Bagikan:

JAKARTA - Pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam draf Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) menuai pro dan kontra. Sebab, selain sanksi hukuman 5 tahun penjara, pasal tersebut juga sebelumnya dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).

Menanggapi ini, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Eddy Omar Sharief Hiariej menjelaskan, pasal tersebut merupakan delik aduan. Di mana, pasal penghinaan terhadap kepala negara itu berbeda dengan pasal yang pernah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. 

“Kalau dalam pembagian delik, pasal penghinaan yang dicabut oleh Mahkamah Konstitusi itu merupakan delik biasa. Sementara dalam RUU KHUP itu merupakan delik aduan," jelas Eddy di gedung DPR, Jakarta, Rabu, 9 Juni.

Lantaran menjadi delik aduan, Eddy menekankan presiden dan wakil presiden harus membuat laporannya sendiri atas kasus yang bersangkutan.

"Kalau delik aduan, itu yang harus melapor sendiri adalah presiden atau wakil presiden," katanya.

Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly menuturkan, adanya pasal penghinaan presiden di RKUHP bertujuan agar membatasi kebebasan masyarakat dalam berpendapat.

"Saya kira kita menjadi sangat liberal kalau membiarkan (menghina presiden, red)," ujar Yasonna dalam rapat kerja di Komisi III DPR, Rabu, 9 Juni.

Dia memberi contoh, ketika dikritik tak maksimal dalam bertugas sebagai Menkumham, ia tak masalah. Namun berbeda, apabila yang diserang adalah martabatnya sebagai individu.

"Kalau saya dikritik, Menkum HAM tak becus, lapas, imigrasi, that's fine with me. Tetapi kalau sekali menyerang harkat dan martabat saya. Misalnya saya dikatakan anak haram, wah itu di kampung saya enggak bisa itu. Anak PKI-lah, tunjukan pada saya kalau saya anak PKI, kalau enggak bisa, gua jorokin lu," bebernya.