KPK Didesak Selidiki Dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang Eks Sekretaris MA Nurhadi
Tersangka suap dan gratifikasi, eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi. (Dokumentasi: Humas KPK)

Bagikan:

JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Lokataru mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera mengembangkan dugaan tindak pencucian uang yang dilakukan oleh eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi yang kini ditahan KPK akibat dugaan gratifikasi.

Desakan ini muncul karena dari data yang mereka himpun, Nurhadi memiliki kekayaan yang tidak wajar atau tak sesuai jika dilihat dari penghasilan resmi seorang Sekretaris Mahkamah Agung.

Dalam data tersebut, setidaknya ditemukan beberapa aset yang diduga milik Nurhadi seperti tujuh aset tanah dan bangunan dengan nilai ratusan miliar rupiah; empat lahan usaha kelapa sawit; delapan badan hukum baik berbentuk PT ataupun UD; 12 mobil mewah; dan 12 jam tangan mewah.

Padahal, berdasarkan Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor 128/KMA/SK/VIII/2014 tentang Tunjangan Khusus Kinerja Pegawai Negeri di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya disebutkan jabatan Sekretaris Mahkamah Agung sebagai eselon 1 mendapat tunjangan khusus sebesar Rp32.865.000. Sementara gaji pokok pejabat eselon 1 sekitar Rp19 juta.

"Sehingga patut diduga harta kekayaan tersebut diperoleh dari hasil tindak kejahatan korupsi," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 22 Juli.

Dengan adanya fakta tersebut, Kurnia menegaskan KPK harusnya tidak hanya berhenti pada dugaan tindak pidana suap dan gratifikasi saja. Harusnya, sambung dia, lembaga antirasuah memulai penyelidikan untuk masuk dalam kemungkinan menjerat Nurhadi dengan tindak pencucian uang.

"Tidak hanya itu, KPK diharapkan juga dapat menyelidiki potensi pihak terdekat Nurhadi yang menerima manfaat atas kejahatan yang dilakukannya," tegas dia.

Sebagai instrumen hukum, lanjut Kurnia, KPK bisa menggunakan Pasal 5 UU TPPU dengan ancaman pidana penjara lima tahun dan denda sebesar Rp1 miliar. 

Pegiat antikorupsi ini mengatakan setidaknya ada beberapa keuntungan bagi KPK saat menindak pelaku kejahatan dengan pidana pencucian uang. Pertama, kata dia, penyelidikan dan penyidikan tidak akan diwarnai dengan resistensi maupun intervensi dari pihak tertentu. "Karena menggunakan metode follow the money," ujarnya.

Kedua, konsep pemidanaan ini dianggap sejalan dengan pemberian efek jera bagi pelaku kejahatan korupsi. Mengingat, korupsi sebagai financial crime tidak bisa hanya bergantung pada hukuman badan semata tapi harus mengarah pada pemiskinan pelaku kejahatan.

Ketiga, dengan diterapkannya tindak pidana pencucian uang maka akan memudahkan proses unjuk bukti bagi jaksa penuntut umum. "Sebab, Pasal 77 UU TPPU mengakomodir model pembalikan beban pembuktian. Sehingga Jaksa tidak sepenuhnya dibebani kewajiban pembuktian, melainkan berpindah pada terdakwa itu sendiri," katanya.

Diketahui, KPK saat ini tengah mengembangkan kasus dugaan suap dan gratifikasi yang menjerat Nurhadi pada dugaan tindak pidana pencucian uang dengan mengumpulkan data aset yang dimiliki eks Sekretaris MA tersebut.

Untuk mencari bukti yang menguatkan tindak pencucian uang tersebut, lembaga antirasuah ini bakal memanggil sejumlah sakit untuk dimintai konfirmasi soal aset yang ada. 

Hanya saja, karena belum memiliki bukti yang cukup untuk menjerat Nurhadi dalam kasus tindak pidana pencucian uang maka KPK masih berfokus pada pokok perkara Nurhadi yaitu dugaan suap dan gratifikasi.