Nasib TKI di Malaysia Rentan Dieksploitasi
Ilustrasi ketibaan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dari luar negeri. (Antara/Izmar Patriski)

Bagikan:

JAKARTA - Masih teringat jelas, kasus penyiksaan seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Kuala Lumpur Malaysia yang diduga dilakukan oleh majikannya pada Desember 2020. TKI tersebut berinisial MH, 26 tahun yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

Tubuhnya penuh dengan luka penganiayaan. Ada sayatan pisau di dagu dan telapak tangannya. Juga, luka bakar di wajah, badan, kaki kiri, dan dada. Direktur Regional BWI-Malaysian Liaison Council, Apolinar Tolentino dalam keterangan pers mengatakan, MH disiksa hampir tiap hari oleh majikan, bahkan ditelantarkan di luar rumah selama delapan hari tanpa diberi makan.

Kejadian itu terulang lagi pada April 2021, kali ini menimpa wanita berusia 46 tahun asal Jawa Barat. Wanita TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga ini disiksa, bahkan gajinya tidak dibayar selama lima tahun.

Saat diselamatkan, kondisi fisiknya sangat kurus, mungkin karena tidak mendapakan makanan laik dari majikannya.

Upah bekerja di luar negeri lebih menggiurkan. Inilah alasannya banyak orang yang ingin menjadi TKI. (Dok. RRI/Kompasiana)

"Pada 15 April 2021 malam hari, hasil koordinasi dari KBRI, pihak PDRM (Polis Di Raja Malaysia) menuju lokasi untuk melakukan penyelamatan atas korban dan langsung dibawa untuk dilakukan pemeriksaan kesehatan atas dugaan penganiayaan oleh pelaku," kata Yoshi Iskandar, koordinator Penerangan Sosial Budaya Kedutaan Besar Republik Indonesia di Malaysia, Yoshi Iskandar,dalam keterangan pers.

Bukan hanya dua TKI tersebut, masih banyak TKI lain yang mengalami hal serupa saat bekerja di Malaysia. Sepanjang 2021 saja, berdasar data Katadata, telah ada 1.702 pengaduan terkait penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang masuk ke crisis center Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BN2PTKI). Sebanyak 403 atau sekitar 23,7 persen berasal dari PMI di Malaysia.

Laporannya terkait dengan persoalan upah tak dibayar, pemalsuan dokumen, perdagangan orang, ingin dipulangkan, pelecehan seksual, hingga tindak kekerasan dari majikan.

Tahun-tahun sebelumnya juga sama. Data Serikat Buruh Migran Indonesia pada 2014-2015 menyebut 321 kasus TKI bermasalah. Terbanyak TKI yang bekerja di Malaysia. Periode berikutnya, 2016-2017 juga tak berbeda, terdapat 1.501 kasus TKI, mayoritas lagi-lagi yang bekerja di Malaysia.

Desakan Kebutuhan

Guru Besar Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga Bagong Suyanto menilai bekerja sebagai TKI, walaupun berbahaya tetapi tetap menjadi pilihan penduduk desa karena pekerjaan ini memang sangat menjanjikan dari sisi ekonomi.

Itu terjadi karena lapangan pekerjaan semakin langka dan upah yang diperoleh dari berbagai sektor yang ditekuni tidak lagi menjanjikan, maka peluang untuk mengadu nasib mencari kerja di luar negeri menjadi tawaran menggoda.

“Studi yang dilakukan penulis di Kabupaten Tulungagung, Malang, Sampang, dan Ponorogo Provinsi Jatim yang mewawancarai 400 TKI/TKW ilegal menemukan, tidak sedikit penduduk desa nekat mengadu nasib bekerja di luar negeri karena desakan kebutuhan hidup dan kebutuhan keluarga yang cenderung meningkat,” kata Bagong dalam tulisannya bertajuk ‘Eksploitasi dan Perlindungan bagi TKI’ pada 2018.

Akibat desakan ekonomi, para TKI bahkan nekat berangkat meski lewat cara ilegal, tidak mengantongi izin resmi untuk bekerja di luar negeri. Lazimnya, karena tidak mau repot dan tidak mau atau mampu mengeluarkan uang untuk mengurus segala dokumen kelengkapan.   

“Padahal, risikonya sangat besar, terlebih di Malaysia yang selalu melakukan sweeping keberadaan migran ilegal. Sering kali, buruh migran yang tertangkap razia masuk penjara dan kemudian dideportasi ke negara asalnya. Meski banyak juga yang bebas setelah membayar uang kompensasi,” tulis Bagong.

Ada ratusan laporan pengaduan dari TKI di Malaysia sepanjang 2021, antara lain pengaduan tindak kekerasan dari majikan. (Antara)

Itu benar terjadi di Sabah, seperti pada masa pandemi Covid-19 lalu. Seperti diungkapkan oleh Tim Pencari Fakta Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB). Para TKI selalu kucing-kucingan dengan petugas Jawatan Imigrasi Malaysia, bahkan sampai harus bersembunyi di hutan sawit saat malam hari biar tidak terjaring razia. Bila tertangkap, mereka ditahan di pusat tahanan imigrasi.

Dalam tahanan, para buruh migran perempuan, anak-anak, hingga lansia tinggal berdesak-desakan. Mereka tidak hanya menderita secara fisik, tetapi juga mengalami gangguan mental.

“Layanan kesehatan bukan satu-satunya kondisi buruk di rumah tahanan di Sabah. Tim juga menemukan adanya penyiksaan terhadap tahanan sampai menyebabkan meninggal. Selain itu, ada pula anak-anak yang terus ditahan meskipun orang tuanya sudah meninggal di dalam tahanan tersebut,” tulis KBMB dalam siaran persnya, 23 Juni 2022.

Kemenlu membenarkan sepanjang 2021 terdapat 18 WNI yang meninggal di Depok Tahanan Imigresen (DTI) Sabah, Malaysia, 17 laki-laki dan 1 perempuan.

"Enggak ada air besih, makanannya jelek, bagaimana orang enggak meninggal. Mereka itu bisa tidur paling banyak 2 jam sampai 3 jam sehari," kata Tim Pencari Fakta KBMB Abu Mufakhir, dikutip dari tayangan Kompas TV, Rabu (29/6).

Sikap Arogansi Malaysia

Tak dapat dipungkiri, Malaysia memang menjadi negara tujuan terpopuler untuk para TKI atau Pekerja Migran Indonesia (PMI). BN2PTKI mencatat, sedikitnya ada sekitar 1,62 juta PMI yang berada di Malaysia pada 2021.

Kasus-kasus tersebut mendorong Pemerintah mengambil langkah cepat dengan memperbaharui Nota Kesepakatan (MoU) mengenai penempatan dan perlindungan pekerja domestik dengan Malaysia yang sudah kadaluarsa sejak 2016.

Penandatanganan MoU disaksikan langsung oleh Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri di Istana Merdeka, Jakarta pada 1 April 2022.

MoU mengatur tentang penggunaan Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) atau one channel system sebagai sistem perekrutan hingga pengawasan. Penggunaan sistem ini akan memberikan perlindungan maksimal bagi para PMI

“Pekerja migran Indonesia (TKI) telah berkontribusi banyak bagi pembangunan ekonomi di Malaysia. Sudah sewajarnya mereka mendapatkan hak dan perlindungan yang maksimal dari dua negara kita,” kata Jokowi dilansir dari situs resmi Kementerian Luar Negeri RI.

Presiden Joko Widodo bersama Perdana Menteri Malaysia, Ismail Sabri usai penandatanganan MOU penempatan dan perlindungan pekerja domestik. (Dok. Kemenlu RI)

Namun, baru berjalan dua bulan pasca penandatanganan, Malaysia sudah berulah. Perwakilan RI menemukan beberapa bukti, Malaysia masih menerapkan System Maid Online (SMO).

“Ini tidak sesuai MoU,” kata Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kemenlu, Judha Nugraha seperti sudah diberitakan Voi pada 14 Juli 2022.

SMO merupakan sistem milik Malaysia yang digunakan dalam mengatur penempatan pekerja migran secara langsung tanpa melalui agensi. Sistem ini akan membuat jalan pintas atas keberangkatan TKI sesuai prosedur, termasuk proses pelatihan, persiapan tenaga kerja, dan dokumen. Sehingga, TKI dapat dengan mudah meng-konversi visa, dari visa kunjungan menjadi visa kerja.

Pada akhirnya, pemerintah Indonesia tidak memiliki data rinci terkait TKI di Malaysia. Sulit memberikan perlindungan, semisal terjadi penahanan paspor oleh majikan, pemotongan gaji, dan lainnya.

“Secara khusus SMO ini membuat posisi TKI kita menjadi rentan tereksploitasi karena mekanisme perekrutan melewati UU Nomor 18 Tahun 2017 mengenai perlindungan pekerja migran. Akhirnya TKI kita yang berangkat ke Malaysia tidak melalui tahapan yang legal,” terang Judha.

Saat TKI dinyatakan ilegal, posisinya akan sangat lemah di hadapan sistem hukum Malaysia bila mengalami perlakuan buruk.

Itu sebabnya, sejak 13 Juli 2022, Pemerintah Indonesia menghentikan sementara pengiriman TKI ke Malaysia. Keputusan ini juga telah disampaikan resmi oleh KBRI di Kuala Lumpur kepada Kementerian Sumber Daya Malaysia.

“Kami harapkan hasil positif dari pembahasan tersebut,” tandas Judha.

Bagaimanapun, kerjasama harus saling menguntungkan. Pemerintah, kata Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah, harus melakukan evalusi cermat kerangka aturan kerjasama pengiriman TKI ke Malaysia. Sehingga, sikap arogansi Malaysia tidak terjadi lagi dan TKI dapat lebih terlindungi.