JAKARTA - Aisha Weddings jadi perbincangan massal di Twitter. Wedding organizer (WO) itu dikritik karena menawarkan paket pernikahan anak. Aisha Weddings jelas keblinger. Tapi iklan sesat itu sejatinya juga pengingat soal masalah pernikahan dini, termasuk anak, yang setelah kami buka data hari ini, jujur saja, sangat mengkhawatirkan.
Dalam iklan di situs web resmi, Aisha Weddings menawarkan paket pernikahan untuk calon pengantin di rentang usia 12-21 tahun. "Semua wanita Muslim ingin bertaqwa dan taat kepada Allah SWT dan suaminya. Untuk berkenan di mata Allah dan suami, Anda harus menikah pada usia 12-21 tahun dan tidak lebih," tertulis dalam iklan Aisha Weddings.
Publik marah. Iklan ini dianggap pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Undang-Undang 1/1974 Tentang Perkawinan, yang mengatur usia minimal pernikahan adalah 19 tahun, berlaku untuk laki-laki dan perempuan.
Dalam unggahan terbaru, dikutip Rabu siang, 10 Februari, akun Facebook Aisha Weddings menanggapi kemarahan publik dengan tulisan: Jangan menilai. Jika orang tua mau dan KUA mengeluarkan dispensasi nikah bagi anak, kenapa murka?"
Sore hari, situs web dan halaman media sosial Aisha Weddings sudah tak dapat diakses. Meski begitu VOI sempat mengumpulkan sejumlah informasi rujukan wedding organizer ini. Aisha Weddings berbasis di Kendari, Sulawesi Tengah. Hal itu terlihat dari sebuah foto yang beredar, menunjukkan banner Aisha Weddings yang dipasang di bawah banner Satgas COVID-19 Kota Kendari.
Senada dengan protes publik, Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi menyoroti iklan ini sebagai pelanggaran UU, termasuk UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Seto mendorong penegak hukum memproses pidana iklan ini.
"Itu terus terang sangat bertentangan dengan UU Perlindungan anak dan berbagai kampanye yang dilakukan pemerintah. Mohon itu bisa segera ditindak tegas oleh aparat karena ini rawan terhadap pelanggaran hak anak," kata Seto, dihubungi VOI, Rabu, 10 Februari.
Hak anak yang dimaksud, kata Seto adalah apa yang termaktub dalam UU 35/2014, bahwa "... ada salah satu pasal, siapapun yang melakukan hubungan badan dengan anak, itu adalah pidana."
UU 35/2014 ini adalah pijakan penting. Bahkan perubahan atas UU Perkawinan juga diselaraskan substansinya dengan UU itu. "Jadi makanya berbagai UU yang menyangkut perkawinan (anak) dinaikkan usianya. Jadi paling tidak jangan dilakukan pada usia anak."
Kegentingan pernikahan dini
Iklan Aisha Weddings yang mahasesat ini sejatinya juga pengingat bahwa kita adalah salah satu negara paling gagal melindungi anak dari pernikahan dini. Bahkan, pada 2018 Indonesia menempati peringkat dua dengan angka pernikahan anak paling tinggi di ASEAN.
Pernikahan anak masih jadi pelanggaran hak anak yang paling masif terjadi. Di tahun itu data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pernikahan perempuan berusia kurang dari 17 tahun mencapai angka persentase 4,8 persen.
Kemudian, angka pernikahan anak di bawah usia 16 tahun tercatat 0,6 persen. Dan itu adalah angka ketika usia angka minimal anak menikah belum diubah menjadi 19 tahun.
Jika merujuk data paling baru, pernikahan anak Indonesia makin mengkhawatirkan. Mengutip BBC, pada tahun 2020 peningkatan angka pernikahan anak melonjak drastis.
Data Januari hingga Juni 2020 menunjukkan 34 ribu permohonan dispensasi pernikahan dini --di bawah usia 19 tahun, dengan 97 persen di antaranya dikabulkan. Ini lonjakan serius, meningat pada 2019, permohonan dispensasi pernikahan dini tercatat di angka 23.700.
Ragam faktor melatarbelakangi pernikahan usia dini. Di antaranya adalah masih banyak masyarakat yang melihat pernikahan sebagai solusi persoalan ekonomi keluarga. Selain itu ada juga pengaruh norma agama dan budaya. Dan yang tak kalah pelik adalah minimnya edukasi terkait dampak pernikahan dini.
Seto Mulyadi menjelaskan dampak negatif dari pernikahan dini, khususnya bagi anak. Menurutnya, dampak negatif ini berpengaruh setidaknya pada dua aspek: fisik dan psikis. Secara fisik, anak di usia dini tentu belum memiliki kematangan untuk melakukan kegiatan seks, apalagi jika harus mengandung dan bereproduksi.
Secara psikis, anak-anak yang memasuki kehidupan pernikahan amat rentan dengan berbagai masalah. Anak-anak, dengan egonya yang belum matang kerap terjebak dalam situasi yang memaksa mereka mengambil opsi perceraian. Perkara ini berimplikasi pada masalah-masalah lain, seperti penelantaran anak hingga kekerasan.
"Artinya secara medis pun belum siap. Secara psikis juga belum, sehingga banyak yang mengarah perceraian. Ini kan (psikis) bukan hanya bagaimana menjalani kehidupan berkeluarga tapi juga unsur tanggung jawab, bagaimana membesarkan anak-anaknya," kata Seto.
"Dan yang jelas rawan penelantaran dan kekerasan ... Utamanya itu. Selama masih anak, itu secara psikolgois belum siap mental, belum mampu sharing, bekerja sama, saling membagi. Egonya masih terlalu kuat," tambah Seto.