Perjalanan Kasus Eks Sekretaris MA Nurhadi Sebelum Dijebloskan ke Rutan KPK
Konferensi pers penangkapan DPO Nurhadi dan menantunya. (Dokumentasi: Humas KPK)

Bagikan:

JAKARTA - Pelarian eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi bersama menantunya Riezky Herbiyono berakhir di sebuah rumah di kawasan Simprug, Jakarta Selatan. Dua buronan dalam kasus dugaan penerimaan suap dan gratifikasi berjumlah Rp46 miliar tersebut harus menyudahi pelarian mereka setelah ditangkap oleh tim penyidik KPK yang dipimpin oleh Novel Baswedan.

Dalam penangkapan tersebut, KPK bukan hanya menangkap Nurhadi dan Riezky. Tim penyidik yang bertugas juga ikut mengamankan istri eks Sekretaris MA tersebut, Tin Zuraida dan sejumlah barang bukti yang diduga berkaitan dalam kasus ini.

Penangkapan terhitung sebagai sebuah kesuksesan. Mengingat, lembaga antirasuah telah menetapkan dan memasukkan keduanya ke dalam daftar pencarian orang (DPO) sejak bulan Februari yang lalu bersama seorang yang hingga saat ini belum diketahui keberadaannya, yaitu Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto. 

Awal penetapan Nurhadi sebagai tersangka

Nurhadi bersama menantunya ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi Rp46 miliar. Penetapan tersangka ini dilakukan ketika KPK masih diketuai oleh Agus Rahardjo.

"Setelah mencermati fakta-fakta yang berkembang di penyidikan dan persidangan, KPK menemukan bukti permulaan yang cukup dalam perkara suap terkait pengurusan perkara yang dilakukan sekitar tahun 2015-2016 dan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas dan kewajibannya yang tak dilaporkan dalam jangka maksimal 30 hari kerja ke KPK," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam konferensi pers penetapan tersangka di bulan Desember 2019.

Suap tersebut, diduga berkaitan dengan pengurusan perkara perdata di Mahkamah Agung. Sementara terkait gratifikasi, Nurhadi diduga menerima hadiah berkaitan dengan penanganan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. 

"Sehingga, secara keseluruhan NHD (Nurhadi) melalui RHE (Rezky Herbiyono) telah menerima janji dalam bentuk 9 lembar cek dari PT MIT serta suap atau gratifikasi dengan total Rp46 miliar," tegas Saut.

Kasus yang menjerat Nurhadi dan menantunya tersebut, sebenarnya adalah pengembangan perkara dari operasi tangkap tangan (OTT) dalam kasus pengaturan perkara di Mahkamah Agung pada tahun 2016 yang lalu.

Dalam operasi senyap tersebut, lembaga antirasuah menjerat Panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Edy Nasution dan seorang pegawai dari PT Artha Pratama, Doddy Aryanto Supeno. Selanjutnya, KPK yang terus melakukan pengembangan kasus juga menjerat eks Presiden Komisaris Lippo Group yaitu Eddy Sindoro.

Kembali ke kasus yang menjerat Nurhadi, setelah ditetapkan sebagai tersangka dan mangkir sebanyak dua kali dari pemeriksaan tersangka, KPK kemudian menetapkan Nurhadi dan Riezky sebagai buronan.

"Para tersangka yang setelah dipanggil dua kali sebagai tersangka yaitu NH, dkk yang tidak hadir atau mangkir dari panggilan penyidik KPK maka kami menyampaikan bahwa KPK telah menerbitkan daftar pencarian orang, DPO," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri kepada wartawan di kantornya. 

Saat Nurhadi menjadi buronan dan dalam pengejaran, Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) pernah mengatakan, eks Sekretaris MA ini menyuruh orang lain untuk menukarkan uang sebanyak Rp3 miliar di sebuah money changer di Jakarta. 

"Awal minggu ini saya mendapat informasi teranyar yang diterima terkait jejak keberadaan Nurhadi berupa tempat menukarkan uang asing ke rupiah," kata Koordinator MAKI, Boyamin Saiman pada bulan Mei.

Dia menyebut, ada dua lokasi yang biasa menjadi tempat bagi Nurhadi menukarkan uang dolar yang dia miliki, yaitu di kawasan Cikini dan Mampang. Setiap minggu, kata Boyamin, Nurhadi menukarkan uang sebanyak dua kali sekitar Rp1 miliar untuk kehidupan sehari-hari.

"Dan akhir pekan lebih banyak, sekitar Rp1,5 miliar untuk kebutuhan gaji buruh bangunan serta gaji para pengawal," ungkapnya.

Selain Boyamin, Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane juga menyatakan Nurhadi sempat terlacak di sejumlah masjid.

"Mantan Sekjen Mahkamah Agung, Nurhadi, sempat terlacak lima kali saat melakukan salat duha. Namun buronan KPK itu berhasil meloloskan diri saat hendak ditangkap. Sumber IPW menyebutkan, KPK dibantu Polri terus berupaya menangkap Nurhadi," ungkap Neta.

Dia kemudian mengatakan, Nurhadi berpindah-pindah masjid untuk melaksanakan salat duha. "Setidaknya sudah ada lima masjid yang terus dipantau. Sumber itu optimis Nurhadi bakal segera tertangkap. IPW berharap Nurhadi bisa tertangkap menjelang Lebaran, sehingga bisa menjadi hadiah Idul Fitri dari KPK buat masyarakat," katanya.

Ditangkap tim yang dipimpin Novel Baswedan

Dalam penangkapan tersebut, tim penyidik KPK dipimpin oleh Novel Baswedan. Hal ini disampaikan oleh mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto melalui akun Twitternya @sosmedbw dengan tagar GREBEK_DPO.

"Bravo. Binggo. Siapa Nyana. Novel Baswedan pimpin sendiri operasi dan berhasil bekuk buronan KPK, Nurhadi mantan Sekjen MA di Simpruk yang sudah lebih dari 100 hari DPO. Kendati matanya dirampok penjahat yang "dilindungi" tapi mata batin, integritas, dan keteguhannya tetap memukau. Ini baru keren," kata Bambang seperti dikutip dari akunnya.

Dia menambahkan, dalam penangkapan tersebut, tim penyidik KPK, membongkar pintu gerbang dan pintu rumah buronan tersebut karena mereka enggan menyerahkan diri.

Setelah berhasil masuk dan didampingi pihak RT di wilayah tersebut, Nurhadi dan Riezky ditemukan di lokasi tersebut.

"Penyidik KPK atas dasar info dari rakyat yang ditemani RT sukses menggeledah rumah DPO KPK di Simpruk yang gelap gulita itu, ditemukan dua DPO juga satu orng lain yang selalu mangkir jika dipanggil KPK," tulis Ketua Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) DKI Jakarta bidang pencegahan korupsi tersebut.

Kronologi yang sama juga disampaikan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. Penangkapan ini, kata dia, dilaksanakan sejak pukul 18.00 WIB ketika penyidik mendapatkan informasi dari masyarakat mengenai keberadaan dua orang yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). 

Selanjutnya, tim kemudian bergerak menuju rumah yang berada di Jalan Simprug Golf Nomor 1 Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan dengan membawa surat perintah penangkapan dan penggeledahan. Menurut dia, tim KPK tiba di rumah persembunyian eks Sekretaris MA ini sekitar pukul 21.30 WIB.

"Awalnya tim penyidik KPK bersikap persuasif dengan mengetuk pagar rumah namun tidak dihiraukan. Kemudian penyidik KPK dengan didampingi Ketua RW setempat dan pengurus RT setempat melakukan upaya paksa dengan membongkar kunci pintu gerbang dan pintu rumah tersebut," kata Ghufron dalam konferensi pers yang ditayangkan di akun YouTube KPK, Selasa, 2 Juni.

Setelah berhasil masuk ke dalam rumah yang menjadi tempat persembunyian itu, KPK langsung menangkap Nurhadi dan Riezky di dua kamar yang berbeda di dalam rumah tersebut. "(Penyidik, red) langusng melakukan penangkapan terhadap keduanya," tegas dia.

Kemudian, tim penyidik langsung membawa kedua orang tersebut ke Gedung Merah Putih KPK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan terkait kasus tersebut. Setelah selesai melakukan pemeriksaan, keduanya akan ditahan selama 20 hari ke depan di Rutan KPK Kavling C1. 

Dua orang buronan ini diduga menerima suap dan gratifikasi terkait dengan Pengurusan perkara perdata PT.MIT vs PT.KBN (Persero) kurang lebih sebesar Rp14 Miliar; Perkara perdata sengketa saham di PT. MIT kurang lebih sebesar Rp33,1 Miliar dan Gratifikasi terkait dengan perkara di pengadilan kurang lebih Rp12, 9 Miliar, sehingga akumulasi yang di duga diterima kurang lebih sebesar Rp46 Miliar. 

Atas perbuatannya tersebut, Nurhadi dan Riezky kemudian disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b subsider Pasal 5 ayat (2) lebih subsider Pasal 11 dan/atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.