JAKARTA - Ekonom senior Universitas Indonesia Faisal Basri menyoroti penerimaan negara bukan pajak dari sumber daya alam (SDA). Hal ini lantaran Indonesia kaya akan SDA namun minim terhadap royalti. Bahkan produksi meningkat tetapi kontribusinya terhadap pendapatan negara kecil.
Faisal menemukan masalah di sektor pertambangan. Masalah ini, yang menyebabkan cita-cita Indonesia sebagai negara produsen baterai lithium terbesar di dunia hanya sekadar mimpi.
Menurut Faisal, dalam 10 tahun terakhir praktis tidak ada peningkatan dari sektor pertambangan walaupun ekploitasi terhadap SDA meningkat luar biasa. Hal ini karena, tidak adanya pengenaan pajak ekspor.
"Di tambang ada lagi praktik yang lebih parah yakni ekspornya dilarang. Jadi ekspornya nol maka terjadilah penurunan lebih lanjut. Jadi misalnya harga nikel di pasar internasional 40 dolar AS di Indonesia cuma 20 dolar AS karena dilarang ekspor," tuturnya, dalam diskusi virtual, Kamis, 3 September.
Faisal mengatakan, karena adanya larangan ekspor nikel oleh pemerintah terhadap perusahaan tambang lokal, maka hasil tambang hanya dapat dijual kepada smelter yang ada di dalam negeri. Hal ini yang menyebabkan, perusahaan luar negeri berbondong datang ke Indonesia untuk membangun smelter.
"Maka perusahan smelter dari China itu pindah ke Indonesia karena nikmat sekali. Tiga tahun dia di Indonesia dia sudah break event dan keuntungannya sudah puluhan triliun. Karena kalau dia smelternya di China, dia beli di pasar internasional kan," ucapnya.
Adanya larangan ekspor, kata Faisal, tentu membuat pendapatan negara berkurang dari sektor pertambangan ini. Tak hanya itu, para petinggi negara pun terbuai dengan iming-iming menjadikan Indonesia sebagai produsen baterai.
BACA JUGA:
"Karena mereka itu dipuja-puji akan menjadikan Indonesia sebagai produsen baterai terbesar di dunia, maka diberikan lah tax holiday 25 tahun yang hanya berlaku bagi investasi di atas Rp25 triliun. Belum Rp25 triliun pun karena tidak ada yang mengawasi sudah diberikan. Karena mereka penguasanya kuat," ucapnya.
Lebih lanjut, Faisal berujar, karena adanya tax holiday dampaknya adalah smelter tidak membayar PPh badan, penerimaan negara pun nol besar. Ini yang menyebabkan produksi naik tapi penerimaan pajak tidak naik.
"PPN mereka tidak bayar, bea masuk untuk barang modalnya mesin-mesinnya nol, pekerjanya di datangkan dari China pakai visa turis. Bukan visa pekerja, sekalipun pandemi. Jadi tidak bayar PPh pegawai perseorangan dan tidak bayar iuran-iuran untuk pekerja asing. Kalau saya tidak salah 100 dolar AS per orang," ucapnya.
Namun, kata Faisal, dalam pidato kenegaraan Jokowi justru mengatakan hilirisasi sektor pertambangan sudah berjalan. Padahal, masih berada di posisi hulu.
"Jadi jebol keuangan negara ini gara-gara nikel ini yang sampai masuk ke pidato Presiden kemarin. Di pidato itu, yang memberi masukan pidato itu betul-betul membohongi Presiden. Karena katanya hilirisasi kita sudah keren banget, padahal hilirisasi kita baru sekitar 25 persen jadi belum sampai hilir masih di kawasan hulu," tuturnya.
Pertanyakan Hilirisasi
Terkait dengan baterai, Faisal mengatakan, produksi baterai itu bahan bakunya dijadikan nikel pig iron dengan feronikel yang kemudian diekspor 100 persen ke China. Sedangkan, oleh China diolah menjadi stainless steel.
"Ini namanya hilirisasi apa ini. Baterai itu tidak akan dihasilkan karena belum ada pabrik yang lebih lanjut untuk mengolah menjadi baterai. Jadi hampir semua itu mengarah kepada stainless steel, baterainya belum masih mimpi," katanya.
Faisal mengatakan, yang menikmati hasil pertambangan Indonesia bukan negara melainkan smelter. Bahkan, perusahaan tambang lokal pendapatannya anjlok karena larangan ekspor nikel.
"Perusahaan tambang lokal bayar royalti, perusahaan smelter tidak. Perusahaan tambang ini kan penghasilannya jadi anjlok karena dia hanya bisa menjual ke perusahaan smelter. Tetapi dia tidak bisa menjual langsung, harus lewat trader yang ditentukan oleh perusahaan smelter itu. Trader siapa? Ah kita lihat lagi. Dapat fee per ton itu setengah sampai 1 dolar," ucapnya.