak mengganggu proses belajar di sekolah,” kata Satriawan.

Dalam kampanye politik, seringkali hanya fokus bagaimana memenangkan hati masyarakat demi menduduki kursi nomor satu di Indonesia, tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan. Padahal prinsip keberlanjutan dan pelestarian alam sudah menjadi isu yang marak dibahas para pegiat lingkungan dalam beberapa tahun ke belakang.

Namun penting untuk diingat bahwa memelihara lingkungan bukan hanya tanggung jawab pemerintah maupun politisi, yang sibuk menampilkan citra terbaik mereka. Penting untuk diingat bahwa masyarakat juga memiliki peran memelihara lingkungan.