Bagikan:

JAKARTA - Pandemi virus corona atau COVID-19 di Indonesia kian meluas penyebarannya. Jumlah pasien positif virus tesebut juga terus bertambah. Lambannya respons pemerintah untuk mengatasi penyebaran virus menjadi sorotan.

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri mengaku, sebelum pemerintah mengambil kebijakan PSBB, dirinya tak pernah berhenti untuk menyuarakan agar pemerintah segera melakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Itu, kata dia, dilakukan guna menghindari semakin luasnya daerah yang terpapar COVID-19.

Selain itu, Faisal juga mengaku kecewa kepada pemerintah yang justru mengambil kebijakan untuk melarang mudik Hari Raya Idulfitri atau Lebaran setelah jutaan masyakarat telah mudik.

"Saya melihat penanganan di Indonesia ini tidak karu-karuan, serba tanggung. Mudik sudah jutaan keluar baru dilarang. PSBB di Jakarta, kemarin saya kebetulan wajib ke rumah orang tua macet di Pancoran seperti tidak ada apa-apa," katanya, dalam diskusi virtual bertajuk 'Ongkos Ekonomi Hadapi Krisis COVID-19', Jumat, 24 April.

Apalagi, kata Faisal, lambatnya pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan, untuk memberikan izin bagi daerah yang ingin memberlakukan PSBB, semakin membuat penyebaran virus ini meluas.

"Satu lagi ya, PSBB baru diizinkan indikatornya korban yang meninggal. Jadi kalau korban yang meninggal masih sedikit ya tidak akan dikasih PSBB. Nunggu orang meninggal, kok baru PSBB, aneh. Hal-hal seperti ini yang yang bikin repot," ucapnya.

Faisal menilai, khusus untuk Indonesia, tidak dapat diprediksi sampai kapan virus ini ada. Bahkan menurutnya, puncak dari wabah ini pun tidak dapat diketahui.

Keadaan ini, kata dia, justru akan membuat ongkos pemulihannya semakin besar. Apalagi, Indonesia tidak punya kemampuan untuk mem-backup ekonomi, agar tidak turun terlalu tajam.

"Jadi kita sudah kecolongan banyak. Misalnya Iran ya, Iran itu sudah active case-nya sudah turun, sedangkan kita masih naik terus entah sampai kapan. Barangkali puncaknya setelah Lebaran, karena yang mudik sudah banyak. Mengerikan, mengerikan sekali," tuturnya.

Kekecewaan Faisal semakin memuncak, di mana ia melihat tingginya penyebaran virus COVID-19 ini karena tidak siapnya pemerintah untuk menyediakan fasilitas rapid test.

"Kemudian yang satu lagi yang saya sangat kecewa adalah terlambatnya penanganan testing. Kita baru 50 ribu melakukan testing cuma 214 per satu juta penduduk. Itu yang membuat kita makin tidak tahu sampai kapan virus ini berlangsung," katanya.

"Semua negara katanya butuh reagen untuk test gitu. Tapi kok India bisa banyak? Pakistan bisa banyak? Kok kita cuma 50 ribu," tuturnya.

Sekadar informasi, berdasarkan data resmi yang dikeluarkan gugus tugas per Jumat, 24 April, ada penambahan 436 kasus baru pasien COVID-19, sehingga total 8.211 orang positif terinfeksi. Sedangkan jumlah pasien sembuh juga bertambah 42 menjadi 1.002 orang. Adapun kenaikan angka kematian bertambah 42 orang sehingga total 689 orang meninggal dunia akibat COVID-19.