Chatib Basri: Memprediksi Dampak Ekonomi Akibat COVID-19 Adalah Humor Belaka
Ekonom senior Chatib Basri. (Foto: Instagram @chatibbasri)

Bagikan:

JAKARTA - Pandemi virus corona atau COVID-19 yang kian meluas penyebarannya baik di dunia maupun Tanah Air, berdampak buruk terhadap perekonomian. Akibat wabah ini, aktivitas ekonomi terhenti khususnya yang berhubungan dengan kontak fisik.

Keadaan ini membuat siapapun tak akan bisa memprediksi dampak ekonominya karena jangka waktu pandemi ini belum bisa dipastikan kapan berakhir.

Ekonom senior Indonesia Chatib Basri mengatakan, sulit memprediksi dampak ekonomi dari COVID-19. Selama belum ditemukannya vaksin dari virus mematikan yang pertama kali ditemukan di Wuhan, China, tidak ada yang dapat memproyeksikan dampak dari wabah ini.

"Membuat prediksi di masa seperti ini, adalah pekerjaan yang sia-sia karena begitu banyak variabel yang kita tidak bisa pegang, yang tidak bisa kita kontrol," tuturnya, dalam diskusi dengan tema Bicara Data Virtual Series bertajuk "Krisis COVID-19 & New Normal Ekonomi Indonesia", di Jakarta, Jumat, 8 Mei.

Sementara itu, kata Chatib, jika melihat angka yang digunakan Menteri Keuangan Sri Mulyani prediksinya adalah minus 0,4 sampai 2,5 persen. Namun, kata dia, tidak ada yang dapat memastikan angka pastinya.

"Tidak ada yang tahu. Makanya saya bilang kalau orang mencoba membuat prediksi dalam situasi seperti ini, ekonom membuat prediksi, itu hanya menunjukkan bahwa dia mempunyai rasa humor yang tinggi," katanya.

Pemerintah, kata Chatib, optimistis penyebaran pandemi akan berangsur pulih pada bulan Juni. Namun hingga saat ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) saja belum dapat membuktikan jika seorang yang telah terinfeksi COVID-19, tak bisa kembali terinfeksi.

Menurut dia, dengan belum adanya bukti dari klaim pendapat yang optimis tersebut, kemungkinan ada potensi penyebaran COVID-19 gelombang kedua. Artinya, persoalan ini tidak akan selesai sebelum vaksinnya ada.

"Berarti tidak bisa di Juni. Mungkin akan panjang sampai vaksinnya ketemu. Semakin panjang itu terjadi, semakin tidak ada aktivitas ekonomi. Maka dampaknya itu akan sangat parah terhadap perekonomian," ucap mantan Menteri Keuangan ini.

Meski demikian, Chatib mengatakan, semakin lama virus ini ada di Tanah Air, maka akan semakin berdampak buruk pada ekonomi. Apalagi, katanya, kebijikan social distancing dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) turut mempengaruhinya. Ini lah yang membuat krisis akibat COVID-19 ini berbeda dengan krisis yang terjadi sebelumnya.

Ilustrasi social distancing. (Ilham Amin/VOI)

Apalagi, lanjut Chatib, tak seluruh aktivitas ekonomi dapat dilakukan secara virtual. Sehingga, aktivitas yang membutuhkan fisik akan sangat bergantung pada penyebaran pandemi. Dia mencontohkan selama masih dalam masa pandemi, masyarakat akan mengurangi aktivitas di pasar tradisional karena di tempat itu sulit untuk tidak saling berdekatan.

Chatib mengatakan, yang paling dimungkinkan untul dilakulan pemerintah hanya membuat skenario dari kondisi saat ini. Hal ini, karena memang tidak ada satu orang pun yang tahu persis kapan pandemi ini berakhir.

Sebelumnya, pemerintah telah menyusun skenario berat di tengah pandemi COVID-19. Dalam skenario ini, pertumbuhan ekonomi tahun 2020 diperkirakan hanya menyentuh 2,3 persen.

Rinciannya, kuartal I tumbuh sebesar 4,7 persen, kuartal II sebesar 1,1 persen, kuartal III sebesar 1,3 persen dan kuartal IV 2020 tumbuh 2,4 persen. Berdasarkan skenario berat ini, stimulus fiskal membutuhkan pelebaran defisit hingga 5,07 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).