Bagikan:

JAKAKRTA - Kementerian Luar Negeri Indonesia angkat bicara mengenai ramainya bahasan sikap Indonesia memilih 'No, terkait Resolusi Responsibility to Protect (R2P) terhadap genosida, pembersihan etnis, kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan.

Sikap Indonesia ini terkait pemungutan suara dalam Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kemarin. Pilihan ini membuat ramai warganet, seolah Indonesia menolak resolusi genosida dan kejahatan perang. Terlebih, saat ini tengah terjadi konflik Palestina dan Israel.

"Itu bukan pada substansinya menolak genosida atau R2P. Tapi soal proseduralnya. Kalau substansinya, sudah jelas sejak tahun 2005 Indonesia mendukung," jelas Dirjen Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri Indonesia Febrian Alphyanto Buddyard dalam keterangan pers virtual, Kamis 20 Mei.

Diterangkan olehnya, yang ramai diperbincangkan adalah pilihan 'No' oleh Indonesia, tanpa menyebutkan Explanation of Vote (EoV) yang disampaikan oleh Indonesia dalam kegiatan tersebut. 

Dalam salinan EoV yang diterima VOI, ada tiga alasan Indonesian untuk memilih 'No' dalam pemungutan suara tersebut, yang disampaikan secara resmi.

Pertama, R2P tidak perlu menjadi agenda tahunan tersendiri, karena sejak tahun 2009 sudah ada wadahnya untuk puluhan debat dan laporan Sekretaris Jenderal PBB. 

Kedua, segala proposisi atau gagasan yang berupaya memperkaya pembahasan tentang hal ini konsep tidak boleh menggagalkan perimeter yang ditetapkan Dokumen Hasil KTT Dunia 2005 Upaya semacam itu hendaknya tidak melonggarkan, memperluas, atau menciptakan ambang batas atau kriteria yang kreatif dibandingkan yang ditentukan dalam Resolusi 60/1. 

Upaya untuk membahas R2P tidak boleh mengubah konsep menjadi sesuatu yang bukan konsepnya. Selama bertahun-tahun, pandangan berbeda yang terjadi di aula ini dan penerapan kontroversial R2P lebih lanjut harus lebih hati-hati. 

ilustrasi pbb
Ilustrasi PBB. (Wikimedia Commons/Basil D Soufi)

Ketiga, posisi pemungutan suara Indonesia saat ini jangan disalahartikan sebagai melawan R2P. Memang, pada 2005, Indonesia mengikuti konsensus yang mengadopsi konsep R2P seperti yang tertulis dalam Resolusi 60/1.

Prinsip dan norma yang mendasari R2P tidak asing lagi bagi Indonesia, apakah mereka terbatas hanya pada kelompok negara atau wilayah tertentu. Dalam konteks tersebut, penguatan kerangka kerja pencegahan normatif tingkat nasional sangat penting. 

Adalah wajar untuk prinsip bahwa yang utama tanggung jawab untuk melindungi penduduk terletak pada negara yang bersangkutan.

Padahal, seperti yang dikatakan Indonesia sebelumnya, 'Dalam pandangan kami, di dalam dan secara khusus di dalam kerangka pencegahan genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan, bahwa (yang disebut) tiga pilar R2P itu cukup kokoh untuk menahan setiap serangan.

"Wadah pembahasannya sudah ada, mau dibuat lagi wadah baru. Itu yang kita bilang 'No'. Karena R2P masih perlu pembahasan lebih spesifik lagi. Tahun 2017, Australia dan Ghana minta agar R2P ini masuk dalam agenda tambahan, janjinya hanya setahun. 2018 minta lagi setahun, 2019 minta setahun lagi. Baru 2021 usulkan agenda permanen, dulu janji cuma setahun-setahun saja. Makanya kita tolak, proseduralnya," papar Febrian

Namun ditambahkan olehnya, karena sudah ditetapkah oleh Majelis Umum, Indonesia akan ikut dengan keputusan ini. Usulan untuk membahas R2P menjadi agenda tersendiri dalam Majelis Umum PBB kali ini disampaikan oleh Delegasi Kroasia.

"Sebab, Indonesia memang tidak mempermasalahkan R2P ini. Kita akan ikut dengan keputusan yang sudah ditetapkan," pungkasnya. 

Sebelumnya, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah pun sudah mengatakan resolusi yang dibahas lebih pada penentuan, apakah agenda ini akan menjadi agenda tetap tersendiri, atau seperti yang selama ini berlaku.

"Resolusi ini lebih menyangkut penentuan apakah agenda ini akan dijadikan mata agenda tetap atau masih harus divoting tiap tahunnya seperti biasa di GC. Posisi Indonesia sesuai dinamika, hasil KTT 2005 mata agenda R2P cukup masuk di bawah agenda follow up to the 2005 summit," jelas Faizasyah, kepada wartawan.