Bagikan:

JAKARTA - Para peneliti telah menyelesaikan peta online yang komprehensif dari terumbu karang dunia, dengan menggunakan lebih dari 2 juta citra satelit dari seluruh dunia.

Allen Coral Atlas, demikian peta ini dinamai setelah salah satu pendiri Microsoft Paul Allen, akan bertindak sebagai referensi untuk konservasi terumbu karang, perencanaan kelautan, dan ilmu karang saat para peneliti mencoba menyelamatkan ekosistem rapuh yang hilang akibat perubahan iklim.

Kelompok tersebut mengumumkan penyelesaian atlas pada Hari Rabu 8 September, mengatakan ini adalah peta global pertama dengan resolusi tinggi dari jenisnya. Ini memberi pengguna kemampuan untuk melihat informasi rinci tentang terumbu lokal, termasuk berbagai jenis struktur bawah laut seperti pasir, batu, lamun dan, tentu saja, karang.

Peta, yang mencakup area hingga kedalaman 50 kaki (15 meter), digunakan untuk menginformasikan keputusan kebijakan tentang kawasan lindung laut, perencanaan tata ruang untuk infrastruktur seperti dermaga dan tembok laut dan proyek restorasi karang yang akan datang.

"Kontribusi terbesar kami dalam pencapaian ini adalah, kami memiliki pemetaan yang seragam dari seluruh bioma terumbu karang," kata Greg Asner, direktur pelaksana Atlas dan direktur Pusat Penemuan dan Konservasi Global Universitas Negeri Arizona, mengutip Korea Times 9 September.

terumbu karang
Ilustrasi terumbu karang. (Wikimedia Commons/Ritiks)

Asner mengatakan, mereka mengandalkan jaringan ratusan kontributor lapangan yang memberi informasi lokal tentang terumbu karang, sehingga mereka dapat memprogram satelit dan perangkat lunak mereka untuk fokus pada area yang tepat.

"Dan itu memungkinkan kami membawa ke tingkat di mana keputusan dapat dibuat pada skala yang lebih besar, karena sejauh ini keputusan telah dilokalisasi," tukas Asner.

"Jika Anda tidak tahu apa yang Anda miliki secara lebih seragam, bagaimana PBB akan memainkan peran nyata? Bagaimana pemerintah yang memiliki kepulauan dengan 500 pulau membuat keputusan yang seragam?," sambungnya.

Selain itu, atlas tersebut juga mencakup monitor pemutihan karang untuk memeriksa karang yang tertekan akibat pemanasan global dan faktor lainnya.

Asner mengatakan sekitar tiga perempat terumbu karang dunia sebelumnya belum pernah dipetakan secara mendalam seperti ini, dan banyak yang belum pernah dipetakan sama sekali.

Proyek ini dimulai pada tahun 2017 ketika perusahaan Allen, Vulcan, bekerja dengan Ruth Gates, seorang peneliti Hawaii yang idenya menciptakan "karang super" untuk restorasi terumbu didanai oleh yayasan filantropi.

Gates dan Vulcan membawa Asner karena pekerjaannya dengan Observatorium Lintas Udara Global yang telah memetakan terumbu karang di Hawaii pada saat itu.

terumbu karang
Ilustrasi ikan di terumbu karang. (Wikimedia Commons/Uxbona)

Allen, yang mengatakan ingin membantu menyelamatkan terumbu karang dunia, menyukai gagasan menggunakan teknologi untuk memvisualisasikan data. Jadi, Gates menghubungkan grup tersebut dengan perusahaan satelit bernama Planet, dengan Allen mendanai proyek tersebut sekitar 9 juta dolar AS.

University of Queensland di Australia menggunakan teknologi kecerdasan buatan dan data referensi lokal untuk menghasilkan lapisan pada atlas. Siapapun dapat melihat peta secara online gratis.

Baik Allen dan Gates meninggal pada tahun 2018, meninggalkan Asner dan yang lainnya untuk melanjutkan pekerjaan mereka.

"Ruth akan sangat senang, bukan? Dia hanya akan geli bahwa ini benar-benar terjadi," sambungnya.

Seiring proyek peta ini, Asner sering mendapatkan panggilan telepon dari para peneliti yang berharap menggunakan peta, untuk memastikan bahwa perencanaan dan pekerjaan restorasi terumbu mereka akan mencapai hasil maksimal.''

Ketika Gates mengetahui penyakit yang dideritanya, dia memilih teman dan kolega Helen Fox dari National Geographic Society untuk membantu berkomunikasi dengan kelompok konservasi tentang cara menggunakan alat tersebut.

"Ini benar-benar upaya global. Ada upaya besar dalam hal penjangkauan dan membantu orang menyadari alat dan nilai ilmiah dan konservasi potensial," ujar Fox yang sekarang menjadi direktur ilmu konservasi untuk Coral Reef Alliance.