Bagikan:

JAKARTA - Penambahan kasus positif COVID-19 di Indonesia mencapai angka 1.000 selama dua hari berturut-turut. Ada sejumlah dugaan yang membuat angka tersebut muncul.

Pakar Epidemologi Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan, ada dua kemungkinan yang menjadi penyebab melonjaknya kasus positif selama dua hari berturut-turut. Pertama, disebabkan adanya arus balik usai Hari Raya Idulfitri. Kedua, munculnya kebijakan kenormalan baru.

Kebijakan kenormalan baru berdampak pada menggeliatnya aktivitas masyarakat. Kebijakan ini membuat sebagian masyarakat mulai bekerja lagi di kantor dan meninggalkan pola work from home.

"Kemungkinan (data positif meningkat) akibat pulang mudik juga bisa, akibat isu new normal juga bisa," kata Yunis dihubungi, Kamis, 11 Juni.

Selain dua faktor itu, Yunis mengatakan, meningkatnya data pasien positif dikarenakan terjadi penumpukan pemeriksaan spesimen di laboratorium. Sebab, pada Hari Raya Idulfitri, petugas laboratorium diliburkan selama dua hari.

Yunis berkata, sebenarnya peningkatan data ini sudah terjadi beberapa hari lalu. Sebab, pemeriksaan spesimen itu membutuhkan waktu 3-7 hari. Akibat antrian inilah, seolah-olah data jumlah positif yang meningkat baru terjadi selama dua hari belakangan.

"Jadi, (data) ini adalah hasil lab yang diambil empat hari yang lalu. Hasil lab ini dieksposnya kan (dari data) 3 sampai 7 hari yang lalu. Jadi (data 2 hari) ini kejadian 7 sampai 14 hari yang lalu," ungkap Yunis.

Kritik untuk pemerintah

Sejumlah kebijakan pemerintah dalam penanganan virus ini, mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga fase kenormalan baru, dianggap tidak bisa menekan laju penyebaran virus tersebut. 

Analisis Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah menilai, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat tidak semua daerah sanggup menjalankannya. Sehingga, penerapan kebijakan dari pusat tersebut lemah pengawasan dan berdampak pada tingginya angka penyebaran virus tersebut. 

"Memang pemerintah pusat selalu mengeluarkan kebijakan yang banyak tidak cocok untuk beberapa daerah. Dampaknya menjadi semakin besar karena ketidakcocokan dalam penerapannya," ucap Trubus kepada VOI, Kamis, 11 Juni.

Trubus menyarankan pemerintah pusat tak lagi mengeluarkan kebijakan baru dalam menghadapi pagebluk COVID-19. Baginya, akan lebih efektif ketika pemerintah daerah diberi kesempatan mengeluarkan kebijakan di daerah masing-masing untuk menghadapi pagebluk ini.

"Mungkin membiarkan para kepala daerah untuk membuat dan menerapkan kebijakan masing-masing yang dianggap cocok dan efektif untuk menghadapi masa pandemi," kata Trubus sambil menambahkan pemerintah pusat bisa jadi pengawasnya.

"Pemerintah pusat juga bisa jadi pihak yang meneggahi jika ada aturan yang mungkin bersinggungan dengan daerah atau wilayah lain," ungkap Trubus.

Misalnya, soal aturan keluar masuk ke suatu daerah. Pemerintah pusat bisa mencari jalan tengah ketika ada perbedaan aturan tentang hal ini antara satu daerah dengan yang lain.

"Pemerintah pusat bisa menjadi penengah dari aturan yang berbeda. Tetapi tetap melibatkan kepala daerah ketika mencari solusi," tegas Trubus.