JAKARTA - Ekonom Senior Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri menilai, kajian reformasi sistem keuangan tidak perlu dilakukan di tengah pandemi COVID-19. Rencana penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) reformasi sistem keuangan justru menunjukkan pemerintah sedang frustasi dalam menangani pandemi.
Faisal mengatakan, kajian tentang reformasi sistem keuangan saat ini bukan hal yang paling mendesak. Sebaliknya, ia menilai, yang mendesak saat ini adalah Perppu penanganan COVID-19. Pasalnya, COVID-19 merupakan sumber pemicu masalah di ekonomi keseluruhan, termasuk sistem keuangan.
Seperti diketahui, pembahasan rencana revisi Undang-undang (UU) nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI) masih berlangsung di Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Yang jadi masalah, sekarang pengendali kebijakan ekonomi pemerintahan itu menurut analisis saya, mereka sudah agak frustrasi mengelola ekonomi. Karena mereka tidak punya kuasa untuk mengontrol masalah, yaitu COVID-19," katanya, dalam diskusi Indef, Kamis, 1 Oktober.
Menurut Faisal pemerintah beralasan untuk merevisi UU BI ini karena adanya koordinasi yang kurang terjalin di reformasi keuangan. Padahal selama ini ada anggota ex officio dari Kementerian Keuangan untuk mempermudah koordinasi.
"OJK ada ex officio dari Menkeu dan BI. Saya jadi heran ada masalah penguatan basis data yang terintegrasi, ada masalah check and balances antarlembaga," ucapnya.
BACA JUGA:
Menurut Faisal, likuiditas perbankan saat ini cenderung stabil yang tercermin daru Loan Deposit Ratio (LDR) per Agustus 2020 menurut data OJK berada di level 85,1 persen jauh lebih rendah dari posisi Desember 2019 yakni 94,4 persen.
Sementara itu CAR perbankan di 23,1 persen per Agustus 2020 sedikit menurun tipis dari Desember 2019 di 23,4 persen. Tapi menurut dia ada yang menjadi kendala di industri perbankan yakni Dana Pihak Ketiga (DPK) bank terus alami kenaikan 11,6 persen secara tahunan atau year on year (yoy) per Agustus 2020 sementara pertumbuhan kredit hanya tumbuh 1 persen secara tahunan. Namun masalah tersebut harusnya bisa diatasi oleh OJK.
"Mereka (pemerintah) punya semua instrumen, tapi tidak punya instrumen mengatasi COVID-19, sehingga mereka mencari instrumen lain yang belum ada, yaitu dalam bentuk penguatan pemerintah untuk mengambil alih segala instrumen yang dimungkinkan, secara lebih cepat," jelasnya.