Myanmar Cetak Rekor Infeksi Harian, Rezim Militer Akui Kesulitan Hadapi COVID-19
Perawat melakukan unjuk rasa anti-kudeta militer Myanmar. (Twitter/@HninYuL56255394)

Bagikan:

JAKARTA - Warga Myanmar memilih untuk melakukan isolasi mandiri di rumah, dibanding mendapatkan pelayanan medis tidak memadai di rumah sakit, di tengah lonjakan kasus infeksi COVID-19 dengan rezim militer mengakui kesulitan menangani pandemi.

Ma Yati tidak ragu jika dirinya terinfeksi COVID-19, seiring dengan demam, lemas dan hilangnya indra penciuman. Namun, warga kelahiran Kale, Myanmar Barat ini memilih untuk melakukan isolasi mandiri di rumah, dibanding mendapatkan tes resmi atau masuk pusat karantina. 

"Kepercayaan saya pada sistem perawatan kesehatan junta ini adalah 0 persen,” kata wanita berusia 23 tahun itu kepada Reuters melalui telepon dari rumahnya, di mana dia sekarang dalam pemulihan dan berusaha untuk tidak menulari orang lain, seperti dikutip Selasa 13 Juli.

"Pusat karantina tidak memiliki siapa pun untuk memberikan perawatan. Tidak akan ada yang membantu dalam keadaan darurat," ungkapnya. 

Meskipun tidak ada angka untuk menunjukkan berapa banyak, lebih banyak orang seperti Ma Yati yang menghindari sistem kesehatan Myanmar, meski kasus infeksi COVID-19 berlipat ganda, takut akan perawatan di bawah standar di rumah sakit yang ditinggalkan oleh petugas medis sebagai protes atas kudeta militer 1 Februari.

Rumah sakit di Myanmar berada dalam tekanan hebat, seiring dengan kudeta militer dan tenaga kesehatan memilih untuk bergabung dengan Gerakan Pembangkangan Sipil (CDM), menolak bekerja di bawah rezim. 

myanmar
Pemimpin rezim militer Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing meresmikan rumah sakit baru. (Sumber: Global New Light of Myanmar)

Selain meningkatkan risiko terhadap kesehatan mereka sendiri, petugas medis mengatakan keengganan orang untuk dites COVID-19 atau memasuki karantina dapat menyebabkan lebih banyak infeksi.

Sebaliknya, pemerintah sipil yang digulingkan tampaknya lebih berhasil dalam meredakan gelombang infeksi sebelumnya, karena kesediaan orang untuk tunduk pada pengujian, pelacakan dan isolasi.

Juru bicara rezim militer Myanmar mengatakan, mereka melakukan semua yang bisa dilakukan, serta meminta kerja sama untuk menangani pandemi COVID-19 di Negeri Seribu Pagoda tersebut.

"Ada kesulitan sekarang. Kami tahu kelompok amal dan orang-orang juga mengalami kesulitan dan kami ingin meminta mereka untuk bekerja sama dengan kami," kata juru bicara rezim Brigjen Zaw Min Tun dalam konferensi pers. 

Baik dia maupun kementerian kesehatan tidak menanggapi pertanyaan lebih lanjut tentang penanganan wabah tersebut. Tetapi salah satu tanggapan junta terhadap krisis adalah, membuka rumah sakit militer untuk umum dan meningkatkan layanan di sana.

Senin malam, otoritas kesehatan Myanmar menyebut negara tersebut mencatat rekor kasus infeksi harian sebanyak 5.014 kasus infeksi, pertama kalinya melampaui 5.000. Melansir Worldometers, total Myanmar mencatat 197.227 kasus positif, 3.927 orang meninggal dan 148.060 pasien sembuh.

zaw min tun
Juru bicara rezim militer Myanmar Brigjen Zaw Min Tun (Sumber: rfa.org)

Dengan Lebih dari sepertiga tes COVID-19 positif, angka yang menurut dokter menunjukkan wabah itu jauh lebih luas daripada yang ditunjukkan oleh angka pengujian resmi.

"Kenaikan COVID-19 baru-baru ini di Myanmar benar-benar mengkhawatirkan. Tingkat kasus positif yang sangat tinggi selama beberapa minggu terakhir, menunjukkan infeksi yang jauh lebih luas. Ini dengan cepat menjadi kritis, karena banyak orang masih memiliki akses terbatas ke rumah sakit dan perawatan kesehatan," papar Joy Singhal, Kepala Delegasi Myanmar, Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah.

Terpisah, Pemerintah Persatuan Nasional Myanmar yang bergerak di bawah tanah menyebut sistem yang sebleumnya dibangun di bawah Aung San Suu Kyi, kini hancur karena militer.  

"Sistem dan layanan perawatan kesehatan telah hancur berantakan karena penganiayaan militer dan terorisme terhadap rakyat," kata dr. Sasa, seorang dokter medis dan juru bicara Pemerintah Persatuan Nasional bawah tanah.

Untuk diketahui, beberapa hari sebelum kudeta Myanmar telah memulai salah satu kampanye vaksinasi pertama, tetapi terhenti di tengah penolakan publik yang meluas untuk menerima bantuan apa pun dari otoritas militer. 

Mantan kepala kampanye vaksinasi, Htar Htar Lin, yang ditunjuk oleh pemerintah sipil yang digulingkan, termasuk di antara puluhan petugas medis yang telah ditangkap. 

Senin kemarin rezim militer Myanmar mengumumkan rencana untuk meningkatkan vaksinasi COVID-19, sebagian dengan bantuan dari sekutu asing terbesarnya, Rusia.

Kudeta Myanmar. Redaksi VOI terus memantau situasi politik di salah satu negara anggota ASEAN itu. Korban dari warga sipil terus berjatuhan. Pembaca bisa mengikuti berita seputar kudeta militer Myanmar dengan mengetuk tautan ini.