JAKARTA - Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Universitas Andalas, Feri Amsari menilai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak lagi menganut prinsip kolektif kolegial. Keempat Wakil Ketua KPK bahkan disebutnya 'nurut' terhadap semua keputusan Ketua KPK Firli Bahuri.
Hal ini disampaikannya untuk menanggapi polemik penonaktifan 75 pegawai KPK, termasuk penyidik senior Novel Baswedan hingga Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo Harahap.
"Inilah anehnya, empat pimpinan lain tidak memahami kolektif kolegial," kata Feri kepada wartawan, Jumat, 14 Mei.
"Saya melihat pimpinan lain hanya boneka yang digerakkan oleh kepentingan yang sama terhadap Pak Firli. Tidak bisa dilihat apapun sikap dan pilihan," imbuh pegiat antikorupsi ini.
Dirinya bahkan menyebut keempat pimpinan KPK yang harusnya mendampingi Firli, justru tak berguna.
"Lebih banyak dari mereka sebagai orang yang tidak berguna saja di KPK," tegasnya.
Lebih lanjut, Feri juga mengkritisi sikap Dewan Pengawas KPK yang terkesan tak mau tahu terkait polemik yang terjadi di lembaga antirasuah. Sehingga, dia mencurigai Tumpak Hatorangan Panggabean dkk, adalah bagian dari 'permainan' yang saat ini terjadi di KPK.
"Bagi saya Dewas KPK dari dulu sudah dicurigai merupakan bagian dari permainan ini. Itu sebabnya, tidak banyak di antara dewas yang bersikap tegas bahkan seolah-olah tak mau tahu," ungkapnya.
Adapun polemik terkait penonaktifan ini diawali saat asesmen Tes Wawasan Kebangsaan dilakukan sebagai syarat alih status pegawai KPK. Mereka yang tadinya berstatus independen menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) sesuai UU KPK Nomor 19 Tahun 2019.
Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) diikuti 1.351 pegawai KPK. Dari jumlah tersebut, 1.274 orang dinyatakan memenuhi syarat.
Sementara 75 pegawai termasuk Novel Baswedan, Ketua Wadah Pegawai KPK yang juga penyidik Yudi Purnomo, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono, dan Kasatgas KPK Harun Al-Rasyid dinyatakan tak memenuhi syarat (TMS). Sedangkan dua pegawai lainnya tak hadir dalam tes wawancara.
Berikutnya, KPK mengeluarkan Surat Keputusan Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021 tentang Hasil Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan. Surat tertanda Ketua KPK Firli Bahuri dan salinannya ditandatangani Plh Kepala Biro SDM Yonathan Demme Tangdilintin tersebut memiliki empat poin.
Salah satunya, memerintahkan pegawai yang tak lolos untuk menyerahkan tugas dan tanggung jawab mereka kepada atasan langsung.
Hal ini selanjutnya menimbulkan polemik di dalam internal. Sebab, pegawai yang namanya tercantum dalam surat keputusan itu bersuara dan salah satunya adalah Kasatgas Harun Al-Rasyid.
Dia mengatakan, Firli Bahuri bergerak diam-diam untuk menonaktifkan dirinya dan 74 pegawai lainnya termasuk Novel Baswedan. Tak hanya itu, Harun menganggap eks Deputi Penindakan itu tutup kuping terhadap respons publik terhadap TWK dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
BACA JUGA:
Bahkan, dirinya menyebut Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang mengganjal puluhan pegawai KPK itu adalah keinginan Firli. Harun mengaku telah menanyakan kebenaran kabar tersebut ke pimpinan KPK lainnya.
"Saya beberapa kali komunikasi dengan pimpinan yang lain, dan ini sudah dinyatakan oleh pimpinan lainnya ternyata bahwa di KPK itu sudah tak ada kolegial," ungkapnya.
Dia mengatakan, Firli tidak mendengar nasihat empat pimpinan KPK lainnya. "Ketua KPK yang gigih dan getol mendorong utk dilakukannya tes wawasan kebangsaan," ujar Harun.
Harun juga menyebut Firli pintar membangun narasi publik. Dirinya menyebut Firli mengatur strategi untuk membuat para pimpinan KPK yang lain diam untuk menjelaskan tes itu.
"Andai saja pimpinan lainnya berani nyatakan ini ke publik bahwa 'yang disampaikan oleh ketua KPK bahwa pelaksanaan TWK itu adalah keinginan pimpinan secara kolektif kolegial tidak benar dan omong kosong' pasti sudah game over permainan ini," pungkasnya.