Bagikan:

JAKARTA - Ekonom senior Faisal Basri mengkritisi cara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menanganai pandemi COVID-19. Menurutnya, Jokowi tidak memiliki terobosan atau jalan pintas dalam menangani virus ini dan lebih berfokus untuk menangani masalah ekonomi atau sektor keuangan.

Ketiadaan terobosan inilah, yang dianggapnya menjadi alasan bagi Jokowi untuk selalu membuat tim baru terkait penanganan COVID-19 di Indonesia. Jokowi juga dianggapnya tak memiliki panglima dalam menangani pandemi ini. 

"Jadi wajar kalau tiap minggu Pak Jokowi ini menerbitkan, mengumumkan tim baru. Ada tim percepatan vaksin, ada tim menangani delapan provonsi dengan kasus tinggi. Tim melulu. Orangnya juga itu-itu saja, tidak ada yang bekerja full time untuk menangani virus ini. Komandannya itu tidak ada yang kerja full time, enggak ada," kata Faisal dalam sebuah diskusi daring yang ditayangkan melalui YouTube, Senin, 21 September.

Jokowi beberapa kali membentuk tim terkait penanganan COVID-19. Pertama, di awal masa pandemi COVID-19 pemerintah membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 yang dikomandoi oleh Kepala BNPB Doni Monardo. 

Selanjutnya pada pertengahan masa pandemi, tim ini dilebur bersama Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN) yang diketuai oleh Menteri Koordinato (Menko) Perekonomian Airlangga Hartarto serta Menteri BUMN Erick Thohir sebagai ketua harian. 

Lalu pada pekan lalu, Jokowi menunjuk Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan untuk menangani pandemi di sejumlah provinsi yang jadi prioritas pemerintah. Belum lagi, KPC PEN juga membuat Tim Percepatan Penanganan Vaksin yang akan bertanggung jawab tentang vaksin COVID-19 di Indonesia.

Melihat tim yang terus berganti, Faisal kemudian meminta Presiden Jokowi segera menunjuk panglima perang melawan COVID-19 yang bekerja secara penuh bukan justru membuat tim yang baru setiap saat.

"Nah ini barangkali, mudah-mudah tergerak gitu hatinya, ayo virus ini bahaya ini, panglima perangnya harus full time. Tidak ngurusin yang lain-lain lagi, bukan kerja sambilan," tegasnya.

Dia menilai, Jokowi seharusnya tak sulit untuk memilih panglima dalam menghadapi pandemi ini. Kalaupun eks Gubernur DKI Jakarta itu harus menunjuk satu orang, dia berpesan, siapapun yang memimpin setidaknya harus mencontoh Kuntoro Mangkusubroto yang mengomandoi Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi saat tsunami Aceh pada 2006 lalu.

"Mungkin bukan Pak Kuntoronya, tapi kualifikasinya seperti Pak Kuntoro yang dia full time, kerja 24 jam, yang barangkali tidurnya cuma 2 jam. Dan itu dipuji secara internasional kita paling berhasil menangani. Jadi kita itu punya pengalaman lho, walaupun lebih parah sekali," ucapnya.

Sedangkan para menteri di Kabinet Indonesia Maju, nantinya bisa tetap bekerja seperti biasa sesuai tupoksi mereka yang jika dibutuhkan siap membantu. "Kita sungguh butuh panglima perang yang full time," ujarnya.

Angka tes COVID-19 Indonesia kecil

Tak hanya mengkritisi langkah Presiden Jokowi yang kerap gonta-ganti tim, Faisal juga menyoroti jumlah pengetesan spesimen COVID-19 di Indonesia. Kata dia, jumlah pengetesan di Indonesia saat ini masih kalah dengan negara lain termasuk dengan negara yang punya penghasilan per kapita lebih rendah dan salah satunya adalah Nepal.

"Pendapatan Nepal cuma seperempat dari kita tapi testingnya bisa mencapai 30.932 per satu juta populasi. Sedangkan kita hanya 10.527 padahal kita adalah negara berpenghasilan ke atas atau upper middle income. Ini ironis. Enggak ada alasan kita kalah karena kita lebih kaya," ungkapnya masih dalam acara diskusi yang sama.

Selain kalah dari Nepal, Faisal juga menyebut jumlah pengetesan di Indonesia masih kalah dengan sejumlah negara lainnya seperti Pakistan, Bangladesh, Ghana, dan Bolivia yang semuanya ini adalah negara dengan pendapatan menengah ke bawah. Dia memaparkan, saat ini Pakistan telah mencatatkan 14.095 pengetesan COVID-19 per satu juta populasi. Sedangkan Bangladesh sebanyak 10.695, Ghana sebanyak 14.958, dan Bolivia sebanyak 24.366 tes.

"Ini ironi menurut saya. Jadi tidak ada alasan. Tidak ada alasan kenapa testing kita rendah," pungkasnya.