RKUHP 2019 dan 2022 Sama tapi Tak Serupa
Mahasiswa UI melakukan demonstrasi penolakan revisi RKUHP di depan Istana Negara, bertepatan dengan ulang tahun Presiden Jokowi pada 21 Juni 2022. (Rizky Sulistio/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Pada 18 September 2019, Komisi III DPR dalam Rapat Kerja Pembahasan Tingkat I RKUHP dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) telah menyepakati Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Hasil kesepakatan ini akan segera disahkan dalam rapat paripurna yang akan dilakukan beberapa hari kemudian.

Namun, pada 20 September 2019, empat hari sebelum rapat paripurna digelar, Presiden Jokowi tiba-tiba menginstruksikan jajarannya untuk menunda pengesahan.

“Saya perintahkan Menkumham untuk menyampaikan sikap ini kepada DPR. Agar pengesahan RUU KUHP ditunda dan pengesahannya tak dilakukan DPR periode ini,” kata Jokowi di Istana Bogor kepada wartawan, Jumat 20 September 2019.

Jokowi menilai masih ada materi yang membutuhkan pendalaman sehingga harus mencermati masukan semua kalangan yang keberatan dengan sejumlah pasal RKUHP.

Ketika itu, memang tengah terjadi gejolak. Aktivis dan masyarakat sipil melakukan demonstrasi menolak isi RKUHP. Para akademisi pun menyebut RKUHP sebagai produk kolonialisme.

Salah satu poster yang dibawa pengunjuk rasa soal revisi RKUHP di Gedung DPR RI pada 2019. (Antara/Aditya Pradana Putra)

“Pada aspek substansi ada satu pandangan bahwa ini masih bernuansa kolonial,” kata Pakar hukum pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Ahmad, dilansir dari Kompas.com.

Substansi RKUHP, lanjut Suparji, belum sejalan dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) serta demokrasi karena ada pasal soal kebebasan berekspresi yang membuat orang berpotensi terkena pidana.

“Jadi, masih perdebatan soal tafsir ya, martabat itu siapa yang punya, kemudian soal bagaimana orang bisa dipidana dalam rangka berekspresi tentang pandangan pendapat dan sebagainya,” tuturnya.

Tiga tahun berselang, polemik RKUHP kembali mencuat ke publik. Pemerintah dan DPR sampai menggelar rapat dengar pendapat untuk membahas revisi aturan tersebut. Pasca ini, muncul kabar RKUHP akan disahkan pada Juli 2022.

Namun, Wamenkumham Edward OS Hiariej membantahnya.

"Enggak-enggak (tidak akan disahkan Juli ini). Karena minggu depan sudah reses (DPR). Sementara kita masih memperbaiki draf," ujar Wamenkumham.

“Ada revisi beberapa pasal berdasar masukan masyarakat. Lalu, mengenai rujukan pasal. Kan ada dua pasal yang dihapus. Kalau dua pasal dihapus berarti nomor-nomor pasal jelas berubah. Masih banyak salah ketik juga. Terus, sinkronisasi antara batang tubuh dan penjelasan. Terakhir, soal sanksi pidana. Kita harus menyinkronkan supaya tidak ada disparitas,” paparnya kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, 27 Juni 2022.

Satu pekan kemudian, draft RKUHP rampung. Kemenkumham langsung menyerahkan draft ini ke Komisi III DPR saat rapat kerja pada 6 Juli 2022. Total, ada 632 pasal dalam RUU KUHP.

Kendati begitu, kata Edward, pembahasan draft RKUHP antara pemerintah dan DPR masih terbuka meski tidak menyeluruh, hanya yang menyangkut 14 isu yang sempat menjadi polemik saja.

Berikut 14 isu RKUHP tersebut:

  1. Isu terkait the living law atau hukum pidana adat (Pasal 2)

    Isu terkait pidana mati (Pasal 200)

    3. Isu terkait penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden (Pasal 218)

    4. Isu terkait tindak pidana karena memiliki kekuatan gaib (Pasal 252)

    5. Isu terkait unggas dan ternak yang merusak kebun yang ditaburi benih (Pasal 278-279)

    6. Isu terkait tindak pidana contempt of court (Pasal 281)

    7. Isu terkait penodaan agama (Pasal 304)

    8. Isu terkait penganiayaan hewan (Pasal 342)

    9. Isu terkait alat pencegahan kehamilan dan pengguguran kandungan (Pasal 414-416)

    10. Isu terkait penggelandangan (Pasal 431)

    11. Isu terkait aborsi (Pasal 469-471)

    12. Isu terkait perzinaan (Pasal 417)

    13. Isu terkait kohabitasi (Pasal 418)

    14. Isu terkait perkosaan (Pasal 479)

Revisi Tetap Menuai Polemik

Namun, sejumlah kalangan menilai revisi RKUHP tersebut tidak jauh berbeda dari sebelumnya. Pasal-pasal yang sempat menjadi polemik masih dipertahankan. Semisal pasal soal penghinaan dan penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden.

Dalam Pasal 240 disebutkan, setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV (Rp 2 miliar).

Sedangkan dalam Pasal 241 disebutkan, setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V (Rp 500.000.000).

Soal larangan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden diatur dalam Pasal 218. Menurut Ayat (1) Pasal 218, setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV (Rp 200.000.000).

Menkumham Yasonna Laoly draf revisi RKUHP yang baru kepada DPR RI. (Kemenkumham)

Lantas pada Pasal 219 disebutkan, setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Dalam draf terakhir ini, penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden merupakan delik aduan. Hanya Presiden dan Wakil Presiden lah yang berhak untuk melaporkannya ke aparat penegak hukum.

Padahal, kata Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati, dalam KUHP saat ini, pasal tersebut sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Lagipula, Presiden dan Wakil Presiden adalah jabatan publik.

“Bisa saja presiden atau wakilnya melaporkan warganya karena merasa terhina. Tidak ada standar yang jelas membedakan penghinaan dan kritik. Jadi, modifikasinya enggak sepadan, kepentingannya apa?” imbuhnya dilansir dari Kompas.com.

Menkumham Yasonna Laoly menyebut pasal ini sebagai penegas batas yang harus dijaga sebagai masyarakat Indonesia yang beradab. Setiap orang memiliki hak hukum untuk melindungan harkat dan martabatnya.

“Bukan untuk membatasi kritik. Kalau saya dihina orang, saya mempunyai hak secara hukum untuk harkat dan martabat. Bukan sebagai pejabat publik. Saya selalu mengatakan, kalau saya dikritik bahwa Menkumham tak becus, lapas, imigrasi, tidak masalah dengan saya. Tapi kalau sekali menyerang harkat dan martabat saya, misalnya saya dikatakan anak haram jadah, enggak bisa itu," ujar Yasonna dalam keterangan tertulis di website resmi Kemenkumham.

"Kalau kebebasan yang sebebas-bebasnya itu bukan kebebasan, itu anarki. Saya kira kita tidak harus sampai ke sana. Saya kira kita harus ada batas-batas yang harus kita jaga sebagai masyarakat Indonesia yang beradab. Keadaban itu saya rasa harus menjadi level kita," tambahnya lagi.

Kemerdekaan Pers Terancam

Dewan Pers pun berpendapat masih ada 14 pasal dan 9 klaster yang potensial melemahkan kebebasan pers dan perlu dihapus atau direformulasi.

Padahal, kata Ketua Dewan Pers Prof Azyumardi Azra, pada 2018, Dewan Pers dan konstituen sudah mengajukan usulan 8 klaster pasal di RKUHP yang dinilai bermasalah, tetapi tidak juga ditanggapi.

“Dalam draf sekarang, justru menjadi 9 klaster dari 22 pasal umum yang mengganggu hak berekspresi, 14 di antaranya berkaitan dengan kemerdekaan pers,” ucap Prof Azra ketika bertemu dengan Menkopolhukam Mahfud MD di kantornya, Kamis (28/7).

Dewan Pers meminta pasal terkait dengan kebebasan pers yang mengandung delik harus diperbaiki. Adapun pasal-pasal bermasalah didrop atau direformulasi.

Ketua Dewan Pers, Azyumardi Azra bertemu Menkopolhukam Mahfud MD. (Dewan Pers)

“Pemberitaan soal terorisme pun bisa diperkarakan karena harus lengkap. Pemberitaan pers pasti yang terdepan dan belum lengkap. Demikian juga soal penghinaan pada presiden hingga lurah/kepala desa, bisa menjadi perkara. Khawatirnya kelak ada self censorship yang tinggi di media, ini adalah berbahaya bagi kelangsungan kehidupan pers dan masyarakat,” tambah Anggota Dewan Pers Arif Zulkifli.

Menkopolhukam Mahfud MD memberikan kesempatan. Menurut dia, masih ada waktu untuk pembahasan RKUHP yang dirasa mengganggu.

“Mungkin jika ada masalah, bukan ditunda tapi dilakukan perbaikan. Kalau jelas ada pasal yang membahayakan, ya dihapus atau direformulasi. Sampaikan reformulasi secara konkret sekaligus simulasinya. Besok akan saya sampaikan ke Kemenkumham. Wamenkumham akan kita panggil minggu depan,” ungkapnya seperti yang tertulis di website resmi Dewan Pers, Kamis (28/7).