Bagikan:

JAKARTA - Menteri pertahanan Jerman pada Senin waktu setempat, menolak seruan agar tentaranya kembali ke Afghanistan, setelah gerilyawan Taliban merebut Kota Kunduz.

Bukan tanpa alasan jika Jerman diminta untuk kembali ke kota tersebut. Sebab, selama satu dekade di Afghanistan, militer Jerman ditempatkan di kota tersebut.

Di Kunduz pula, Jerman yang memiliki kontingen militer terbesar kedua di Afghanistan setelah Amerika Serikat, kehilangan banyak prajuritnya dalam pertempuran, lebih besar dari lokasi tugas di mana pun, sejak berakhirnya Peran Dunia Kedua.

Militan Taliban menyerbu tiga ibu kota provinsi, termasuk Kunduz, memukul pasukan militer Afghanistan pada akhir pekan, seiring dengan peningkatan kampanye militer seiring dengan penarikan pasukan koalisi internasional pimpinan Amerika Serikat yang akan selesai pada September mendatang.

"Laporan dari Kunduz dan dari seluruh Afghanistan sangat pahit dan menyakitkan," kata Menteri Pertahanan Annegret Kramp-Karrenbauer di Twitter, mengutip Reuters Senin 9 Agustus.

"Apakah masyarakat dan parlemen siap untuk mengirim angkatan bersenjata ke dalam perang dan tetap di sana dengan banyak pasukan setidaknya selama satu generasi? Jika tidak, maka penarikan bersama dengan para mitra tetap merupakan keputusan yang tepat," sambungnya.

Beberapa pihak di Partai Konservatif yang mendukungnya, menginginkan militer Jerman tetap berpartisiasi dalam intervensi melawan Taliban. Tetapi, Kramp-Karrenbauer mengatakan butuh perjuangan yang panjang dan tidak mudah untuk mengalahkan Taliban.

Sejak Amerika Serikat mengumumkan rencana penarikan pasukan koalisi internasional pada Bulan April lalu, yang rencananya akan diselesaikan pada September mendatang, kekerasan bersenjata oleh Taliban meningkat, diikuti dengan perebutan sejumlah kota-kota strategis.

Menteri Kramp-Karrenbauer menyalahkan mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, karena merusak operasi Afghanistan, meskipun penggantinya Presiden Joe Biden yang menerapkan kebijakan penarikan.

"Kesepakatan malang antara Trump dengan Taliban adalah awal dari akhir," tukasnya tentang kesepakatan yang dibuat Donald Trump dengan militan Taliban pada tahun 2020 lalu.