Benarkah 4 Pimpinan KPK Lainnya Manut kepada Firli Bahuri dan Tak Menganut Prinsip Kolektif Kolegial?
Gedung KPK (Foto: Wardhany Tsa Tsia/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menjadi sorotan setelah menonaktifkan 75 pegawai mereka, termasuk penyidik senior Novel Baswedan yang tak lolos asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Terbaru, banyak pihak menyoroti sikap empat pimpinan komisi antirasuah ini.

Keempat Wakil Ketua KPK yaitu Nurul Ghufron, Nawawi Pomolango, Alexander Marwata, dan Lili Pintauli Siregar disebut hanya bisa mengikuti keinginan Ketua KPK Firli Bahuri. Padahal, jika melihat UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 Pasal 21 Ayat 4 disebutkan kelima pimpinan harus bekerja secara kolektif kolegial.

Adapun anggapan ini disampaikan oleh peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Universitas Andalas, Feri Amsari yang menilai para pimpinan komisi antirasuah seakan tak memahami prinsip kolektif kolegial dan sekadar menuruti keinginan Firli. 

Bahkan, dirinya menyebut, empat pimpinan ini boneka yang digerakkan oleh kelompok yang dianggap memiliki kepentingan.

"Inilah anehnya, empat pimpinan lain tidak memahami kolektif kolegial. Saya melihat, pimpinan lain hanya boneka yang digerakkan oleh kepentingan yang sama terhadap Pak Firli," kata Feri kepada wartawan, Jumat, 14 Mei.

Dia menganggap, selama ini tak pernah ada sikap yang diambil oleh empat pimpinan komisi antirasuah. "Lebih banyak mereka sebagai orang tidak berguna saja di KPK," tegas Feri.

Dirinya juga mengkritisi sikap Dewan Pengawas KPK yang terkesan tak mau tahu terkait polemik yang terjadi di lembaga antirasuah. Sehingga, Feri mencurigai Tumpak Hatorangan Panggabean dkk, adalah bagian dari 'permainan' yang saat ini terjadi di KPK.

"Bagi saya Dewas KPK dari dulu sudah dicurigai merupakan bagian dari permainan ini. Itu sebabnya, tidak banyak di antara dewas yang bersikap tegas bahkan seolah-olah tak mau tahu," ungkapnya.

Polemik ini juga membuat Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak agar Dewan Pengawas KPK melakukan evaluasi terhadap Firli Bahuri, dkk. Bahkan, jika perlu, Tumpak Hatorangan Panggabean, dkk harus bersifat tegas jika terjadi pelanggaran kode etik dalam polemik penonaktifan 75 pegawai.

"ICW mendesak agar Dewan Pengawas KPK mengambil inisiatif untuk melakukan pemeriksaan terhadap para pimpinan KPK, termasuk Firli Bahuri atas berbagai dugaan pelanggaran kode etik," ungkap peneliti ICW Egi Primayogha.

Pegiat antikorupsi ini menilai KPK tengah di ambang kehancuran dan pembusukan. Sehi ngga, dewan pengawas perlu mengambil tindakan tegas dan serius demi menjaga KPK.

"Agar KPK tetap dapat dijaga dari kehancuran dan pembusukan, maka dewan pengawas harus mengambil tindakan tegas dan serius," tegasnya.

Tak hanya itu, dia menyebut lima pimpinan KPK seharusnya bertanggung jawab atas kegaduhan yang terjadi. "Berbagai akumulasi persoalan dan kegaduhan di KPK tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab Ketua KPK dan Pimpinan KPK lainnya," kata Egi. 

Firli disebut getol mendorong pelaksanaan TWK

Di tengah polemik yang terjadi, sejumlah pegawai KPK yang tak lolos asesmen sebagai syarat alih status kepegawaian buka suara. Mulai dari keganjilan soal hingga pihak yang diduga getol mendorong pelaksanaan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pun terungkap.

Ketua Satuan Tugas (Kasatgas) KPK Harun Al-Rasyid menyebut, TWK ini bukan dibuat atas keputusan seluruh pimpinan KPK. Dia menyebut, Firli yang getol mendorong tes ini menjadi syarat peralihan status kepegawaian sesuai UU KPK Nomor 19 Tahun 2019.

"Saya beberapa kali komunikasi dengan pimpinan yang lain dan ini sudah dinyatakan oleh pimpinan lainnya ternyata bahwa di KPK itu sudah tak ada kolegial," ungkap Harun kepada wartawan, Rabu, 12 Mei.

Dia mengatakan, Firli tidak mendengar nasihat empat pimpinan KPK lainnya. "Ketua KPK yang gigih dan getol mendorong utk dilakukannya tes wawasan kebangsaan," katanya.

Harun juga menyebut Firli pintar membangun narasi publik. Dirinya menyebut Firli mengatur strategi untuk membuat para pimpinan KPK yang lain diam untuk menjelaskan tes itu.

"Andai saja pimpinan lainnya berani nyatakan ini ke publik bahwa 'yang disampaikan oleh ketua KPK bahwa pelaksanaan TWK itu adalah keinginan pimpinan secara kolektif kolegial tidak benar dan omong kosong' pasti sudah game over permainan ini," tegasnya.

Tak hanya itu, dia menuding Firli bergerak diam-diam untuk menonaktifkan dia dan Novel Baswedan bersama 73 pegawai lainnya. Tudingan ini muncul, karena sikap eks Deputi Penindakan KPK itu usai menyampaikan ada pegawainya yang tak memenuhi syarat (TMS) dalam tes tersebut.

Firli dianggapnya cuek dengan respons publik dan mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Buktinya, 75 pegawai yang tak lolos tetap dinonaktifkan meski MK meminta proses alih status pegawai dari independen menjadi aparatur sipil negara (ASN) tak boleh merugikan negara.

Harun juga menilai Firli sudah kelewatan bahkan cenderung mengacak-acak komisi antirasuah. "Ini bentuk kezaliman dan ketidakadilan serta arogansi ketua KPK secara personal dan bukan kelembagaan," ungkapnya.

Sebelumnya, Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) diikuti 1.351 pegawai KPK. Dari jumlah tersebut, 1.274 orang dinyatakan memenuhi syarat.

Sementara 75 pegawai termasuk Novel Baswedan, Ketua Wadah Pegawai KPK yang juga penyidik Yudi Purnomo, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono, Kasatgas KPK Harun Al-Rasyid, dan Direktur PJKAKI Sujarnarko dinyatakan tak memenuhi syarat (TMS). Sedangkan dua pegawai lainnya tak hadir dalam tes wawancara.

Berikutnya, KPK mengeluarkan Surat Keputusan Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021 tentang Hasil Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan.

Surat tertanda Ketua KPK Firli Bahuri dan salinannya ditandatangani Plh Kepala Biro SDM Yonathan Demme Tangdilintin tersebut memiliki empat poin. Salah satunya, memerintahkan pegawai yang tak lolos untuk menyerahkan tugas dan tanggung jawab mereka kepada atasan langsung.