Bagikan:

JAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri dan empat wakilnya lolos dari sidang etik terkait dugaan pelanggaran saat proses Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Dewan Pengawas KPK mengaku tak menemukan bukti pelanggaran apapun dalam proses tersebut.

Keputusan ini diambil setelah Tumpak Hatorangan Panggabean dkk memeriksa 11 saksi serta 5 terlapor dan 42 barang ukti yang terkait dalam proses alih status pegawai tersebut.

"Dewan pengawas secara musyawarah dan mufakat berkesimpulan seluruh dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku yang diduga dilakukan oleh Pimpinan KPK sebagaimana disampaikan dalam surat pengaduan kepada Dewas tidak cukup bukti sehingga tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke sidang etik," kata Ketua Dewan Pengawas Tumpak Hatorangan Panggabean dalam konferensi pers, Jumat, 23 Juli.

Dewan Pengawas KPK saat itu juga menguraikan sejumlah hal. Salah satunya dugaan Firli menambahkan pasal terkait TWK seperti yang dilaporkan puluhan pegawai yang tak lolos dan salah satunya adalah Novel Baswedan.

Gedung KPK (VOI)

Anggota Dewas KPK Harjono mengatakan tak ada temuan yang menunjukkan bukti terkait penambahan pasal yang diajukan oleh Ketua KPK Firli Bahuri dalam rapat pimpinan pada 25 Januari 2021. "Tidak benar dugaan Pasal Tes Wawasan Kebangsaan merupakan pasal yang ditambahkan oleh saudara Firli Bahuri dalam rapat," ungkapnya.

Sehingga, berdasarkan pertimbangan tersebut dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku sebagaimana dilaporkan melanggar Nilai Integritas Pasal 4 Ayat 1 huruf a Peraturan Dewas Nomor 2 Tahun 2020 dinyatakan tidak cukup bukti.

Dewan pengawas juga tak menemukan bukti pimpinan KPK tidak memberi informasi terkait TWK termasuk jika ada pegawai yang gagal. Pimpinan KPK dianggap telah menyosialisasikan dan menginformasikan para pegawai tentang pelaksanaan TWK termasuk konsekuensinya.

Dewas berlagak jadi pengacara Pimpinan KPK

Keputusan dewan pengawas tak melanjutkan dugaan pelanggaran ke sidang etik ini kemudian ditanggapi perwakilan 75 pegawai yang tak lolos TWK, Rizka Anung Nata. Dia menyebut keputusan Tumpak Hatorangan dkk mengada-ada.

"Tidak cukup bukti adalah alasan yang sangat mengada-ada. Sebab, Dewan Pengawas memiliki wewenang penuh untuk mencari bukti, dari data awalan yang kami sampaikan saat pengaduan," kata Rizka Anung dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan.

Tak hanya itu, dia menyinggung hasil pemeriksaan Dewan Pengawas KPK yang berbeda dengan hasil yang disampaikan Ombudsman RI pada Rabu, 22 Juli kemarin. Alasannya, data dan bukti yang diajukan puluhan pegawai tidak ada yang berbeda.

Rizka lantas menduga perbedaan bisa terjadi karena Ombudsman RI lebih memiliki niat dan kemauan mengungkap pelanggaran yang terjadi dalam proses alih status pegawai KPK. Ini berbeda dengan sikap dewan pengawas yang lebih pasif dan lebih memilih menjadi pengacara Pimpinan KPK.

"Dewan Pengawas sangat bersifat pasif tidak berusaha menggali informasi lebih dalam, bahkan dalam melakukan pemeriksaan pelapor kami merasakah Dewas lebih terlihat sebagai pengacara yang membela pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pimpinan sebagai terlapor," tegasnya.

Dewas KPK dikelabui

Kekecewaan berujung pada kekhawatiran juga disampaikan oleh penyidik senior Novel Baswedan. Dia khawatir Dewan Pengawas KPK dikelabui oleh Firli Bahuri dkk saat melakukan pemeriksaan terkait dugaan pelanggaran etik terkait proses TWK.

"Saya juga berpikir karena beliau-beliau (anggota dewas, red) terlalu senior jadi mudah dikelabui oleh pihak-pihak terperiksa. Saya khawatirnya itu karena dari jawaban Dewas, beliau-beliau bertindak seperti kuasa hukum terperiksa, ini hal yang sangat serius menurut saya," kata Novel.

Dia bahkan mempertanyakan kompetensi dewan pengawas karena bukti yang tersaji perihal dugaan pelanggaran etik sudah konkret dan telah diserahkan seluruhnya. Tak hanya itu, poin pengaduan pun sudah jelas dan terang.

"Bukti-bukti begitu nyata, begitu terang, tapi seolah-olah seperti tidak ada apa-apa. Tentu kita harap ke depannya Dewas bisa memperbaiki diri, beliau-beliau adalah orang-orang yang punya dedikasi baik. Saya beberapa kali bekerja dengan beliau dan tentu kita berharap tidak mempermalukan diri sendiri dengan hal itu," tegas Novel.

Dirinya menilai Dewan Pengawas KPK seharusnya bekerja sesuai tugas dan fungsi yaitu melakukan pengawasan. Tapi, hal ini sepertinya tak terjadi dan hal ini tentunya sangat disayangkan.

Menurut Novel, keputusan Tumpak Hatorangan dkk kali ini juga akan menjadi masalah serius dan akan menambahkan kemungkinan terjadinya pelanggaran lain. Padahal, harusnya Dewas KPK jadi satu-satunya organ di internal yang menjadi tempat pengaduan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan pimpinan maupun pegawai.

"Saya khawatir hal ini juga malah membuat pimpinan KPK semakin berani melakukan pelanggaran-pelanggaran, kenapa? Karena Dewas-nya sangat berpihak," pungkasnya.