Bagikan:

JAKARTA - Grup farmasi Jerman BioNTech, yang mengembangkan vaksinn virus corona pertama dengan perusahaan Amerika Serikat Pfizer, tengah menyiapkan pelaksanaan uji klinis untuk vaksin malaria yang aman dan efektif pada akhir tahun depan.

Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), diperkirakan ada 229 juta kasus malaria secara global pada 2019, dengan sekitar 409.000 kematian pada tahun itu.

Dari data tersebut, WHO memperkirakan anak balita menyumbang sekitar 67 persen kematian akibat malaria pada 2019 untuk kategori umur. Sementara untuk kategori sebaran wilayah, 94 persen kasus dan kematian akibat malaria berada di Afrika.

"Kami sudah bekerja pada HIV dan TBC, dan malaria adalah indikasi besar ketiga (penyakit) dengan kebutuhan medis yang tinggi yang belum terpenuhi," terang Kepala Eksekutif Biotech Ugur Sahin mengutip Sky News Selasa 27 Juli.

nyamuk malaria
Ilustrasi malaria nyamuk anopheles albimanus penyebab malaria. (Wikimedia Commons/James Gathany)

"Ini memiliki jumlah orang yang terinfeksi yang luar biasa tinggi setiap tahun, jumlah pasien yang meninggal, penyakit yang sangat parah dan kematian yang tinggi pada anak kecil," papar Sahin.

Namun Sahin mengakui proyek tersebut masih dalam tahap awal dan tidak ada jaminan keberhasilan. Kendati demikian, ia mengungkapkan keyakinan perusahaannya.

Sahin mengatakan, perusahaannya percaya ini adalah 'waktu yang tepat untuk mengatasi tantangan ini', karena wawasan yang diperoleh dari pengembangan vaksin mRNA untuk melawan COVID-19.

Untuk diketahui, malaria adalah infeksi parasit yang ditularkan kepada korban melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi, yang tidak dikenali oleh sistem kekebalan tubuh. Nantinya menurut Sahin, vaksin yang dikembangkan bertujuan untuk membuat parasit terlihat dan dapat diserang.

BioNTech sendiri tengah berencana untuk menjalankan tes vaksin tuberkulosis pada tahun 2020, serta sembilan vaksin lainnya terhadap sembilan penyakit menular yang berbeda.

Saat ini hanya ada satu vaksin malaria, Mosquirix, yang membutuhkan waktu beberapa tahun untuk dikembangkan oleh GlaxoSmithKline. Meski demikian, efektivitas vaksin ini baru mencapai 39 persen.

"Genom Plasmodium, parasit yang menyebabkan malaria, lebih kompleks daripada virus," kata Prakash Srinivasan, asisten profesor di Sekolah Kesehatan Masyarakat Johns Hopkins Bloomberg.

Terpisah, para peneliti di Institut Jenner Oxford juga mengembangkan vaksin malaria baru yang potensial yang telah menunjukkan harapan dalam uji coba selama setahun.