Hari Pers Nasional 2021: Hubungan Pejabat dan Wartawan
Ilustrasi foto (Sumber: Istimewa)

Bagikan:

JAKARTA - Cerita ini terjadi beberapa waktu lalu. Tentang Juru Bicara Presiden Joko Widodo (Jokowi) Fadjroel Rachman yang tiba-tiba bilang rindu wartawan. Ungkapan Fadjroel direspons pahit warganet. Hubungan antara pejabat dan wartawan memang selalu menarik. Apalagi hari ini. Macam banyak kebingungan, terutama yang berkaitan dengan tanggung jawab publik dan kemerdekaan pers.

Yang menimpa Fadjroel barangkali bisa jadi gambaran sekaligus pembelajaran. Jadi, ungkapan rindu itu diunggah Fadjroel di akun Instagramnya, @fadjroelrachman, bersama sebuah foto yang menampakkan Fadjroel di tengah kerumunan wartawan.

Pada intinya Fadjroel mengaku merindukan masa-masa sebelum pandemi COVID-19, ketika dirinya dapat bercengkerama dengan para wartawan. Sayang, keterangan foto nan emosional itu justru memancing respons tak hangat. Kolom komentar unggahan Fadjroel itu diramaikan dengan banyaknya keberatan dan protes terhadap sikap Fadjroel sebagai Juru Bicara Jokowi.

"Lha WA aja gak pernah dibalas... Saya kira karena time difference kita 12 jam, eh tahunya yang di dalam negeri mengalami hal yang sama," tulis akun @mazrieva.

"Saya WhatsApp minta konfirmasi perwakilan istana gak dibales. Giliran hasil beritanya saya tag via Twitter malah diblock akun saya. Gombal ah!" akun @vannyelrahman.

Lainnya, akun @m.guruhnuary menulis: Bang, kalo mau basa-basi mboknya sesuai fakta. Be humble with journalist, giliran ma podcast om Deddy disambangin. Tp sama real wartawan malah didiemin.

Tak ada akun yang menyebut dirinya sebagai wartawan. Yang jelas, protes mereka bernarasi sama, bahwa Fadjroel tak cukup baik dalam hal membalas pesan, menjawab pertanyaan, atau berbagai hal lain soal keterbukaan informasi.

Hubungan pejabat dan wartawan

Mantan Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah memberi pandangan. Menurut Febri, lembaga negara secara institusi ataupun seluruh pejabatnya secara individu wajib memiliki kesadaran penuh bahwa mereka bekerja untuk publik. Maka pertanggungjawaban mereka adalah kepada publik, termasuk soal keterbukaan informasi.

"Karena apa yang dikerjakan itu menggunakan uang masyarakat, uang publik atau dengan dasar kewenangan yang diberikan oleh hukum," kata Febri, dihubungi VOI, Selasa, 9 Februari.

Dan posisi jurnalis dalam rantai perwujudan akuntabilitas ini, menurut Febri amatlah penting. Kegiatan pers yang ideal adalah yang terang. Maka, "... peran jurnalis di posisi tengah menjadi sangat penting. Jurnalis perannya bukan hanya meneruskan info dari pejabat publik tapi juga mengawasi apakah pejabat publik itu bekerja secara benar atau tidak."

"Ini bukan hanya sekadar soal bisa atau tidak bisa menjawab. Tapi lebih dari itu. Harusnya hubungan antara jurnalis dan pejabat publik dibaca sebagai saluran akuntabilitas. Itu poin utamanya."

Febri menambahkan, bagaimanapun, Hari Pers Nasional 2021 harus jadi momentum meningkatkan kesadaran itu. Soal hubungan pejabat negara dan publik, serta peran pers sebagai perantara. Jangan cuma gimik, kata Febri.

"Kita tuh kebanyakan gimik. Di hari pers bikin rilis, bikin poster begitu kan. Setiap hari besar bikin rilis, bikin poster. Padahal yang dilakukan secara substansi belum tentu seperti itu. Mestinya, memang, ya. Memang pernyataan seperti itu perlu. Tapi harus diikuti dengan implementasinya."

Kriminalisasi wartawan

Poin ini penting disoroti. Data Safenet menunjukkan tingginya angka kriminalisasi terhadap wartawan. Dan pihak yang melakukan kriminalisasi ini didominasi oleh pejabat publik, instansi, serta aparat keamanan.

Di luar irisan hukum bahwa kerja jurnalistik dilindungi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, fakta hubungan tak harmonis antara pejabat publik dan instansi serta aparat keamanan itu tak terelakkan. Memang, ini tak dapat dipukul rata.

Yang jelas, dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 Juncto UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), banyak pejabat negara berupaya memenjarakan banyak wartawan.

Secara luas Safenet mencatat 324 kasus hukum yang berkaitan dengan UU ITE sebagai instrumennya. Seluruh angka itu dicatat dalam kurun waktu 2016 hingga Oktober 2020. Data Safenet mencatat korban UU ITE sebagian besar adalah jurnalis. Selain itu, aktivis, warga, artis, hingga tenaga pendidikan juga jadi kelompok yang paling rentan.

Seluruh data ini dihimpun di periode 2008 hingga 2019. Dan bagian ini yang rasanya perlu digarisbawahi: pihak paling banyak memerkarakan orang lain dengan UU ITE adalah pejabat publik, instansi, dan aparat keamanan. Persentasenya mencapai 38 persen.

Secara spesifik, Pasal 27 jadi yang paling berbahaya. Pasal yang mengatur perkara pencemaran nama baik ini jadi alat yang paling banyak digunakan dalam memerkarakan seseorang dengan UU ITE. Setelah Pasal 27, pasal lain yang banyak digunakan adalah Pasal 28 yang mengatur perihal ujaran kebencian.

BERNAS lainnya