Bagikan:

JAKARTA - Pandemi virus corona atau COVID-19 yang menyebar ke seluruh dunia diprediksi menyebakan krisis ekonomi global. Namun, krisis akibat wabah ini tidak seperti saat krisis 2008, yang dikenal dengan subprime mortgage di Amerika Serikat (AS).

Mantan Menteri Keuangan RI Chatib Basri mengatakan, penanganan pemerintah terhadap krisis pada 2008 jauh lebih mudah. Krisis pada saat itu hanya berimbas pada perdagangan dan ekspor Indonesia. Namun, dampak tersebut dapat langsung diatasi dengan kebijakan pemerintah yang difokuskan pada konsumsi domestik.

"Pemerintah saat itu membuat stimulus fiskal yang difokuskan ke domestik, dengan mendorong daya beli. Indonesia jadi negara yang bisa tumbuh paling tinggi di dunia, 4,6 persen saat itu. Karena kita berhasil memindahkan masalah eksternalnya menjadi fokus kepada domestik," kata Chatib Basri  dalam diskusi virtual dengan tema 'Strategi APBN di Tengah COVID-19 dan Risiko Resesi Ekonomi Global', di Jakarta, Selasa, 21 April.

Namun, kata Chatib, situasi yang dihadapi pemerintah dan dunia saat ini sangat berbeda pada krisis 2008. Pandemi virus COVID-19 memukul tidak hanya sektor pasokan, tapi juga permintaan. Bahkan, Indonesia mengalami pukulan besar. Sebab, China merupakan negara tujuan ekspor batu bara dan kelapa sawit terbesar Indonesia.

Virus COVID-19 yang ditemukan pertama kali di Wuhan, China membuat pemerintah setempat harus mengambil langkah lockdown untuk mencegah penyebaran virus. Namun, saat ini virus tersebut telah menyebar seluruh dunia. Bahkan, China yang sudah sempat membaik kondisinya, kembali menghadapi gelombang kedua virus ini.

Menurut Chatib, dampak dari gelombang kedua virus COVID-19 di China, permintaan menjadi turun dan berimbas ke penerimaan pajak pemerintah Indonesia. Di samping itu, investasi, konsumsi dan daya beli masyarakat menjadi tertekan.

Selain itu, lanjutnya, jika dibandingkan pada krisis 2008 yang berdampak ke masyarakat kalangan menengah dan menengah ke atas, pandemi COVID-19 ini justru memengaruhi hampir seluruh segmen masyarakat, termasuk masyarakat menengah ke bawah.

Namun, Chatib mengatakan, Indonesia termasuk salah satu negara yang ekonominya diprediksi masih mampu tumbuh positif tahun ini. Karena itu, langkah pemerintah yang saat ini fokus dalam penanganan dan pencegahan virus COVID-19 ini perlu diapresiasi.

Di sisi lain, Chatib menilai, tiga fokus yang harus dilakukan pemerintah untuk penanganan COVID-19 ini, adalah penanganan kesehatan, bantuan sosial dan membantu keberlangsungan dunia usaha. Sementara untuk jangka pendek, katanya, kebijakan fiskal harus ke sektor kesehatan.

Chatib menuturkan, salah satu konsekuensi dalam pencegahan penyebaran COVID-19 adalah penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) atau social distancing, sehingga pemerintah harus memberikan perlindungan sosial dalam bentuk kompensasi. Jika tidak, maka aturan PSBB atau social distancing tidak dapat berjalan.

Selain itu, kondisi dunia usaha yang sulit saat ini akan menyebabkan tingginya pemutusan hubungan kerja (PHK). Menurut Chatib, dalam enam bulan ke depan, banyak perusahaan yang tidak mampu membayar angsuran. Jadi penting bagi pemerintah memberikan relaksasi kepada dunia usaha.

Stimulus Bisa Ditambah

Chatib menilai, masih banyak pos-pos anggaran yang masih bisa dipangkas lagi untuk direalokasikan pada penanganan pandemi COVID-19. Sehingga, stimulus untuk penanganan dampak negatif virus COVID-19 bisa dipertajam atau ditambah lagi. Salah satunya, melalui anggaran perjalanan dinas.

"Anggaran perjalanan dinas ada sekitar Rp43 triliun untuk 2020 sudah dipotong jadi Rp25 (triliun)," katanya.

Chatib beralasan, dalam kondisi PSBB seperti saat ini, tentunya aparatur sipil negara (ASN) tidak bisa bepergian ke luar kota. Sehingga, anggaran tersebut bisa dipangkas lebih banyak tahun ini.

Tak hanya itu, Chatib juga menyarankan, agar pemerintah bisa memotong lebih besar anggaran belanja modal fisik. Terutama, pada pos belanja pembangunan infrastruktur yang aktivitasnya masih bisa dilakukan tahun depan.

"Kalau dilakukan pembelanjaan modal fisik besar-besaran, orang toh sekarang enggak bisa kerja dalam kondisi seperti ini. Ada banyak aktivitas memang tidak bisa di-execute," tuturnya.

Meski begitu, Chatib menilai, pemangkasan tersebut butuh komitmen dari seluruh kementerian dan lembaga (K/L). "Kalau tidak, nanti Kementerian Keuangan potong anggaran dia protes," ujarnya.

Selain itu, menurut Chatib, proyek-proyek infrastruktur ke tahun 2021 untuk memfokuskan anggaran pada COVID-19. Masalahnya meski pemerintah sudah mengalokasikan sejumlah besar dana, tidak dapat dipungkiri kalau ada kebutuhan dana lebih besar lagi.

"Di dalam tahun ini ditunda dulu deh fokus kepada ketiga hal itu. Nanti 2021 bisa mulai yang lain dari segi realokasi untuk budget-nya," ucapnya.

Di sisi lain, dia juga meminta realokasi anggaran bisa difokuskan terutama kepada masyarakat di perkotaan. Alasannya, sebagian besar kasus COVID-19 terjadi di perkotaan. "Anggaran ini kan terbatas, fokus di urban saja. Permintaan makanan tinggi di urban, fokus ke sana," tutupnya.

Untuk diketahui, stimulus yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia adalah 2,6 persen dari PDB. Sementara, Australia menggelontokan 189 miliar dolar AS atau 9,7 persen dari PDB-nya untuk stimulus mengatasi pandemi COVID-19. Amerika Serikat mengalokasikan 2,1 triliun dolar AS atau 10,5 persen dari PDB.

Di Singapura mengalokasikan 54,4 miliar dolar AS atau 10,9 persen dari PDB, dan Malaysia stimulusnya mencapai 17 persen dari PDB.

Sementara itu, negara yang memberi stimulus lebih kecil dari Indonesia di antaranya adalah Prancis 45 miliar euro atau 2 persen dari PDB dan Italia 25 miliar euro atau 1,4 persen PDB. Bahkan China sebagai negara awal penyebaran COVID-19 hanya mengalokasikan 1,2 persen dari PDB.