Polemik Pasal Penghinaan Presiden dan Wapres di RKUHP, Masih Digodok Menkumham
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly (Foto: kemenkumham.go.id)

Bagikan:

JAKARTA - Polemik pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden muncul ke permukaan setelah draf Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) beredar di masyarakat. 

Sebab, selain sanksi hukuman 5 tahun penjara, pasal tersebut juga telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) saat dipimpin Mahfud MD.

Penolakan pun mewarnai kembalinya pasal tersebut lantaran berpotensi menjadi pasal karet, di mana bisa menghambat diskursus publik yang sehat serta terbatasnya ruang kebebasan berpendapat.

Adapun penghinaan terhadap presiden dan wapres dikenai ancaman maksimal 3,5 tahun penjara. Jika penghinaan dilakukan lewat media sosial atau sarana elektronik, ancamannya menjadi 4,5 tahun penjara.

Sementara, bagi yang menghina lembaga negara, seperti DPR, bisa dikenakan sanksi kurungan penjara maksimal 2 tahun penjara.

Namun, permasalahan tersebut dibantah Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly. Dia menjelaskan, adanya pasal penghinaan presiden di RKUHP justru bertujuan agar masyarakat tak menjadi liberal dalam mengutarakan pendapatnya di ruang publik.

"Saya kira kita menjadi sangat liberal kalau membiarkan (menghina presiden, red)," ujar Yasonna dalam rapat kerja di Komisi III DPR, Rabu, 9 Juni.

Dia memberi contoh, tak masalah ketika dikritik tak maksimal dalam bertugas sebagai Menkumham. Namun berbeda, apabila yang diserang adalah martabatnya sebagai individu. Misalnya, disebut anak haram, anak PKI, dan sebagainya.

Karena itu, politikus PDIP itu menilai perlu adanya pasal tersebut. Lagi pula, kata dia, pasal ini tak hanya ditujukan untuk melindungi harkat dan martabat presiden yang menjabat saat ini, tetapi juga presiden di masa yang akan datang.

Bahkan, kata Yasonna, pasal semacam itu sudah lumrah diterapkan di beberapa negara, seperti Thailand dan Jepang. 

"Kita tahu lah, presiden kita sering dituduh secara personal dengan segala macam isu itu, dia tenang-tenang saja. Beliau mengatakan kepada saya tidak ada masalah dengan pasal itu. Tapi, apakah kita biarkan presiden yang akan datang digitukan? Jadi harus ada batas-batas yang harus kita jaga sebagai masyarakat Indonesia yang berkeadaban," jelas Yasonna Laoly.

Pasal dengan Delik Aduan

Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Eddy Omar Sharief Hiariej menjelaskan, pasal tersebut merupakan delik aduan. Di mana, pasal penghinaan terhadap kepala negara itu berbeda dengan pasal yang pernah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. 

“Kalau dalam pembagian delik, pasal penghinaan yang dicabut oleh Mahkamah Konstitusi itu merupakan delik biasa. Sementara dalam RUU KHUP itu merupakan delik aduan," jelas Eddy di Gedung DPR, Jakarta, Rabu, 9 Juni.

Lantaran menjadi delik aduan, Eddy menekankan bahwa presiden dan wakil presiden harus membuat laporannya sendiri atas kasus yang bersangkutan.

"Kalau delik aduan, itu yang harus melapor sendiri adalah presiden atau wakil presiden," katanya.

RKUHP Masih Sosialisasi 

Kendati demikian, Menkumham Yasonna Laoly, mengungkapkan pihaknya belum mengajukan draf Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) kepada DPR RI untuk bisa dimasukkan dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2021.

Alasannya, kata Yasonna, saat ini Kemenkumham masih melakukan sosialisasi terkait rancangan UU tersebut ke beberapa wilayah Indonesia.

"Kami tetap berkomitmen untuk melakukan terlebih dulu sosialisasi," ujar Yasonna dalam rapat kerja di Komisi III DPR, Jakarta, Rabu, 9 Juni.

Namun, Yasonna menyatakan Kemenkumham akan meneruskan draf RUU KUHP secara bertahap untuk dievaluasi dalam prolegnas periodik.

"Pada evaluasi prolegnas secara bertahap kita akan teruskan, tentunya kami menghargai dukungan dari Komisi III tentang hal ini, yaitu RUU KUHP," katanya.

Yasonna mengklaim, Kemenkumham hingga saat ini sudah menyosialisasikan RUU KUHP ke 11 daerah di Indonesia. Terakhir dilakukan di DKI Jakarta.

Dalam sosialisasi tersebut, menurut Yasonna, masyarakat memberikan respons positif terhadap RUU KUHP.

"(RUU KUHP) mendapat respons positif bagi masyarakat. Bahwa ada perbedaan pendapat itu sesuatu yang lumrah, terutama terakhir ini ada satu hal yang agak hangat di media," jelas politikus PDIP itu.

Usul DPR

Anggota Komisi III DPR RI Habiburrokhman mengusulkan pasal penghinaan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP) dialihkan ke Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

"Pasal 218 RUU KUHP, saya rasa sebaiknya ini dialihkan ke ranah perdata saja. Jadi penyelesaiannya ke arah perdata sehingga tidak melibatkan kepolisian dan kejaksaan yang merupakan rumpun eksekutif," ujar Habiburrokhman di Gedung DPR, Rabu, 9 Juni. 

Selama ini, lanjut politikus Gerindra itu, masih dalam ranah pidana tuduhan, bahwa pasal ini digunakan untuk melawan atau menghabiskan orang yang berseberangan dengan kekuatan.

"Ini akan terus timbul seobjektif apapun proses peradilannya, karena kepolisian dan kejaksaan itu termasuk dalam rumpun eksekutif," jelas Habiburrokhman.

Karena itu, ia masih mempertanyakan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly bagaimana tindak lanjut ke depan terkait persoalan ini. Terlebih, sudah mengklaim mencari masukan publik dengan mengunjungi 11 kota di Indonesia.

"Jadi ini apakah ada masukan soal teknis carry over? Seperti apa kalau carry over nya? Kalau lalu menindaklanjuti tingkat kedua ya percuma juga keliling Indonesia. Ada 11 kota untuk menerima masukan," kata Habiburrokhman.

Berbeda pendapat dengannya, Ketua Fraksi PPP DPR RI Arsul Sani menilai Pasal 218 dan 219 terkait Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tidak perlu dihapuskan.

Sebab, anggota Komisi III DPR itu mengungkapkan, dalam tolak ukur hukum, kejahatan kenegaraan kepada pemimpin negara tetap diberikan sanksi. Bahkan di negara-negara demokrasi.

"Kita juga perlu melakukan benchmarking tentang lese majesty tentang hukum yang terkait penyerangan terhadap pemegang kekuasaan, khususnya kepala negara. Bagaimana di negara lain? Dilihat dari benchmarking yang saya lakukan, saya melihat begitu banyak negara-negara yang demokrasi seperti kita bahkan tradisi demokrasinya lebih lama dari kita itu juga tetap mempertahankan lese majesty," ujar Arsul. 

Contoh, lanjutnya, di pasal 115 KUHP Denmark ada ancaman hukuman pidana bahkan sampai 4 tahun. Kemudian pasal 101 KUHP Islandia, ancamannya juga 4 tahun. 

"Di Belgia tidak di KUHP, tapi ada di undang-undang dari tahun 1847 yang menghina kepala negara, di sana raja, itu diancam pidana sampai 3 tahun," ungkapnya.

Sementara yang menggeser melakukan dekriminalisasi dari pendekatan pidana menjadi pendekatan perdata hanya Perancis di tahun 2013. Sedangkan Jerman, pada tahun 2017 melakukan dekriminalisasi hanya terhadap penghinaan kepada negara asing, tetapi terhadap kepala negaranya sendiri masih tetap mempertahankan kriminalisasi antara 3 bulan sampai 5 tahun.  

"Saya belum mendalami Belanda, belum baca kitab undang-undangnya, tapi dari bacaan yang saya tahu itu juga tetap dipidana. Artinya adalah wajar kalau di dalam KUHP kita berdasarkan benchmarking pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden itu dipertahankan," jelas Arsul.

Tantangan Indonesia, kata wakil ketua MPR itu, adalah bagaimana KUHP ini tidak menabrak keputusan Mahkamah Konstitusi. Maka di periode lalu dalam upaya tidak nabrak itu harus dilakukan 3 hal. Pertama, sifat deliknya dirubah dari delik biasa menjadi delik aduan.

"Kedua, pengecualian di ayat berikutnya yang bukan merupakan penyerangan itu apa sih dalam rangka kritik terhadap kebijakan umum dan pembelaan diri?" katanya. 

Ketiga, supaya menghindarkan potensi kesewenang-wenangan penegak hukum maka pidananya harus diturunkan di bawah 5 tahun. 

"Supaya Polri tidak bisa langsung menangkap dan membawa, itu pun kita masih dalam rangka merespons terhadap khawatiran masyarakat, seperti yang disampaikan oleh Pak Habiburrokhman. Jadi perlu ada penjelasan lagi terhadap pasal 218 dan 2019 KUHP," paparnya.

"Jadi hemat saya, pasal ini tetap perlu dipertahankan tetapi harus dengan formulasi yang baik, yang hati-hati, yang menutup potensi untuk disalahgunakan seminimal mungkin," tandas Arsul Sani.