Ponten Merah untuk KPK Era Firli Bahuri Cs
Gedung KPK (Muhammad Iqbal/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menjadi sorotan. Alasannya, lembaga antirasuah ini mendapatkan ponten merah dari Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia (TII) perihal kinerja mereka setelah dipimpin oleh Firli Bahuri, cs.

ICW dan TII mengeluarkan evaluasi terhadap kinerja pemberantasan korupsi dari Desember 2019 atau sejak lima Pimpinan KPK dilantik hingga bulan Juni ini. Hasilnya, KPK kini memasuki masa yang teramat suram menurut kedua lembaga ini. Namun, kesuraman ini bukan hadir begitu saja. 

Menurut peneliti ICW Kurnia Ramadhana, suramnya geliat pemberantasan korupsi oleh KPK terjadi karena proses pelemahan yang dilakukan oleh Presiden dan DPR sepanjang tahun 2019 yang lalu.

"Hasil dari segala upaya Presiden dan DPR pun perlahan-lahan mulai terlihat, KPK kini hanya menjadi institusi pemberantasan korupsi yang tak lagi dipercaya oleh masyarakat," kata Kurnia, Kamis, 25 Juni.

Pegiat antikorupsi ini menyoroti kepemimpinan lima Pimpinan KPK di periode 2019-2023. Kata dia, lembaga antirasuah dipimpin oleh lima orang yang kebijakannya kerap kali menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat dan membuat proses tata kelola organisasi bermasalah.

Dirinya juga menilai, kinerja KPK di era kepemimpinan Firli adalah yang paling bermasalah dibandingkan era-era sebelumnya. "Saya rasa belum pernah KPK sekacau ini masalahnya dan belum pernah juga kepercayaan publik jatuh," ungkapnya.

Kurnia memaparkan, dari segi penindakan, ICW dan TII menilai upaya penindakan yang dilakukan oleh KPK menurun drastis dan seringkali menimbulkan polemik di tengah masyarakat.

Katanya, di era kepemimpinan Firli Bahuri, KPK baru melakukan dua kali operasi tangkap tangan (OTT). Padahal ketika periode Agus Rahardjo cs, setelah enam bulan dilantik, ada enam operasi senyap yang dilakukan. 

"Apakah ini cukup mengejutkan bagi publik? Tidak sebenarnya, karena sejak awal lima orang yang sedang duduk sebagai Pimpinan KPK ini adalah lima orang yang tidak pernah bicara lebih jauh soal penindakan. Bahkan, lima orang ini adalah lima orang yang setuju dengan revisi UU KPK," jelas Kurnia.

Selain itu, KPK di periode saat ini tercatat menghasilkan banyak buronan. Dia mengatakan, ada beberapa buronan KPK yang dicatatnya. Hanya saja, dua diantaranya, yaitu eks Sekretaris MA Nurhadi dan Menantunya Riezky Herbiyono telah ditangkap. 

Sehingga buronan yang tersisa adalah Harun Masiku, Hiendra Soenjoto, Samin Tan, dan pasangan suami istri, Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim. Namun, Kurnia menilai, KPK kini kurang menginformasikan kembali mengenai perkembangan pencarian para buronan tersebut.

"Maka dari itu penting ke depan untuk mengingatkan baik itu Komisioner KPK, ataupun mungkin Juru Bicara KPK Pak Ali Fikri untuk mengupdate bagaimana sekarang perkembangan pencarian Harun Masiku ini kan yang masih menjadi persoalan," ujarnya

Kurnia juga menilai, KPK era Firli cenderung tak melakukan pengusutan terhadap kasus besar. Hal ini terbukti dengan tidak adanya perkembangan yang signifikan dari kasus yang membuat negara rugi besar seperti kasus korupsi proyek KTP elektronik, dugaan kasus korupsi BLBI, hingga dugaan korupsi Bank Century.

Dari segi pencegahan, Kurnia menilai fungsi ini belum dijalankan secara optimal. Hal ini terbukti dengan minimnya koordinasi dan supervisi dengan aparat penegak hukum dan pemerintah daerah, ketiadaan strategi baru dalam pencegahan kerugian keuangan negara, stagnasi program pencegahan korupsi di sektor strategis, dan strategi nasional pencegahan korupsi belum efektif. 

Selanjutnya, dia menyoroti masalah kebijakan internal KPK. Ada beberapa permasalahan yang disinggungnya yaitu kebijakan internal yang dinilai berdasarkan subjektivitas, tertutupnya akses publik mengenai perkembangan perkara, terkait penghentian perkara, hingga banyaknya gimik-gimik politik yang dilakukan Firli Bahuri.

"Tentu ini menunjukkan minimnya pengetahuan dari Pimpinan KPK untuk menciptakan tata kelola organisasi yang baik," tegasnya.

Atas segala permasalahan tersebut, ICW dan TII meminta KPK untuk membenahi sektor penindakan dengan memastikan adanya objektivitas dan independensi saat mengusut sebuah perkara. Apalagi, penindakan menjadi salah satu instrumen utama untuk memberikan efek jera pada pelaku kejahatan korupsi.

Kurnia mengatakan, KPK juga diminta mengintegrasikan antara penindakan dan pencegahan serta mencari formula yang tepat.

"Pada bagian tata kelola organisasi, sebaiknya Pimpinan KPK untuk meminimalisir gimik politis dan mengedepankan nilai transparansi dan akuntabilitas dalam mengeluarkan sebuah kebijakan," ujarnya.

KPK bantah penindakan menurun

Plt Juru Bicara KPK bidang penindakan Ali Fikri akan mempelajari lebih lanjut soal evaluasi dari ICW dan TII. Pada dasarnya mereka menghargai kajian itu. Bahkan, dia mengatakan, KPK siap mengundang dua lembaga ini untuk memberikan pemaparan secara langsung.

"Kalau perlu, jika dibutuhkan, TII dan ICW kami undang untuk paparan di KPK. Kalau ada data yang keliru bisa dikoreksi," kata Ali dalam keterangan tertulisnya.

Dia menjelaskan, pada sektor penindakan, lembaga antirasuah telah menerbitkan 30 surat perintah penyidikan dengan 36 tersangka.

Rinciannya adalah penyidikan dalam kasus operasi tangkap tangan (OTT) yang menyeret Komisioner KPU dan sejumlah orang lainnya, OTT Bupati Sidoarjo, pengembangan suap terhadap anggota DPRD Sumatera Utara, dan pengembangan suap ke anggota DPRD Muara Enim. Selanjutnya ada pengembangan kasus proyek pengadaan jalan di Bengkali dan dugaan tindak pidana korupsi di PT Dirgantara Indonesia.

"Kemudian, kasus dengan kerugian keuangan negara ratusan miliar. Pertama, kasus Bengkalis dengan nilai proyek Rp 2,5 triliun ditemukan dugaan kerugian keuangan negara Rp 475 miliar. Kedua, kasus PT DI dugaan kerugian negara sebesar Rp 205,3 miliar dan USD 8,65 juta," ungkapnya.

Selama enam bulan terakhir, kata Ali, KPK telah menahan 27 tersangka termasuk Nurhadi dan Riezky Herbiyono. Selain itu, KPK telah menyetorkan hasil denda dan pidana uang pengganti ke kas negara sebesar Rp63.068.521.381.

Pencegahan terus berjalan

Dalam bidang pencegahan, Ali mengatakan, KPK telah melakukan kegiatan untuk menekan terjadinya tindak korupsi di sektor strategis. Salah satunya adalah pengawasan penanganan pandemi COVID-19.

Dia menjelaskan, ada beberapa program yang sudah dilakukan KPK untuk melakukan pengawasan penanganan pandemi ini seperti melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait hingga ke Gugus Tugas tingkat pusat dan daerah, memberi rekomendasi terkait pengadaan barang dan jasa, hingga mengawal penyaluran bantuan sosial.

Sedangkan untuk kegiatan koordinasi supervisi pencegahan, KPK telah melakukannya dengan Kejaksaan RI dalam upaya penyelamatan dan pemulihan aset. Selain itu, KPK juga terus mendorong kementerian/lembaga hingga pemerintahan agar terus meningkatkan kepatuhan melaporkan LHKPN.

Kemudian, KPK melakukan kajian dan memberikan rekomendasi untuk memperbaiki pengelolaan program pemerintah seperti Kartu Prakerja dan BPJS Kesehatan. Tak hanya itu, KPK juga mendorong penyelenggara negara patuh melaporkan penerimaan gratifikasi.

"Pada periode 1 Januari-25 Januari KPK telah menyetorkan ke kas negara penerimaan gratifikasi atas 379 SK laporan gratifikasi yang ditetapkan sebagai milik negara dari total 665 SK yang telah diterbitkan. Berupa uang senilai Rp 882.920.667, USD 7.587,44, SGD 951,77, 5.140 yen, dan barang senilai Rp 65.639.340," pungkasnya.