Deretan Mobil Mewah Nurhadi: Toyota Camry Hingga Mini Cooper
Tersangka suap dan gratifikasi, eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi. (Dokumentasi: Humas KPK)

Bagikan:

JAKARTA - Mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi memiliki empat mobil mewah dengan berbagai merek seperti Toyota Camry hingga Mini Cooper. Nurhadi merupakan tersangka dugaan suap dan gratifikasi bersama menantunya Riezki Herbiyono senilai Rp46 miliar. 

Dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) miliknya, Nurhadi memiliki harta berjumlah Rp33.417.646.000. LHKPN tersebut terakhir dilaporkannya pada November 2012.

Dari total harta tersebut, tercatat Nurhadi memiliki harta tidak bergerak berupa tanah dan bangunan senilai Rp7.362.646.000. Tanah dan bangunan itu terletak di Jakarta Selatan, Kabupaten Bogor, Kabupaten Malang, Kabupaten Kudus, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Kediri, dan Kabupaten Tulungagung.

Sementara untuk harta bergerak berupa alat transportasi, terdapat empat mobil mewah berupa Toyota Camry tahun 2010, Mini Cooper tahun 2010, Lexus tahun 2010, dan Jaguar yang diproduksi pada tahun 2004 dengan nilai Rp4.005.000.000.

Selain mobil, Nurhadi juga tercatat memiliki harta bergerak lainnya dengan nilai mencapai Rp11.275.000.000. Harta bergerak ini berupa batu mulia dengan nilai mencapai Rp8.625.000.000, barang seni dan antik dengan nilai mencapai Rp1 miliar, dan benda bergerak lainnya dengan nilai Rp1.150.000.000.

Gedung KPK (Muhammad Iqbal/VOI)

Eks Sekretaris MA ini juga tercatat memiliki harta bergerak berupa giro dan setara kas dengan nilai mencapai Rp10.775.000.000 dan tidak tercatat memiliki hutang.

Diketahui, setelah ditangkap dan dibawa ke Gedung Merah Putih KPK untuk pemeriksaan lanjutan, Nurhadi dan menantunya dijebloskan ke Rutan KPK Kavling C1 selama 20 hari ke depan. 

Nurhadi bersama menantunya ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi Rp46 miliar. Penetapan tersangka ini dilakukan ketika KPK masih diketuai oleh Agus Rahardjo.

"Setelah mencermati fakta-fakta yang berkembang di penyidikan dan persidangan, KPK menemukan bukti permulaan yang cukup dalam perkara suap terkait pengurusan perkara yang dilakukan sekitar tahun 2015-2016 dan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas dan kewajibannya yang tak dilaporkan dalam jangka maksimal 30 hari kerja ke KPK," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam konferensi pers penetapan tersangka di bulan Desember 2019.

Suap tersebut diduga berkaitan dengan pengurusan perkara perdata di Mahkamah Agung. Selain itu, Nurhadi juga diduga terjerat kasus gratifikasi yang berkaitan dengan penanganan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. 

"Sehingga, secara keseluruhan NHD (Nurhadi) melalui RHE (Rezky Herbiyono) telah menerima janji dalam bentuk 9 lembar cek dari PT MIT serta suap atau gratifikasi dengan total Rp46 miliar," tegas Saut.

Kasus yang menjerat Nurhadi dan menantunya ini merupakan pengembangan perkara dari operasi tangkap tangan (OTT) dalam kasus pengaturan perkara di Mahkamah Agung pada tahun 2016 yang lalu.

Dalam operasi senyap tersebut, lembaga antirasuah menjerat Panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Edy Nasution dan seorang pegawai dari PT Artha Pratama, Doddy Aryanto Supeno. Selanjutnya, KPK yang terus melakukan pengembangan kasus juga menjerat eks Presiden Komisaris Lippo Group yaitu Eddy Sindoro.

Kembali ke kasus yang menjerat Nurhadi, setelah ditetapkan sebagai tersangka dan mangkir sebanyak dua kali dari pemeriksaan tersangka, KPK menetapkan Nurhadi dan Riezky sebagai buronan.

"Para tersangka yang setelah dipanggil dua kali sebagai tersangka yaitu NH, dkk yang tidak hadir atau mangkir dari panggilan penyidik KPK maka kami menyampaikan bahwa KPK telah menerbitkan daftar pencarian orang, DPO," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri kepada wartawan di kantornya. 

Kemudian, pada Senin, 1 Juni, pelarian eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi bersama menantunya Riezky Herbiyono berakhir di sebuah rumah di kawasan Simprug, Jakarta Selatan. Pelarian ini berakhir di tangan penyidik senior KPK Novel Baswedan, yang disebut menjadi pimpinan dalam operasi penangkapan tersebut.