JAKARTA - Keputusan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak melanjutkan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan pimpinan komisi antirasuah saat pelaksanaan Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) ke sidang etik dipertanyakan.
Perwakilan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tak lolos TWK, Rika Anung Nata bahkan menganggap keputusan tersebut mengada-ada. Apalagi, Dewan Pengawas KPK berdalih tidak ditemukan bukti yang cukup untuk terus mengusut dugaan pelanggaran etik tersebut.
"Tidak cukup bukti adalah alasan yang sangat mengada-ada. Sebab, Dewan Pengawas memiliki wewenang penuh untuk mencari bukti, dari data awalan yang kami sampaikan saat pengaduan," kata Rizka Anung dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Jumat, 23 Juli.
Dia juga menyinggung hasil pemeriksaan Dewan Pengawas KPK yang berbeda dengan hasil pemeriksaan Ombudsman RI yang sudah disampaikan ke publik pada Rabu, 22 Juli kemarin. Padahal, data dan bukti yang diajukan oleh pihaknya tidak ada yang berbeda.
Rizka Anung menduga, perbedaan bisa terjadi karena Ombudsman RI lebih memiliki niat dan kemauan mengungkap pelanggaran yang terjadi dalam proses alih status pegawai KPK. Ini berbeda dengan sikap dewan pengawas yang lebih pasif.
"Dewan Pengawas sangat bersifat pasif tidak berusaha menggali informasi lebih dalam, bahkan dalam melakukan pemeriksaan pelapor kami merasakah Dewas lebih terlihat sebagai pengacara yang membela pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pimpinan sebagai terlapor," tegasnya.
BACA JUGA:
Atas putusan ini, Rizka Anung mengatakan 75 pegawai KPK akan membantu dewan pengawas dengan memberikan data dan informasi lanjutan sebagai bukti. Apalagi, temuan yang dibacakan dewan pengawas banyak yang berbeda dengan Ombudsman.
Diharapkan, nantinya Tumpak Hatorangan Panggabean dkk diharap dapat melihat secara utuh permasalahan yang ada.
Lebih lanjut, dia dan puluhan pegawai KPK lainnya berharap agar laporan lain yang kini tengah diproses yaitu tentang dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar tidak berakhir serupa. "Kami merasa, dugaan-dugaan pelanggaran etik ini membuat KPK sangat terpuruk dan kehilangan kepercayaan publik," ungkapnya.
Diberitakan sebelumnya, Dewan Pengawas KPK menyebut pihaknya tidak menemukan bukti terhadap sejumlah dugaan pelanggaran etik terhadap Pimpinan KPK terkait pelaksanaan TWK. Termasuk, terkait penyisipan aturan pelaksanaan TWK yang diduga dilakukan Ketua KPK Firli Bahuri.
Namun, ini berbeda dengan temuan Ombudsman RI yang disampaikan beberapa waktu lalu. Menurut Ombudsman, penyisipan ayat pelaksanaan TWK terjadi saat peraturan komisi tengah digodok. Sebab, klausul ini baru muncul pada 25 Januari 2021 atau sehari sebelum rapat harmonisasi terakhir.
Padahal rapat penyusunan peraturan komisi ini sudah terjadi sejak Agustus 2020. "Munculnya klausul TWK adalah bentuk penyisipan ayat. Pemunculan ayat baru dan itu munculnya di bulan-bulan terakhir proses ini," kata Robert dalam konferensi pers penyampaian hasil akhir pemeriksaan aduan pegawai KPK yang ditayangkan secara daring, Rabu, 21 Juli.