JAKARTA - Presiden Joko Widodo mengingatkan masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan dalam kehidupan sehari-hari guna mencegah penyebaran COVID-19. Peringatan ini dilakukannya ketika masyarakat mulai abai dengan penyebaran virus ini.
Dalam sebuah konferensi pers, Presiden Joko Widodo mengatakan ancaman virus COVID-19 di Indonesia belum berakhir. Sebab, penambahan kasus baru COVID-19 masih terus terjadi di Indonesia dan belum menunjukkan penurunan. Bahkan, dia mengatakan, kasus positif terus meningkat di sejumlah provinsi, tanpa menyebut nama provinsi tersebut.
"Beberapa hari terakhir ini penambahan kasus positif COVID masih meningkat di beberapa daerah dan satu, dua, tiga provinsi masih tinggi angka positifnya," kata Jokowi, Rabu, 24 Juni.
"Karenanya, masyarakatlah yang berperan besar dalam menekan jumlah kasus dan mencegah penyebaran COVID," tegas dia.
Sehingga, mantan Gubernur DKI Jakarta ini meminta masyarakat terus disiplin menjalankan protokol kesehatan serta anjuran dari pemerintah seperti menjaga jarak, menggunakan masker, menghindari kerumunan, dan juga rajin mencuci tangan.
Dia juga meminta masyarakat saling mengingatkan satu sama lainnya untuk tetap berdisiplin menjalankan protokol kesehatan di tengah pandemi COVID-19. Sehingga penularan virus ini bisa segera terkendali.
Jokowi boleh saja mengingatkan masyarakat untuk patuh terhadap protokol kesehatan. Tapi nyatanya, saat ini sudah banyak masyarakat yang mulai abai dengan protokol kesehatan ini.
Hal ini bisa dilihat bagaimana penuhnya Hari Bebas Kendaraan Bermotor atau car free day pada Minggu, 21 Juni di Kawasan Jalan Sudirman-Thamrin. Ketika itu, masyarakat seakan lupa bagaimana protokol kesehatan untuk menjaga jarak dan tidak berkerumun.
Dalam lingkungan terdekat saja, juga demikian. Banyak yang mulai lupa menggunakan masker saat berpergian, lupa menjaga jarak saat mengantri di minimarket, atau melupakan protokol kesehatan lainnya.
BACA JUGA:
Lalu mengapa masyarakat kini tampak tak patuh dengan imbauan pemerintah tersebut? Sosiolog UIN Tantan Hermansyah mengatakan ketidakpatuhan ini bisa saja terjadi karena ulah pemerintah sendiri.
"Ketidakpatuhan itu hadir meluruhkan kepercayaan dari rakyat kepada pemerintah. Mengapa tidak percaya? Karena pemerintahnya sendiri yang membangun ketidakpercayaan itu," kata Tantan saat dihubungi VOI, Kamis, 25 Juni.
Tantan menyoroti pernyataan Jokowi yang meminta masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan. Menurut dia, ada beberapa hal yang bisa dibaca dari pernyataan itu.
"Pertama, pernyataan ini menunjukkan bahwa negara, dalam hal ini pemerintah sudah kewalahan menghadapi masalah pandemi COVID-19," ungkapnya.
Sebab, meski telah menerapkan berbagai skenario seperti pembatasan sosial berskala besar (PSBB), kampanye masif social distancing, adanya pusat informasi terpadu, dan berbagai hal lainnya dalam upaya memutus penyebaran COVID-19, tapi nyatanya, tak berdampak signifikan.
Kedua, dia menilai, pernyataan Jokowi itu bisa saja muncul karena dia melihat perilaku masyarakat yang tak mengikuti protokol kesehatan. Akibatnya, penyebaran virus ini terus terjadi. "Sehingga dalam hal ini pemerintah meminta peran serta masyarakat," tegasnya.
Terakhir, kata Jokowi, pernyataan agar masyarakat berperan serta melawan COVID-19 bisa saja ditujukan bagi para akademisi hingga tokoh masyarakat untuk membantu pemerintah.
Menurut Tantan, jika asumsinya yang terakhir benar, maka ini akan menjadi auto kritik bagi pemerintah. "Sebab banyak program yang ditujukan alih-alih menunjukkan kekuatan, yang ada justru tidak sinergis," ujarnya.
"Bahkan, sebagian kalangan menilai bahwa pemerintah saat ini malah bekerja sendiri-sendiri," imbuhnya.
Sebelumnya, Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 mengumumkan penambahan jumlah kasus COVID-19 di Indonesia per Rabu, 24 Juni, mencapai 1.113 pasien. Sehingga total kasus positif COVID-19 di Indonesia secara akumulasi berjumlah 49.009 orang.
Kemudian, pasien meninggal hari ini bertambah 38 orang, sehingga menjadi 2.573 pasien. Ada penambahan sebanyak 417 pasien sembuh, sehingga total menjadi 19.658 pasien.
Adapun angka kasus baru terbanyak pada hari ini, berada di Provinsi Jawa Timur dengan 183 kasus, sehingga totalnya mencapai 10.298 orang. Lalu, provinsi terbanyak kedua berada di DKI Jakarta dengan kenaikan 158 kasus dan total menjadi 10.404 kasus. Meski begitu, jumlah akumulasi kasus COVID-19 di DKI masih menjadi yang tertinggi.
Selanjutnya, Sulawesi Selatan dengan kenaikan 132 kasus dan total 4.062 kasus, Maluku Utara dengan kenaikan 95 kasus dan total 465, serta Kalimantan Selatan dengan kenaikan 90 kasus dan total 2.685 kasus.
Juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19 Achmad Yurianto mengatakan, penambahan ini tinggi terjadi karena masih ada sumber penularan di tengah masyarakat.
"Adanya kasus positif yang tidak memiliki gejala signifikan yang membuat merasa aman dan sehat, ini yang tidak disadari dan masih dan kelompok rentan yang tidak mematuhi protokol kesehatan," ungkap Yuri dalam konferensi pers yang ditayangkan di akun YouTube BNPB.
Selain itu, penambahan ini terjadi karena peningkatan pelaksanaan pengujian spesimen. Dia menerangkan, jumlah spesimen yang diperiksa pada hari ini mencapai 21.233. Sehingga secara akumulatif sudah ada 689.492 spesimen yang diperiksa dengan metode polymerase chain reaction (PCR) maupun berbasis tes cepat molekuler (TCM).