Polemik Sertifikat Tanah Elektronik: Belajarkah Kita dari Kasus e-KTP?
Penyerahan Sertifikat Tanah (dok. BPMI Setpres/Laily Rachev)

Bagikan:

JAKARTA - Kebijakan sertifikat tanah elektronik menjadi perbincangan setelah muncul kabar pemerintah akan menarik sertifikat asli dan menggantinya dengan versi digital 2 Februari lalu. Beragam kritik pun mengalir. Salah satunya soal program pencegahan korupsi. Pembuat kebijakan dirasa perlu belajar dari kasus yang sudah-sudah seperti skandal KTP Elektronik.

Bergulirnya isu sertifikat tanah elektronik dimulai dari persiapan situs sertifikasi pada 30 Januari lalu. Isunya semakin mencuat saat pemerintah tiba-tiba akan menarik sertifikat asli pada awal Februari. 

Hal itu sontak memicu reaksi publik. Menurut analisis Pakar media sosial dari Drone Emprit Ismail Fahmi lewat akun Twitternya, sentimen warganet terhadap isu ini sangat negatif. 

Data Drone Emprit mencatat dari sekitar 11.504 kata kunci sertifikat elektronik, 65 persennya bernada miring. Hanya 25 persen akun yang menyumbang sentimen positif dan sisanya netral.

Lebih lanjut, Ismail menjelaskan persepsi yang pertama kali muncul terkait isu tersebut didominasi oleh rasa takut. "Ditariknya sertifikat asli, diganti digital, itu mengerikan bagi publik," tulis Ismail.

Menurut analisis Ismail, ditengah anggapan pemerintah belum mampu menjaga data publik, tapi malah membuat kebijakan akan menarik sertifikat tanah dan mengganti dengan sertifikat elektronik. Apalagi tak sedikit pula yang menganggap praktik suap masih marak di lapangan. 

Belajar dari kasus E-KTP

Salah seorang yang menyoroti ihwal pencegahan praktik korupsi yakni Pegiat anti korupsi Febri Diansyah. Lewat akun Twitter pribadinya @febridiansyah mengatakan mengubah kertas menjadi elektronik itu bagus. Namun pembuat kebijakan juga perlu belajar dari kasus KTP Elektronik dalam hal pencegahan korupsi. 

"Belajar dari peristiwa kasus KTP Elektronik, baik dari aspek korupsi, pihak yang bisa akses data, kesiapan peralatan, kapasitas & integritas pegawai hingga validitas jauh lebih penting," tulis Febri.  

Untuk mencegah terjadinya korupsi khususnya pada kebijakan dengan anggaran gemuk, mantan Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini menekankan pentingnya asesmen risiko korupsi. "Agar pencegahan korupsi tidak terjebak slogan dan seremonial semata."

Dalam twitnya tersebut, Febri juga mengingatkan KPK untuk terus mengusut kasus korupsi KTP Elektronik. "Masih banyak nama politikus dan swasta yang perlu dibaca-baca lagi. Kasus ini sempurna melibatkan persekongkolan politikus-pebisnis dan birokrasi."

Asesmen risiko korupsi

Lebih lanjut Febri menjelaskan kepada VOI ihwal asesmen risiko korupsi. Menurutnya hal itu bisa dimulai dari mengidentifikasi wilayah-wilayah dan situasi yang rawan terjadi korupsi. 

"Ini bisa belajar dari kasus-kasus yang terjadi sebelumnya. Termasuk relasi dengan pihak eksternal," kata Febri. 

Konsep asesmen risiko korupsi ini harapannya memang menjadi perhatian kita semua. Tidak hanya di satu proyek tertentu saja, melainkan dijadikan kebijakan umum dalam pemerintahan.

"Terutama untuk proyek dengan nilai anggaran yang besar dan melibatkan kepentingan masyarakat secara luas," kata Febri. 

Menanggapi isu yang bergulir, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil menegaskan Kementerian ATR/BPN tidak akan menarik sertifikat tanah fisik yang masih dimiliki masyarakat. Menurut Sofyan, banyak masyarakat yang salah paham terkait pergantian sertifikat elektronik ini. 

"BPN tidak akan pernah menarik sertifikat. Kalau ada orang mengaku dari BPN ingin menarik sertifikat, jangan dilayani. Sertifikat yang ada tetap berlaku sampai nanti dialihkan dalam bentuk media elektronik," kata Sofyan dalam webinar yang diselenggarakan Kementerian ATR/BPN secara virtual, Kamis, 4 Februari.