JAKARTA - Perusahaan rintisan yang berbasis platform teknologi digital atau yang dikenal dengan startup tumbuh subur dalam satu dekade terakhir. Terlebih, pascakemunculan Gojek dan Bukalapak yang berhasil memanfaatkan peluang dengan menawarkan tren gaya hidup baru yang lebih praktis.
Hingga dari sekadar startup, Gojek dan Bukalapak tak butuh waktu lama bisa menjelma menjadi unicorn dengan nilai valuasi perusahaan di atas US$1 miliar. Tidak hanya di Indonesia, keduanya juga sudah melebarkan sayap ke pasar Asia Tenggara saat ini.
Menurut data Masyarakat Industri Kreatif Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia (MIKTI), sampai akhir 2021 ada 1.190 perusahaan startup di dalam negeri. Mayoritas atau 39,59 persen di antaranya berada di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) dengan jumlah total 481 startup.
Yang memiliki modal besar tentu jor-joran merekrut karyawan dengan harapan bisa mengikuti jejak Gojek. Bak gayung bersambut, optimisme mereka semakin menguat tatkala terjadi pandemi ketika semua aktivitas dilakukan di rumah melalui perangkat digital.
“Apabila sukses, mereka bukan hanya mendapatkan keuntungan finansial yang sangat besar, melainkan juga pengakuan luar biasa atas keberhasilan mewujudkan inovasi tersebut,” kata Agus Sugiarto, Kepala OJK Institute dalam tulisannya bertajuk ‘Memotret Kegagalan Perusahaan Rintisan’ di Media Indonesia, Senin 25 Juli 2022.
Namun akhir 2021, badai menerpa sejumlah perusahaan startup hingga harus melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal. Ini dilakukan sebagai improvisasi agar perusahaan dapat terus beradaptasi dan selaras dengan dinamika pasar dan tren industri di Indonesia
Satu di antaranya adalah Mamikos, startup pencarian indekos. Kabarnya Mamikos harus melakukan PHK ke lebih dari 200 karyawannya.
"Dengan mempertimbangkan kondisi pasar dan ekonomi makro saat ini, Mamikos melakukan restrukturisasi untuk membuat struktur perusahaan lebih sehat dan sustain. Upaya restrukturisasi dilakukan dengan adanya perubahan fokus yang salah satu dampaknya adalah pengurangan kapasitas karyawan,” kata Co-founder dan CEO Mamikos, Maria Regina kepada wartawan, Jumat (22/7).
Bukan Bubble Burst
Apakah perusahaan startup sedang mengalami gejala bubble burst, gejala sama yang sempat menjangkiti dunia properti pada 2013-2015?
Bubble burst adalah kondisi saat nilai aset naik dengan cepat melebihi nilai instrinsik aset. Peristiwa ini seringkali dikaitkan dengan adanya perubahan perilaku investor.
Melansir katadata, meski ada pengurangan karyawan di sejumlah startup, tetapi peristiwa ini belum bisa disebut bubble burst.
“Tidak seperti industri internet tahun 1990-an. Kalau pun ada letupan-letupan, ini masih terbilang wajar,” kata Ketua Dewan Pengawas Asosiasi Fintech Indonesia, Rudiantara.
Menurut dia, cara pandang investor startup saat ini telah berubah, tidak lagi mau ‘bakar uang’. Investor lebih menginginkan startup yang sudah survive, paling tidak bisa menghasilkan income walau belum seberapa.
CEO Mandiri Capital, Eddy Danusaputro pun menilai valuasi startup yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir memang cukup tinggi, rawan terjadi bubble burst. Namun, belum bisa disebut bubble burst
“Efisien yang terjadi di banyak startup seperti saat ini justru merupakan sesuatu yang positif,” kata dia, dikutip dari idxchannel pada Juni 2022.
Kebanyakan Startup Gagal
Selaiknya bisnis, semakin banyak pemain semakin kuat pula persaingan. Tentu akan terjadi seleksi. Bila tidak berinovasi dapat dipastikan perusahaan startup akan gulung tikar.
Agus Sugiarto menggambarkan realitas dengan studi terbaru yang dilakukan oleh Kotashev (2022). Studi memperlihatkan angka yang mencengangkan karena 9 dari setiap 10 startup yang berdiri akan mengalami kegagalan dalam melanjutkan usahanya.
Studi tersebut juga menunjukkan 70 persen dari mereka mengalami kegagalan dalam kurun waktu 10 tahun setelah berdiri. Untuk periode waktu 5 tahun, angka kegagalannya mencapai 50 persen dan untuk tahun kedua sebesar 30 persen.
“Munculnya kabar mengenai gagalnya perusahaan rintisan di berbagai negara tidak lagi menjadi berita yang mengejutkan. Namun, banyaknya startup yang gulung tikar dalam kurun waktu yang singkat, justru lebih menarik untuk dipelajari,” tulisnya.
Agus menjabarkan faktor penyebab perusahaan startup mengalami kegagalan. Pertama, produk atau layanan jasa yang dijual ternyata tidak mampu diterima pasar. Bisa jadi, karena muncul produk baru dari kompetitor yang lebih menarik bagi pasar.
Kedua, keterbatasan modal. Kemampuan berinovasi dan menemukan sesuatu yang baru akan menjadi daya pikat luar biasa.
“Namun, tanpa didukung modal uang yang cukup maka relatif sulit untuk terus maju dan berkembang,” lanjut Agus.
Ketiga, ketidakmampuan memasarkan produk dan layanan jasa yang ditawarkan oleh perusahaan startup. Keempat, adanya perpecahan di dalam tim manajemen, yang berimbas pada keluarnya beberapa pakar yang sebelumnya menjadi perintis berdirinya perusahaan rintisan itu.
Kelima, operasional dari kegiatan usaha mereka menjadi kurang efisien sehingga rasio antara harga penjualan dan ongkos produksi menjadi tidak seimbang. Keenam, terlalu sering melakukan strategi bakar duit dengan harapan bisa memperkuat penjualan dan pendapatan.
Sejatinya, masih melansir tulisan Agus, perusahaan startup merupakan tulang punggung dari ekonomi digital. Merekalah yang mampu menciptakan jutaan lapangan kerja baru tanpa melibatkan pemerintah sehingga dapat memperkecil angka pengangguran di masyarakat.
“Pemerintah perlu memberikan pembinaan dan pelatihan untuk startup kecil, khususnya di bidang manajemen keuangan dan pemasaran. Pemerintah pun perlu memberikan insentif pajak dan dukungan dana dengan bunga rendah, khususnya bagi startup yang bersifat strategis dan memiliki dampak ekonomi besar,” tandas Agus.