Menggugat Aturan Membingungkan <i>Rapid Test</i> sebagai Syarat Bepergian ke Luar Kota
Ilustrasi foto (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Kebijakan pemerintah terkait pembatasan sosial dalam penanganan COVID-19 dinilai membingungkan. Terutama aturan bepergian ke luar kota dalam masa pembatasan sosial.

Kebijakan Kementerian Kesehatan, setiap orang yang ingin melakukan perjalanan cukup menggunakan alat pelindung diri (APD) dan jaga jarak fisik. Namun, gugus tugas penanganan COVID-19 mewajibkan masyarakat yang menggunakan pesawat, kereta api dan kapal laut melakukan rapid tes.

Singgih Tomi Gumilang, salah satu pemohon uji materi Pasal 55 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan mempertanyakan kewajiban rapid tes. Sebab, rapid tes hanya sebagai indikator daya tahan tubuh, bukan jaminan orang tidak terjangkit COVID-19.

"Rapid tes bukan vaksin, hanya mengetahui seseorang ini terserang virus COVID-19 atau tidak. Bisa jadi, orang dengan hasil reaktif karena sakit influenza atau yang lain-lain, bukan pasti terkena COVID-19," kata Singgih yang juga berprofesi sebagai lawyer, dalam keterangan pers, Kamis, 25 Juni.

Kemudian, mengenai masa tes yang berlaku selama tiga hari. Singgih mempertanyakan, apakah ada jaminan jika di hari kedua setelah pemeriksaan seseorang tidak tertular?

Dengan demikian, muncul dugaan jika syarat pemeriksaan rapid tes kepada pihak-pihak yang akan berpergian ke luar lota hanya menguntungkan rumah sakit sebagai penyedia jasa pemeriksaan. Sebab, tak dipungkiri, dalam satu hari saja, masyarakat yang mengajukan rapid tes untuk syarat ke luar kota jumlahnya mencapai puluhan ribu orang.

Selanjutnya, perihal ketidakadilan penerapan kebijakan itu. Mereka yang diwajibkan melakukan rapid tes hanya penumpang di tiga moda transportasi. Sedangkan, orang yang bepergian menggunakan mobil pribadi dan bus ke luar kota tidak diwajibkan.

Padahal, potensi penularan juga sama besarnya. Apalagi, mereka yang bekerja sebagai sopir truk pembawa barang. Tentunya, risiko akan semakin besar karena selalu berpergian dari kota ke kota.

Kemudian, soal dugaan permainan hasil rapid tes. Di beberapa stasiun atau bandara, semua calon penumpang harus diukur suhu tubuhnya dengan menggunakan termogun. Jika menunjukkan angka 38 derajat celcius, maka calon penumpang tidak boleh melanjutkan perjalan, meski memiliki surat bebas COVID-19 berdasarkan hasil rapid tes.

"Patut diduga ada kerja sama antara termohon dengan pihak rumah sakit dalam pelaksaan kewajiban rapid tes," kata Singgih.

Sorotan lain adalah mengenai biaya rapid test yang tak ditanggung pemerintah. Masyarakat secara mandiri harus membayar tagihan pemeriksaan sebagai syarat dilakukannya rapid tes. Hal ini dinilai memberatkan calon penumpang. Dalam pada moda transportasi kapal laut, terutama, di mana kebanyakan digunakan oleh para calon penumpang dengan ekonomi menengah ke bawah. 

Bukan hanya harga yang cukup mahal. Hasil pemeriksaan rapid tes juga tak bisa langsung diketahui saat itu juga. Butuh waktu delapan jam hingga akhirnya mengetahui apakah calon penumpang reaktif atau tidak. Hal itu juga akan memberatkan para calon penumpang yang terburu-buru untuk ke sesuatu tempat.

"Tes hasilnya tidak bisa langsung dibawa oleh calon penumpang. Bila sampel darah diambil jam 10.00 WIB pagi, jam 18.00 WIB sore hasilnya baru keluar. Dan waktu yang lama ini tentu merugikan calon penumpang yang hendak pergi mendadak ke luar kota," kata Singgih.